Wacana Reformasi Pengupahan yang Diusulkan Dedi Mulyadi Ditentang Buruh Bekasi

1 month ago 25

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Wacana reformasi sistem pengupahan yang diusulkan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, memicu perdebatan hangat di kalangan pekerja dan pelaku industri di Bekasi. Dalam usulannya, Dedi menginginkan skema Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) diubah menjadi upah sektoral berbasis industri secara nasional.

Menurut Dedi, sistem baru ini akan menghapus perbedaan upah antar wilayah, sehingga penentuan gaji dilakukan berdasarkan sektor industri, bukan lokasi. Ia menilai perbedaan UMK selama ini memicu migrasi tenaga kerja ke daerah dengan upah tinggi, sementara perusahaan memilih merelokasi pabrik ke wilayah dengan UMK lebih rendah.

“Menurut saya, saya boleh menyampaikan gagasan. Saya lebih setuju upah itu ditetapkan secara sektoral, tanpa membedakan wilayah. Tidak usah membedakan wilayah lagi, sudah sektoral,” ujar Dedi, dikutip Minggu (10/8).

Namun, usulan ini langsung menuai penolakan, khususnya dari kalangan pekerja di Bekasi. Mereka khawatir skema tersebut akan merugikan buruh di daerah dengan biaya hidup tinggi seperti Kota Bekasi. Selama ini, UMK Bekasi dikenal sebagai salah satu yang tertinggi di Indonesia, menyesuaikan dengan kebutuhan hidup layak di wilayah industri besar tersebut.

Sejumlah serikat pekerja menilai, jika UMK disamaratakan secara nasional, para buruh di Bekasi akan menerima upah yang sama dengan daerah yang biaya hidupnya jauh lebih rendah. Hal ini dikhawatirkan akan menurunkan daya beli, mempersulit pemenuhan kebutuhan, dan memperlebar kesenjangan sosial.

Di sisi lain, pengusaha justru melihat usulan ini sebagai peluang untuk menekan biaya produksi. Namun, ketegangan antara kepentingan pekerja dan pengusaha semakin terasa menjelang pembahasan upah minimum yang biasanya berlangsung di akhir tahun.

Perdebatan ini juga tidak lepas dari isu politisasi. Beberapa pihak menilai, penetapan UMK kerap digunakan sebagai alat meraih simpati publik, dengan menaikkan upah demi popularitas di masa-masa politik.

Meski menuai pro dan kontra, wacana pemerataan UMK ini diprediksi akan menjadi topik panas hingga akhir tahun, mengingat dampaknya menyentuh langsung jutaan pekerja di Jawa Barat, termasuk di jantung industri seperti Bekasi

Kota dan Kabupaten Bekasi tahun 2025 ini masih dalam daftar daerah dengan UMK tertinggi, Kota Bekasi berada di nomor satu dengan UMK Rp5,69 juta dan Kabupaten Bekasi di nomor tiga dengan UMK Rp5,56 juta. Kota Bekasi juga duduk di nomor dua sebagai kota dengan biaya hidup termahal, yakni Rp14,34 juta per bulan dibawah DKI Jakarta dengan Rp14,88 juta per bulan.

Serikat pekerja atau serikat buruh di Kota Bekasi memandang skema pengupahan tersebut akan semakin memperlebar ketimpangan upah. Sisi lain, pekerja di Bekasi akan semakin sulit memenuhi kebutuhan hidup layak.

Sekretaris DPD FSBDSI Kota dan Kabupaten Bekasi, Purwadi menilai bahwa mengganti UMK menjadi upah sektoral akan menimbulkan masalah pemenuhan kebutuhan hidup layak bagi para pekerja. Ia menekankan bahwa biaya hidup setiap daerah berbeda.

“Yang bermasalah adalah biaya hidup di kota. Jangankan dengan daerah di Jawa Barat yang jauh, bahkan dengan Kabupaten Karawang dan Purwakarta saja pasti lebih tinggi kita,” ungkapnya.

Menurutnya, UMK dan upah sektoral harus dipisah seperti tahun-tahun sebelumnya. Dalam hal pengupahan, Purwadi menyebut industri harus dipisahkan dalam beberapa kategori yakni industri skala besar, kecil, menengah, dan UKM.

Selain itu, upah sektoral layak diperhitungkan terpisah dari UMK lantaran setiap kegiatan produksi memiliki resiko bagi para pekerja. Upah sektoral tersebut menjadi kompensasi atas risiko yang dihadapi para pekerja baik dalam waktu singkat maupun dalam jangka panjang.

“Kenapa harus ada upah sektoral terpisah dari UMK ?, pertimbangannya salah satunya di upah sektoral itu adalah resiko produksi yang tinggi,” ucapnya.

Fenomena baru berupa migrasi pekerja ke daerah dengan biaya hidup rendah akan terlihat jika perubahan skema pengupahan seperti yang diusulkan oleh Gubernur Jabar tersebut diterapkan. Tingginya UMK juga disebut bukan satu-satunya pemicu relokasi perusahaan, menurutnya faktor utama adalah kenyamanan berusaha di daerah.

