Sistem Distribusi Rusak, Pesantren di Bekasi Sulit Akses Hibah Provinsi Selama Era Ridwan Kamil

1 month ago 30

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Keputusan Gubernur Jawa Barat memangkas dana hibah untuk pesantren menuai pro dan kontra. Dari semula Rp153 miliar, anggaran tersebut kini hanya tinggal Rp9,25 miliar.

Mengacu pada dokumen Peraturan Gubernur No. 12 Tahun 2025 tentang Penjabaran APBD 2025, tercatat lebih dari 370 lembaga yang awalnya direncanakan menerima kucuran dana hibah.

Namun, hampir seluruhnya batal akibat kebijakan pergeseran anggaran. Hanya dua lembaga yang tetap menerima hibah, yakni Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran (LPTQ) Jabar sebesar Rp9 miliar, serta Yayasan Mathlaul Anwar Ciaruteun Udik di Kabupaten Bogor senilai Rp250 juta.

Pimpinan pesantren di Kota Bekasi meminta pemerintah konsisten menjalankan amanat Undang-undang Nomor 18 Tahun 2019 beserta turunannya dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) maupun peraturan kepala daerah di setiap tingkatan.

Latarbelakang relasi politik nampaknya relevan dengan yang dirasakan oleh pesantren di Kota Bekasi. Sulitnya pesantren di Kota Bekasi mendapatkan dana hibah setidaknya terasa lima tahun belakangan atau saat era Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.

Ketua Forum Komunikasi Pondok Pesantren (FKPP) Kota Bekasi, Ismail Anwar, menyampaikan bahwa tahun lalu tidak ada satu pun pesantren di Kota Bekasi yang menerima hibah dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Ia menilai sistem pendistribusian hibah perlu dibenahi.

“Sistem pendistribusian yang diperbaiki. Karena memang Kota Bekasi itu memang agak sulit untuk mendapatkan hibah provinsi. Hampir lima tahun belakangan sejak gubernur yang lalu aksesnya agak sulit,” ungkapnya kepada Radar Bekasi, Minggu (27/4).

Ismail sepakat dengan upaya perbaikan sistem yang digagas Gubernur Dedi Mulyadi agar dana hibah bisa diakses tanpa perlu memiliki koneksi politik. Namun, ia menolak anggapan bahwa pemangkasan anggaran hibah pesantren secara drastis sebagai solusi yang tepat.

Dalam hal ini menurut Ismail, pesantren tidak mengemis kepada pemerintah. Melainkan kewajiban yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

Ia juga mengingatkan masih banyak pesantren di Jawa Barat yang membutuhkan dukungan dari pemerintah provinsi.

“Artinya sistemnya itu rusak kemarin, tapi bukan berarti dihilangkan semua. Sistemnya diperbaiki, anggaran tetap bahkan diperbanyak mestinya. Karena kita sudah ada payung hukum, Perpres, Pergub, di daerah Perda,” paparnya.

Selain soal distribusi yang tidak adil, Ismail juga menyoroti keberadaan yayasan bodong yang kerap menjadi penerima hibah. Untuk mengatasi hal ini, ia menyarankan agar pemerintah provinsi bekerja sama dengan Kementerian Agama (Kemenag).

Seperti yang berjalan selama ini di Kota Bekasi. Ismail memaparkan bahwa Pemerintah Kota (Pemkot) sebagai pemilik anggaran bekerjasama dengan Kemenag dan FKPP dalam mendistribusikan dana hibah untuk pesantren.

Untuk memperoleh rekomendasi, dalam hal ini FKPP dan Kemenag berperan memastikan Izin Operasional Pendirian Pendidikan Diniyah dan Ma’had Aly (IJOP) hingga pertimbangan-pertimbangan lainnya.

“Kalau Pemda kan yang punya uang, Kemenag yang punya data base nya, FKPP yang tau persis pondok pesantren itu keberadaannya, santrinya, alamatnya, baru setelah itu rekomendasi,” ucapnya.

Ismail mengingatkan bahwa pesantren merupakan lembaga yang telah lama berdiri, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Sejauh ini, jumlah pesantren di Kota Bekasi yang memiliki IJOP sebanyak 129 lembaga , 75 diantaranya tergabung dalam FKPP.

