Tak Lagi di Jeruji Besi, Terpidana Ringan Dihukum Kerja Sosial

4 hours ago 10

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Tahun depan, pemandangan baru akan menghiasi sudut-sudut kota dan kabupaten di Bekasi serta wilayah Jawa Barat lainnya. Warga akan melihat para pelaku tindak pidana ringan tidak lagi meringkuk di balik jeruji besi, melainkan menyapu taman, membersihkan drainase, hingga mengangkut sampah dari sungai. Inilah wajah baru sistem hukum pidana Indonesia: pidana kerja sosial.

Kebijakan ini bukan sekadar eksperimen sosial, melainkan amanat dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Regulasi ini memperkenalkan pidana kerja sosial sebagai alternatif hukuman penjara yang dilaksanakan di ruang publik, dan mulai berlaku efektif pada 2026 tiga tahun setelah pengundangannya pada 2 Januari 2023.

Untuk menyambut penerapannya, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat bersama Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat resmi menandatangani nota kesepahaman (MoU) tentang pelaksanaan pidana kerja sosial. Langkah tersebut sekaligus menandai kesiapan Jawa Barat menjadi provinsi pioner penerapan sistem pemidanaan baru yang dinilai lebih humanis, produktif, dan berkeadilan.

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum), Asep Nana Mulyana, menegaskan bahwa pidana kerja sosial bukan bentuk hukuman yang memaksa, apalagi menghina martabat manusia.

“Pidana kerja sosial merupakan model alternatif pemidanaan di luar penjara, tidak memiliki unsur paksaan, tidak ada komersialisasi, dan harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” ujarnya.

Hal itu dikatakannya saat penandatanganan MoU dan Perjanjian Kerja Sama antara Kejaksaan Tinggi Jawa Barat dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat serta Pemerintah Kabupaten/Kota se-Jawa Barat tentang pelaksanaan Pidana Kerja Sosial bagi Pelaku Pidana yang berlangsung di Gedung Swatantra Wibawa Mukti, Kompleks Pemkab Bekasi, Cikarang Pusat, pada Selasa (4/11).

Menurutnya, sistem ini menjadi ruang bagi pelaku kejahatan untuk menebus kesalahannya dengan perbuatan yang berguna bagi masyarakat.

“Setiap manusia tidak dilahirkan untuk berbuat salah, namun selalu ada kesempatan untuk berbuat kebaikan dan perbaikan,” tambahnya.

Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menilai pidana kerja sosial bukan hanya bentuk penegakan hukum yang humanis, tetapi juga solusi efisien bagi keuangan negara. Selama ini, biaya pemeliharaan tahanan di lembaga pemasyarakatan (Lapas) terus membengkak.

“Ketika orang berada di penjara, dia harus diberi makan, minum, tenaga pendamping, dan pengawas. Semua itu menggunakan uang negara, sementara produktivitasnya rendah,” ujarnya.

Sebaliknya, pidana kerja sosial justru menumbuhkan produktivitas. Di Bekasi misalnya, para pelaku tindak pidana ringan dapat dilibatkan dalam pekerjaan publik yang tertunda.

“Coba lihat, berapa banyak bantaran sungai yang menumpuk sampah, jalan dengan rumput tinggi, dan drainase tersumbat. Kalau pelaku kerja di sana, manfaatnya nyata bagi warga,” tutur Dedi.

Selain itu, pendekatan ini juga mencegah munculnya kemiskinan baru di keluarga pelaku. Dengan tidak dipenjara, seorang kepala keluarga tetap dapat berinteraksi dengan keluarga dan lingkungan sosialnya.

“Ketika suami masuk penjara, istri harus keluar biaya untuk menjenguk, anak kehilangan nafkah. Pola kolonial seperti ini tidak relevan lagi,” tegas Dedi.

Ia menyebut, semangat KUHP baru adalah keadilan restoratif, bukan pembalasan. Negara, kata Dedi, kini mulai menempatkan keadilan pada sisi kemanusiaan dan kebermanfaatan sosial, bukan sekadar hukuman fisik.

