
Oleh: Dahlan Iskan
Jagung. Jangan lupa Jagung. Hanya Jagung yang harus dilindungi dari putusan tarif 0 persen untuk barang impor dari Amerika.
Rakyat kita lagi seru-serunya beralih ke tanam jagung. Tanah kurang produktif hampir di seluruh NTB dan Sulawesi kini hijau jadi lautan jagung.
Beda dengan kedelai. Kita sulit menanam kedelai agar bisa 1,5 ton/hektare sekali panen. Lahan yang dulu ditanami kedelai sudah banyak yang beralih ke jagung. Jenis kedelai kita gurih dan bergizi tapi kecil-kecilan.
Kelak kedelai kita akan menjadi kedelai butik –sedikit tapi rasa dan nutrisinya istimewa. Kelak akan ada tempe kelas VIP –terbuat dari kedelai Indonesia: rasanya istimewa dengan harga lebih mahal untuk lapisan pasar golongan tertentu seperti Anda.
Sedang gandum, suka-suka Amerika saja. Kita memang kian suka makan mie dan roti –padahal gandumnya 100 persen impor.
Impor gandum dengan tarif 0 persen tidak menimbulkan komplikasi apa pun dengan petani kita. Tidak akan tabrakan. Beda jurusan.
Bahkan meningkatkan impor gandum dari Amerika tidak menimbulkan komplikasi dengan Tiongkok. Pun dengan Eropa –setelah Presiden Prabowo sepakat free trade dengan Eropa pekan lalu. Everybody happy.
Saya tidak tahu bagaimana cara melindungi jagung. Hanya jagung. Terutama di musim panen. Ketika harga jagung jatuh.
Saya tidak menganjurkan Bulog jadi pembelinya seperti di beras. Konsumen jagung bukan rakyat. Mereka adalah industri pengolahan pakan ternak.
Lewat koperasi Merah Putih?
Mungkin. Rasanya di NTB Koperasi Merah Putih bisa lebih fokus ke jagung. Bidang usahanya: jasa pascapanen. Jasa pengeringan. Jasa silo. Jasa gudang. Jasa resi gudang.
Ini bisa membuat harga jagung lebih stabil. Kalau koperasi Merah Putih di satu desa terlalu kecil, bisnis resi gudang itu bisa dilakukan oleh gabungan koperasi di satu kecamatan. Tiap kecamatan punya satu jasa resi gudang.
Saya terkesan dengan revolusi hijau di bidang jagung di NTB. Juga di Sulawesi. Sulit membayangkan kalau semangat rakyat itu padam merana oleh tarif 0 persen untuk jagung Amerika.
Bagaimana dengan kewajiban kita untuk impor energi senilai USD15 miliar dari Amerika?
Rasanya juga tidak menimbulkan komplikasi apa-apa. Apalagi kalau yang diimpor gas. Dalam bentuk LNG. Kita masih kekurangan energi.
Pun kalau yang diimpor itu BBM. Bahkan minyak mentah. Aman. Tidak menganggu siapa-siapa.
Dalam hal impor BBM komplikasi kita hanya dengan Mohamad Reza –yang sekarang sudah jadi tersangka bersama anaknya. Impor itu hanya pindah kantong: dari saku Mohamad Reza ke saku Donald Trump. Atau dari saku Singapura ke saku Amerika. Siapa tahu Amerika bekerja sama dengan Singapura. Lalu Mohamad Reza di baliknya.
Yang jelas semua itu tidak ada komplikasi dengan rakyat kita.
Apalagi soal kewajiban kita harus beli pesawat Boeing. Sebanyak 50 buah. Sebagiannya Boeing 777. Kewajiban ini tidak punya komplikasi apa pun. Apalagi kalau pembelian yang dilakukan Lion juga dihitung Indonesia. Enteng. Lion pernah beli Boeing –sekali beli 175 pesawat: Anda sudah tahu itu.
Pun bila yang dimaksud tanpa Lion. Hanya Garuda Indonesia. Kini Garuda hanya punya 38 pesawat. Sudah nomor dua di belakang Lion –nomor dua di kejauhan.
Satu-satunya komplikasi adalah seperti yang juga Anda pikirkan: bagaimana membayarnya. Garuda pasti mampu membeli tapi tidak mampu membayar.
Siapa tahu Garuda dapat durian runtuh: tersedia fasilitas pendanaan yang muraaaah dan panjaaaaang dari Amerika.
Maka dari keseluruhan transaksi dagang dengan Amerika ini saya hanya ingat lautan jagung di NTB. (DAHLAN ISKAN)