Meski berada di daerah perkotaan, sampai dengan saat ini Ismail menilai perkembangan pesantren di Kota Bekasi masih cukup baik. Orangtua di Kota Bekasi masih mempercayakan anak-anaknya mendapat pendidikan di pesantren.

Sementara itu, Pimpinan Ponpes Annida Al Islamy Bekasi, Muhammad Aiz pemerintah di tiap tingkatan memiliki mekanisme penyaluran dana hibah yang mesti ditaati. Seperti di Provinsi Jawa Barat, pengajuan dana hibah Ponpes dilakukan secara online, tidak sedikit Ponpes di Bekasi yang mengajukan ke Provinsi Jawa Barat.

Namun kata dia, keputusan akhir tentang siapa yang mendapatkan dana hibah tersebut diputuskan oleh pemerintah. Jika langkah perbaikan sistem pendistribusian yang dilakukan, ia menilai keputusan tersebut akan membawa dampak positif.

Perbaikan distribusi tersebut diharapkan memberikan azas keadilan bagi seluruh Ponpes di Jawa Barat. Dengan kata lain akan lebih merata, tidak hanya segelintir yang mendapat dana hibah secara berulang.

“Mungkin banyak pesantren-pesantren kecil yang sebetulnya membutuhkan pada akhirnya tidak kebagian. Sehingga asas keadilan bagi pesantren di wilayah Jawa Barat mungkin agak sedikit terusik begitu ya,” ungkapnya.

Namun, Aiz menggarisbawahi pemangkasan dana hibah yang dinilai terlampau drastis. Pemangkasan dana hibah yang terlampau besar ini berakibat semakin banyak Ponpes yang tidak mendapatkan dana hibah dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat tahun ini.

Dirinya berharap koreksi dilakukan terhadap penerima dana hibah, tidak mengurangi dana hibah dalam jumlah besar.

“Sehingga jumlah pesantren yang mendapatkan dana hibah dari Pemprov itu tetap ada dan tetap merata dari kota kabupaten yang ada di Jawa Barat,” katanya.

Dana hibah memang bukan satu-satunya sumber pendanaan bagi Ponpes kata dia, namun setidaknya bisa menjadi stimulan disamping sumber dana mandiri yang diusahakan oleh setiap Ponpes bagi pengembangan pesantren.

Ponpes Annida Al Islamy terkahir kali mendapatkan dana hibah dari Pemprov Jawa Barat lebih dari lima tahun yang lalu, dana hibah untuk pembangunan gedung satu lokal.

Menurut Aiz keberadaan Ponpes saat ini semakin kuat dengan sederet peraturan yang telah diterbitkan, mulai dari UU hingga Perda dan peraturan kepala daerah di tiap tingkatan. Saat ini Ponpes tinggal menunggu realisasi dari setiap aturan yang telah disusun tersebut.

“Tinggal kita berharap agar peraturan-peraturan tersebut bisa diwujudkan, bisa direalisasikan sebagaimana amanat Undang-undang (UU),” tambahnya.

Sebelumnya, Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi menyampaikan beberapa alasan dibalik pemangkasan dana hibah pesantren di Jawa Barat. Pembenahan manajemen tata kelola pemberian dana bantuan tersebut menjadi alasan utama.

“Jadi begini ya, kan itu adalah bagian dari upaya kita dalam membenahi manajemen tata kelola hibah gitu loh,” katanya belum lama ini.

Berikutnya, agar dana bantuan tidak hanya berkutat pada lembaga atau yayasan yang memiliki akses politik saja. Kedepan, pihaknya akan mengarahkan pada distribusi rasa keadilan.

Pemerintah Provinsi Jawa Barat akan mulai fokus membangunkan Madrasah dan Tsanawiyah yang tidak memiliki akses terhadap kekuasaan dan politik.

“Jadi, pertimbangannya nanti pembangunan-pembangunan sarana dan prasarana pendidikan yang di bawah Kemenag itu nanti pertimbangan teknis dan pertimbangan kebutuhan bukan pertimbangan politis,” ungkapnya.

Ia juga menyampaikan banyak yayasan bodong yang menerima bantuan.

“Jadi, tujuannya untuk apa? Karena ini untuk yayasan-yayasan pendidikan agama, maka prosesnya pun harus beragama,” tambahnya. (sur)

Read Entire Article
Tenaga Kerja | | | |