Langkah serupa juga diikuti oleh pemerintah kabupaten dan kota se-Jawa Barat bersama Kejaksaan Negeri (Kejari) masing-masing. Di Kota Bekasi, kerja sama tersebut dianggap sebagai kelanjutan dari program Restorative Justice (RJ) yang sudah berjalan.

Kasi Intel Kejari Kota Bekasi, Ryan Anugrah, menyebut pidana kerja sosial akan memperkuat semangat RJ yang selama ini diterapkan.

“Kalau RJ lebih menekankan pada pemulihan hubungan antara pelaku dan korban, maka pidana kerja sosial lebih spesifik pada kontribusi nyata pelaku bagi masyarakat,” ujarnya.

Ryan menjelaskan, penerapannya akan disesuaikan dengan kebutuhan daerah. “Misalnya, terpidana melaksanakan kerja sosial di bawah pengawasan dinas tertentu selama beberapa hari. Tujuannya jelas: kepentingan sosial dan manfaat publik,” katanya.

Namun, ia menegaskan, tidak semua pelaku tindak pidana dapat dijatuhi pidana kerja sosial. KUHP baru telah mengatur syarat dan mekanisme pelaksanaan yang ketat, mulai dari jenis kejahatan hingga kapasitas pelaku untuk melakukan pekerjaan sosial.

Praktisi hukum Dadan Ramlan menilai kebijakan ini merupakan langkah maju dalam reformasi hukum nasional. Menurutnya, pidana penjara seharusnya menjadi upaya terakhir (ultimum remedium) dalam sistem pemidanaan, bukan satu-satunya jalan.

“Di banyak negara, hukuman kerja sosial sudah lama diterapkan. Tujuannya bukan hanya memberi efek jera, tetapi juga menciptakan tanggung jawab sosial. Masyarakat bisa melihat pelaku menebus kesalahan lewat kerja nyata, bukan sekadar mendekam di sel,” paparnya.

Lebih jauh, Dadan menilai pidana kerja sosial juga menjawab masalah klasik di lembaga pemasyarakatan: over kapasitas. Data Kemenkumham mencatat, mayoritas narapidana di Indonesia berasal dari tindak pidana ringan, seperti pencurian kecil atau penganiayaan ringan—jenis kasus yang marak terjadi di wilayah perkotaan seperti Bekasi.

“Kalau semua pelaku seperti itu dijebloskan ke penjara, beban Lapas makin berat. Dengan kerja sosial, negara bisa hemat biaya, pelaku tetap menjalani hukuman, dan masyarakat mendapat manfaat langsung,” katanya.

Selain pidana kerja sosial, KUHP baru juga menegaskan pentingnya pendekatan Restorative Justice, yakni penyelesaian perkara dengan menitikberatkan pada pemulihan hubungan antara pelaku dan korban. Dalam banyak kasus, pelaku diminta memberi kompensasi kepada korban sebagai bagian dari tanggung jawab moral dan hukum.

Transformasi menuju pidana kerja sosial menandai perubahan paradigma besar dalam hukum pidana Indonesia, dari penjeraan menuju pemulihan, dari kurungan menuju kontribusi.
Kebijakan ini juga menjadi refleksi bahwa hukum seharusnya bukan alat balas dendam negara, melainkan sarana memperbaiki manusia dan lingkungan sosialnya. Ketika pelaku mencangkul tanah, mengecat fasilitas umum, atau membersihkan sungai, di saat itulah hukum bekerja secara nyata menyentuh masyarakat dan memperbaiki kehidupan bersama.

Tahun depan, ketika warga Bekasi melihat seseorang berseragam oranye sedang membersihkan sungai atau mengecat trotoar, mungkin yang mereka saksikan bukan hanya hukuman, melainkan proses pemulihan. Sebuah pelajaran bahwa keadilan bisa hadir tanpa jeruji, dan kesalahan bisa ditebus lewat kerja nyata. (sur)

Read Entire Article
Tenaga Kerja | | | |