Cium Kaki

4 hours ago 10

Oleh: Dahlan Iskan

Spontan. Saya mau mencium kakinya. Di depan umum. Di depan para pengusaha besar Tionghoa di Jakarta.

Begitu besar rasa terima kasih saya pada orang tua itu: The Nin King. Yang jenazahnya dimakamkan hari ini. Di pemakaman keluarga. Di Cipanas.

Cium kaki itu karena Pak The Nin King memenuhi permintaan saya: menyelamatkan patung Garuda Wisnu Kencana (GWK) di Bali. Proyek itu sudah telantar sekitar 20 tahun. Berbagai upaya meneruskannya gagal. Separo badan patungnya sudah terpasang –bagian bawah. Sedang bagian atas dan kepalanya masih berserakan di tanah.

Melihat gerakan saya akan mencium kakinya Pak The menghindar. Yang penting ia tahu bahwa saya tulus berterima kasih padanya.

Rabu kemarin saya mesong ke tempat persemayaman jenazah Pak The. Di Grand Heaven Jakarta. Lantai dasar rumah kematian itu dibuka semua. Hanya untuk pelayat satu jenazah Pak The –biasanya dibagi untuk enam jenazah.

Itu pun masih belum cukup. Orang yang mesong terlalu banyak. Sebagai pengurus PSMTI saya harus mesong dengan baju putih. Kebetulan seragam baru Wali Amanah Universitas Terbuka warna putih. Saya buka plastiknya. Saya pakai lengkap dengan bekas lipatannya.

Saya memberi hormat tiga kali di depan peti jenazah. Lalu hormat sekali ke serong kanan. Dan sekali ke serong kiri. Di kanan kiri peti itu berjajar keluarga Pak The. Anak-anaknya, menantu-menantunya dan cicitnya. Sedang istri Pak The, 84 tahun, duduk di kursi. Dia lebih muda 10 tahun dari suami.

Tidak semua dari enam anak dan enam menantu berjajar di situ. Harus bergantian. Yang memberi penghormatan tidak henti-hentinya. Harus diatur jadwal istirahat keluarga.

Pak The termasuk sedikit orang Tionghoa yang tidak mau ganti nama. Ia seperti ekonom Kwik Kian Gie, wartawan Goh Thjing Hok, atau pengacara Yap Thiam Hien. Saya lupa bertanya mengapa tidak mau ganti nama. Anak menantunya juga tidak berani bertanya. “Dugaan kami, itu karena papa sangat menghormati orang tua. Nama itu pemberian orang tua,” ujar Haryanto, salah seorang menantunya.

Haryanto mendapat tugas menjadi pimpinan proyek GWK. Ia juga ikut memimpin Alam Sutera —real estate besar yang jadi salah satu ikon di grup usaha Pak The.

Ikon lainnya adalah Argo Pantes –usaha di bidang tekstil.  Terintegrasi. Mulai membuat benang, mewarnai, membuat kain sampai mencetaknya. Ekspornya hampir ke seluruh dunia.

Masih ada satu ikon lagi yang Anda pun telah terbawa salah kaprah: paralon. Paralon itu sebenarnya merek pipa yang diproduksi perusahaan Pak The. Itulah pabrik pipa bukan besi pertama di Indonesia. Mereknya Paralon. Menguasai pasar. Merek Paralon topnya top.

Kini semua pipa jenis itu, apa pun mereknya, Anda menyebutnya pipa paralon.

Masih banyak usaha lain Pak The. Hampir di seluruh keperluan hidup manusia. Pak The pernah disebut sebagai salah satu dari 25 orang terkaya Indonesia.

Saya dengar Pak The menanamkan modal sampai Rp2 triliun di GWK. Pakai uang Alam Sutera. Itu sangat besar. Tidak main-main. Sampai pun para pemegang saham publik mempertanyakannya. Alam Sutera memang sudah IPO sejak lama.

Pembangunan kembali GWK itu akhirnya juga membawa berkah bagi seniman besar Bali: I.Nyoman Nuarta. Ia pematung kelas dunia. Mangkraknya GWK sangat menyiksa batinnya. Nyomanlah yang mengerjakan patung Garuda Wisnu Kencana  itu. Patung raksasa.

Anda sudah tahu: patung itu tingginya 121 meter –termasuk pondasinya yang 46 meter. Itu jauh lebih tinggi dari patung Liberty di New York yang 93 meter –sudah termasuk pondasinya.

Sebenarnya proyek GWK sempat macet di tengah jalan. Ada permintaan Nyoman yang sulit dipenuhi Pak The. Tapi Bali segera jadi tuan rumah sidang IMF sedunia. Menko Luhut Panjaitan pun memanggil Nyoman dan pihak Pak The. Beres.

Dengan masuknya Pak The, Nyoman seperti hidup lagi –dalam pengertian yang sebenarnya. Selama proyek itu macet Nyoman terkena penyakit yang membahayakan: hepatitis C. Hebatnya Nyoman punya semangat sembuh yang luar biasa. Ia pelajari semua aspek hepatitis C. Akhirnya ia menemukan obatnya.

Obat itu obat baru. Belum resmi diakui oleh FDA-nya Amerika. Tapi sudah bisa dicoba. Harganya mahal sekali: Rp1 miliar –mungkin sekarang setara dengan Rp2 miliar. Nyoman berhasil membelinya. Ia sembuh total. Sehat sekali.

Kapan itu saya bertemu Nyoman di Bandung –tempat tinggalnya sekarang. Saya sepakat untuk datang ke rumahnya –tepatnya ke galerinya. Ketika menuju rumahnya itu hujan lebat tak kunjung reda. Jalan pun macet total. Akhirnya waktu pun berlalu.

Masih ada berkah lain: Nyoman memenangkan proyek yang jauh lebih besar: Istana Negara di Ibu kota Nusantara, IKN.

Nyoman, yang saat sakit hanya punya cita-cita tertinggi agar GWK terwujud sebagai karya  akhir dalam hidupnya, ternyata bikin sejarah besar yang lain lagi di IKN. Boleh dikata GWK dan Istana Negara adalah Karya Nyoman Nuarta di hidup barunya.

Sebelum Covid yang lalu Pak The sakit. Setelah agak reda ia dibawa ke Singapura. Selama pandemi Covid pun Pak The tinggal di Singapura. Di sana kesehatannya on-off. Tanggal 2 November lalu Pak The meninggal dunia di sana. Di usia 94 tahun.

Pak The bukan pengusaha yang tiba-tiba besar. Usia 12 tahun ia sudah bekerja di tempat kelahirannya: Seorang, Bandung. Jualan kain. Malam hari. Pakai lampu penerangan petromax. Umur 14 tahun ia merantau ke Jakarta: ikut Omnya. Juga jualan kain.

Saya sendiri baru sekali ke GWK –itu pun ketika belum sepenuhnya jadi. Sepanjang kunjungan itu selalu terbayang wajah Pak The di sana. Di patungnya. Terutama di tebing-tebing labirinnya. (Dahlan Iskan)

Read Entire Article
Tenaga Kerja | | | |