Faktor lainnya adalah biaya yang harus dikeluarkan untuk berinvestasi seperti harga tanah, memangkas biaya angkut yang disebabkan oleh macetnya lalu lintas, hingga mendekatkan perusahaan dengan Customer.

“Siapapun pengusahanya, walaupun di tempat itu upahnya mahal kalau dia nyaman kenapa tidak ?. Bagaimana daerah menciptakan suasana yang kondusif baik dari lingkungan, tenaga kerja, maupun pemerintah,” tambahnya.

Untuk itu kata dia, dibutuhkan peran banyak pihak termasuk pemerintah untuk menjaga kondusifitas dunia industri. Diantaranya lewat berbagai kemudahan dan garansi kenyamanan dari pemerintah di daerah.

Menjelang perundingan upah tahun 2026 nanti, Purwadi meminta agar pemerintah mempertahankan upah sektoral, pemerintah daerah mengedepankan kebutuhan hidup layak dalam membuat kebijakan tentang pengupahan. Pihaknya saat ini menunggu regulasi yang akan dipakai untuk merumuskan kebaikan upah di tahun 2026.

Senada, Ketua PC SPL FSPMI Kota dan Kabupaten Bekasi, Sarino, menilai usulan Gubernur Jabar bukan solusi mengatasi migrasi pekerja maupun relokasi perusahaan, bahkan bisa memperlebar ketimpangan upah antar daerah.

“Kalau konsep itu diberlakukan, itu ketimpangan atau disparitas semakin tinggi justru,” katanya.

Hal ini disebabkan karena kebutuhan hidup layak tiap daerah berbeda. Upah sektoral yang ditetapkan secara nasional juga akan memunculkan masalah baru bagi daerah yang saat ini upahnya tinggi seperti Bekasi.

Peniadaan UMK menurut Sarino, justru aka memberatkan perusahaan yang bergerak di bidang tekstil maupun perusahaan lain yang selama ini menggunakan UMK sebagai dasar pembayaran upah kepada pekerja.

Serikat pekerja atau serikat buruh kata dia, telah menawarkan konsep perhitungan upah untuk menghindari kesenjangan antar daerah.

Terkait dengan relokasi perusahaan, menurut Sarino dilatarbelakangi oleh banyak faktor, tidak hanya upah. Diantaranya pertimbangan logistik, biaya transportasi, hingga menyesuaikan dengan keberadaan perusahaan yang akan disuplai sebagai vendor.

Sementara untuk perusahaan atau pabrik yang gulung tikar, ia menitikberatkan hal itu dengan kemampuan mengikuti perkembangan pasar, begitu juga yang dialami oleh beberapa perusahaan di Bekasi beberapa waktu lalu. Perusahaan terpaksa harus menutup produksi saat produknya mulai ditinggal oleh konsumen.

“Dimanapun pabriknya tetap akan runtuh kalau tidak mengikuti perkembangan zaman tadi, kalau tidak ada terobosan baru,” ucapnya.

Kemampuan pekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup layak dinilai akan menaikkan daya beli masyarakat. Untuk itu, inflasi dan kebutuhan hidup layak menjadi dasar dari perhitungan upah.”Sebenarnya kalau kebutuhan hidup layaknya terpenuhi, daya beli juga otomatis tinggi. Saat daya beli tinggi, produk-produk yang diproduksi pabrik akan laku,” tambahnya.

Sementara itu Ketua Kadin Kota Bekasi, Muhammad Gunawan menyampaikan bahwa migrasi pekerja tidak hanya disebabkan oleh upah. Menurutnya, kebanyakan warga menghendaki bekerja tidak jauh dari tempat tinggalnya, di samping perhitungan biaya-biaya yang harus dikeluarkan seperti sewa tempat tinggal dan makan sehari-hari saat bekerja di luar daerah juga lebih tinggi dibandingkan bekerja di daerah asal.

“Jadi warga tidak akan pindah hanya karena banyak lowongan di daerah yang jauh, dan memindahkan perusahaan itu tidak murah dan mudah dalam mengurus perizinan, kecuali mengurus perizinan mudah dan murah itu lain hal,” ungkapnya.

Gunawan menilai keputusan untuk menaikkan upah setiap tahun juga bukan pilihan yang tepat. Pasalnya, pengusaha atau perusahaan harus berusaha keras bertahan dalam situasi ekonomi saat ini.

“Untuk tiap perundingan di akhir tahun yang selalu diminta pemerintah untuk menaikkan itu juga kurang tepat, karena untuk perusahaan tidak selalu tiap tahun itu untung, dan bisa bertahan di zaman seperti sekarang ini sudah Alhamdulillah,” ucapnya.

Ia menilai diperlukan formula yang tepat untuk menghitung kenaikan upah setiap tahun, sehingga ketimpangan upah antar daerah tidak terlampau mencolok. Selain itu, pemerintah juga mesti membantu pengusaha-pengusaha lokal untuk mengembangkan usahanya, salah satunya dari sisi permodalan.

“Betul (perlu formula yang tepat untuk menghitung upah), seperti Kota Bekasi dan Bogor kan dekat, tidak usah beda jauh seharusnya. Kecuali di Aceh karena biaya hidup disana tinggi,” tambahnya. (sur)

Read Entire Article
Tenaga Kerja | | | |