RADARBEKASI.ID, BEKASI – Fenomena kekerasan seksual, perundungan, hingga aksi kerusuhan yang terjadi di Bekasi belakangan ini menunjukkan satu benang merah yang mengkhawatirkan. Pengaruh ruang digital terhadap anak semakin kuat dan nyaris tak terbendung. Mirisnya, berbagai peristiwa tersebut melibatkan anak-anak di bawah umur—generasi yang tumbuh bersama gawai di tangan, tetapi tanpa bimbingan yang cukup.
Kasus ledakan bom rakitan di SMAN 72 Jakarta Utara pekan lalu seakan menjadi puncak alarm bahaya. Insiden itu mengguncang publik karena dilakukan oleh seorang pelajar yang terpapar konten kekerasan di dunia maya, termasuk game online. Pemerintah pusat pun mulai mewacanakan pembatasan game berbasis kekerasan, seperti PlayerUnknown’s Battlegrounds (PUBG), yang dinilai mempengaruhi pola pikir dan perilaku anak.
Namun di lapangan, game yang sempat diancam akan diblokir itu masih bebas diakses, sementara konten media sosial juga terus mengalir tanpa filter usia.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Kota Bekasi, Novrian, mengungkapkan bahwa dalam sejumlah kasus kekerasan terhadap anak yang mereka tangani, pengaruh media sosial dan game online selalu muncul sebagai faktor pemicu.
“Kita setuju dengan imbauan Pak Presiden untuk membatasi game. Ini bukan sekadar soal kekerasan, tapi juga pornografi dan konten bernuansa perundungan,” ujarnya, Selasa (11/11).
Hasil assessment KPAD menunjukkan, anak-anak yang terpapar konten digital ekstrem cenderung meniru perilaku yang mereka lihat.
“Pada hakikatnya anak adalah penduplikat terbaik. Maka pembatasan itu penting, tetapi yang lebih mendasar adalah literasi digital,” tambahnya.
Novrian menegaskan, larangan total bukan solusi. Anak-anak tetap harus diberi ruang digital, namun dengan pengawasan yang jelas—baik dari sisi usia, durasi bermain, maupun jenis konten. Ia menyoroti kebijakan Pemkot Bekasi yang sebelumnya sudah membatasi penggunaan gawai di sekolah, tapi belum diikuti dengan pengendalian konten digital.
“Kita butuh peta jalan keamanan anak di ruang digital, mulai dari keluarga, sekolah, masyarakat, hingga negara,” tegasnya.
Di tingkat keluarga, peran orang tua menjadi garda terdepan. Orang tua mesti paham bagaimana mengatur waktu anak bermain gadget, mengenali jenis game yang mereka mainkan, dan mengelola reaksi ketika anak menolak dibatasi.
Sementara itu, sekolah harus beradaptasi dengan metode pembelajaran yang lebih kreatif dan menyentuh minat anak di bidang teknologi.
“Literasi kita sangat kurang, sedangkan arus informasi berlimpah. Akibatnya, yang negatif justru lebih cepat mempengaruhi cara berpikir anak,” ujar Novrian.
KPAD pun menggandeng berbagai pihak, mulai dari Dinas Pendidikan, organisasi kepemudaan, hingga komunitas ibu-ibu pengajian. Dalam setiap sosialisasi, pihaknya selalu melibatkan orang tua agar pembinaan tidak hanya berhenti di ruang kelas.
“Anak-anak butuh contoh nyata di rumah. Kalau orang tua sibuk dengan gawainya sendiri, anak akan belajar dari itu,” katanya.
Senada dengan KPAD, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Bekasi Ridwan AS menyatakan bahwa perlindungan anak di ruang digital merupakan tanggung jawab bersama.
“Anak-anak sekarang tumbuh dalam dunia digital. Perlindungan harus diberikan bukan hanya di dunia nyata, tapi juga di dunia maya,” ujarnya.
Ridwan menilai, pendampingan anak dalam menggunakan internet tidak bisa hanya dibebankan kepada pemerintah. Orang tua dan guru berperan besar dalam menanamkan nilai moral dan etika digital.
“Bangun komunikasi terbuka dengan anak. Gunakan fitur Parental Control yang sudah disediakan banyak platform untuk membatasi konten berisiko,” sarannya.
