RADARBEKASI.ID, BEKASI — Warga RT 12 RW 012 Perumahan Dukuh Zamrud Kelurahan Cimuning Kecamatan Mustika Jaya Kota Bekasi, menolak kegiatan perkumpulan yang digelar di sebuah rumah milik warga berinisial YP. Penolakan ini didasari karena kegiatan tersebut dilakukan secara tertutup dan diduga mengandung ajaran menyimpang, seperti menjanjikan jemaah bisa masuk surga jika memberikan uang Rp1 juta.
Pada Minggu (10/8), warga menggelar aksi damai untuk menuntut agar kegiatan itu dihentikan. Dalam rekaman video yang diunggah akun TikTok yanti_wijanti, terlihat sejumlah warga menandatangani di atas spanduk penolakan terhadap kegiatan tersebut.
Tokoh agama setempat, Abdul Halim (54), menjelaskan kegiatan di rumah YP mencakup pembelajaran Al-Qur’an, tafsir, hadis, dan bahasa Arab. Namun, Halim menegaskan bahwa kegiatan yang tertutup dan tanpa izin lingkungan inilah yang membuat warga menolak.
“Kami bukan menolak pengajian, tapi menolak aktivitas yang tidak transparan, tertutup, tidak berizin lingkungan, dan sudah terbukti meresahkan. Kalau memang pengajian, silakan saja, asal terbuka dan sesuai aturan lingkungan,” tegas Halim, Senin (11/8).
Selain itu, warga juga mengeluhkan suara gonggongan anjing serta perilaku jemaah yang sering parkir sembarangan dan merusak tanaman. Kekhawatiran bertambah ketika seorang warga melihat YP, yang diketahui sebagai muslim, memandikan anjing di rumahnya.
“Saya jelaskan waktu itu, memandikan anjing memang ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Menurut Imam Malik, anjing tidak najis, tapi mayoritas warga di sini mengikuti mazhab Syafi’i, jadi mereka kaget melihat ustazah memandikan anjing,” tutur Halim.
Dugaan penyimpangan juga muncul. Dikatakan Halim, beberapa mantan jemaah mengaku keluar karena merasa ajaran yang disampaikan tidak masuk akal, seperti janji bisa masuk surga jika memberi uang Rp1 juta.
“Ya, ada beberapa mantan jemaah yang mundur karena merasa ada hal-hal yang tidak logis, seperti iming-iming bisa masuk surga dengan memberi Rp1 juta. Tentu ini menimbulkan pertanyaan besar. Warga jadi khawatir, ada ajaran atau praktik yang menyimpang dari ajaran umum,” kata Halim.
Selain itu, terdapat dugaan praktik infak terbuka dengan nominal minimum yang tidak wajar. “Konon setiap kali hadir harus memberi infak terbuka minimal Rp100 ribu, tanpa amplop, agar kelihatan berapa yang diberikan,” imbuhnya.
Halim menyampaikan keresahan warga sudah berlangsung bertahun-tahun. Sebelum aksi damai, warga telah melaporkan masalah ini ke pengurus lingkungan.
“Sebenarnya prosesnya sudah panjang, bukan serta-merta ujuk-ujuk terjadi aksi kemarin. Warga sudah lama menyuarakan keresahan mereka atas kegiatan yang dilakukan di wilayah RT 12. Ini sudah berlangsung bertahun-tahun,” ujar Halim.
Pihaknya juga pernah mengadukan permasalahan ini ke Dewan Kemakmuran Masjid (DKM). Akan tetapi tidak mendapat tindak lanjut memuaskan.
“Warga beberapa kali mengadu ke pihak DKM, namun tidak ada tindak lanjut yang berarti,” ungkap Halim.
Menurut Halim, pihak DKM menyarankan warga menyampaikan keberatan ke pengurus RT atau RW terlebih dahulu. Proses ini sudah ditempuh.
“DKM menyarankan agar warga menyampaikan keberatan ke RT atau RW terlebih dahulu. Kalau memang merasa terganggu, bisa diselesaikan secara lingkungan. Dan itu sudah dilakukan. Warga sudah melapor ke RT dan RW,” ujarnya.
Mediasi juga sempat dilakukan, terutama setelah pergantian kepengurusan RW. Namun, hasilnya kurang memuaskan. Halim menjelaskan bahwa dalam mediasi, YP meminta agar permasalahan tidak disebarluaskan. Namun tak lama kemudian, laporan polisi terhadap warga justru memperkeruh suasana.
“Ibu Y melaporkan salah satu warga, yakni Ibu Ustazah Indari, karena dianggap mencemarkan nama baik. Padahal, Ibu Indari saat itu sedang sakit keras. Pak RW bahkan menyarankan agar laporan itu dicabut, mengingat kondisi kesehatan Ibu Indari yang sudah mengkhawatirkan. Tapi laporan tetap dilanjutkan,” jelasnya.
Puncak kekecewaan warga terjadi saat Indari meninggal dunia, tetapi proses hukum terhadapnya tetap berjalan. Menurut Halim, YP sebelumnya tinggal di Perumahan Bekasi Timur Regency, namun kegiatan serupa juga ditolak warga setempat hingga akhirnya ia pindah ke Dukuh Zamrud.
“Menurut laporan dari pihak RW, kegiatan Ibu Y di lokasi ini sudah berlangsung hampir 8 tahun. Namun warga baru berani menolak secara terbuka karena keresahannya makin lama makin terasa,” ujar Halim. (rez)