Dalam waktu dekat, DP3A akan berkoordinasi dengan Dinas Komunikasi, Informasi, Statistik, dan Persandian (Diskominfostandi) untuk memperkuat literasi digital di tingkat keluarga.
“Kami ingin menyusun panduan praktis agar orang tua tahu bagaimana mendampingi anak di ruang digital,” jelas Ridwan.
Kekerasan di dunia nyata kini banyak berakar dari paparan di dunia maya. Ketika peran orang tua melemah dan sekolah tak mampu menyesuaikan diri, anak-anak belajar langsung dari layar yang mereka genggam.
Mereka meniru cara bicara, gaya bertindak, bahkan cara melampiaskan emosi seperti yang dilihat di media sosial atau game.
Tanpa kontrol, dunia digital bukan lagi sekadar ruang hiburan, melainkan medan pembentuk karakter baru yang berisiko. Kasus-kasus kekerasan yang terjadi di Bekasi hanyalah gejala dari masalah yang lebih dalam: kurangnya pendampingan dan lemahnya literasi digital.
“Anak-anak kita bukan korban teknologi, tapi korban dari kelalaian kita mengelola teknologi,” tutur Novrian.
Bekasi kini menghadapi tantangan besar bukan sekadar membatasi gawai, tetapi membangun ekosistem digital yang aman, sehat, dan manusiawi bagi generasi muda yang tumbuh di tengah arus informasi tanpa batas.
Sementara itu, Presiden Prabowo Subianto mempertimbangkan langkah pembatasan permainan daring setelah insiden ledakan yang terjadi di SMA Negeri 72 Jakarta pada Jumat (7/11). Rencana tersebut disampaikan Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi usai mendampingi Presiden dalam sebuah pertemuan di Kertanegara, Jakarta Selatan, Minggu malam.
Prasetyo menjelaskan bahwa Presiden tengah memikirkan langkah-langkah penyikapan terhadap sejumlah game online yang dinilai dapat berdampak pada perilaku remaja. Ia menegaskan adanya kekhawatiran mengenai pengaruh negatif dari permainan dengan fitur senjata dan unsur kekerasan yang mudah diakses oleh generasi muda.
Menurut Prasetyo, tidak menutup kemungkinan beberapa game daring mengandung elemen yang kurang baik bagi perkembangan psikologis pemain. Ia menilai pemerintah perlu mempertimbangkan langkah antisipasi agar dampak buruk dari konten dalam permainan tersebut tidak merembet pada perilaku pelajar di masa mendatang.
Salah satu contoh yang ia soroti ialah permainan bergenre pertempuran seperti PlayerUnknown’s Battlegrounds (PUBG). Game tersebut dinilai menyajikan berbagai jenis senjata yang terlalu mudah dipelajari dan dapat memengaruhi cara pandang pemain terhadap kekerasan, terutama bagi mereka yang masih berada pada tahap perkembangan remaja.
Prasetyo menyebut bahwa kemudahan pemain dalam merasakan sensasi menembak secara virtual dapat membentuk kebiasaan bahwa kekerasan merupakan sesuatu yang wajar. Hal ini menjadi salah satu alasan pemerintah menilai perlu adanya kajian lanjutan mengenai pembatasan permainan tertentu yang mengandung elemen kekerasan intens.
Selain isu game online, Prasetyo juga menyinggung faktor-faktor lain yang turut mendapatkan perhatian pemerintah, termasuk maraknya tindakan perundungan di lingkungan sekolah. Ia menekankan pentingnya upaya bersama untuk menghindari perilaku yang dapat menimbulkan dampak negatif di kalangan pelajar.
Ia juga mengingatkan para guru dan tenaga pendidik agar lebih peduli terhadap kondisi psikologis dan perilaku siswa. Menurutnya, perhatian dini dapat membantu mencegah terjadinya tindakan yang berpotensi membahayakan, terutama di lingkungan sekolah yang seharusnya menjadi tempat belajar yang aman.(sur/net)

2 weeks ago
23

















































