Rambut Identik

15 hours ago 8

Umar Patek mendengarkan curhatan Khusnul Khatimah, korban Bom Bali.--

Oleh: Dahlan Iskan

“Saya ingin bertemu Umar Patek”.

“Temui saja. Itu ia sedang di panggung”.

“Tidak berani. Tolong antarkan saya”.

Ok. Saya tarik tangan Khusnul Chotimah. Saya ajak dia naik ke panggung. Umar Patek sedang dikerumuni wartawan. Saya tarik lengan Umar dari kerumunan wawancara. Ini lebih penting.

Khusnul Khotimah adalah korban bom Bali. Badannyi penuh bekas luka bakar. Pun tangani yang saya tarik ke atas panggung itu.

“Ini bu Khusnul Khotimah. Korban bom Bali. Tolong dengarkan kata-katanyi,” ujar saya kepada Umar.

Khusnul pun nerocos. Intinya dia menggugat nasib baik Umar yang meski teroris dapat perhatian begitu istimewa. Sedang dirinyi, yang 90 persen luka bakar tetap hidup susah. Dia juga ditolak bekerja di mana-mana karena tampilan fisiknyi yang penuh cacat.

Malam itu, Selasa lalu, 3 Mei 2025, Umar Patek memang berubah seperti pahlawan. Yakni pahlawan perubahan keyakinan dari ekstrem ke moderat. Dari benci ke agama selain Islam menjadi kerja sama dengan drg David Andreasmito yang Kristen.

Saya perhatikan ekspresi wajah Umar saat didamprat Khusnul Khotimah. Umar tidak menjawab satu kalimat pun. Ia mendengarkan dengan sungguh-sungguh kata-kata Khusnul Khotimah. Ia sesekali menunduk. Sedih. Setengah pilu. Matanya berkaca. Kerumunan wartawan memperhatikan adegan yang terjadi –termasuk satu wartawan bule dari Selandia Baru yang sangat muda dan jangkung. Juga wartawati Jepang berambut panjang.

Tak lama kemudian drg David naik panggung. Ia mengakhiri curhat itu dengan permintaan agar para korban bom Bali juga bersatu untuk mendapat perhatian.

Saya memuji sikap Umar yang mampu menahan emosi dengan cara hanya diam memperhatikan apa yang diucapkan Khusnul Khotimah.

Wanita asal Sidoarjo ini sudah beberapa kali hadir di Hedon Estate milik drg David. Di situ memang sering diadakan acara deradikalisasi ekstremis.

“Antarkan saya bertemu Pak Marthinus Hukom,” bisik Khusnul meraih telinga saya.

“Itu beliau ada di sana. Temui saja,” jawab saya.

“Tidak berani,” katanyi.

“Ayo, ikut saya.”

Pak Marthinus bangkit dari sofa. Ia hentikan pembicaraan dengan tamu-tamu VIP. Ia rangkul Khusnul Khotimah. Ia dengarkan curhat itu. Puas. Khusnul sudah berhasil menyampaikan uneg-unegnyi.

Marthinus adalah jenderal polisi bintang tiga. Asli Ambon. Istrinya orang Jombang yang lahir di Jakarta. Kini Marthinus menjabat kepala Badan Narkotika Nasional, BNN.

“Sudah lama kita tidak jumpa ya Pak,” ujar Marthinus.

“Iya Pak. Hampir 15 tahun,” kata saya.

Waktu itu Marthinus masih sangat muda. Pangkatnya masih mayor. Ia menjadi tim antiteror yang sangat andal –di bawah komando Jenderal Gories Mere. Kami saat itu tergabung dalam satu misi ke Thailand. Ke ujung barat daya negeri itu. Ke dekat perbatasan Myanmar dan Laos. Daerah itu dikenal sebagai ”segitiga emas” perdagangan obat bius.

Ibu Suri kerajaan Thai memang sedang mengadakan program besar deradikalisasi di wilayah itu. Tanaman opium diubah menjadi perkebunan makadamia.

Kami naik pesawat pribadi milik seseorang yang juga aktif di gerakan deradikalisasi. Pulangnya kami mampir mendarat di Batam dengan satu acara: makan martabak Har di Batam. Lalu bergegas balik ke Jakarta.

Beberapa tahun kemudian saya ke wilayah itu lagi. Sendirian. Pakai pesawat komersial secara estafet. Saya kaget: wilayah itu sudah menjadi kawasan wisata yang amat terkenal. Ramai. Indah. Cantik. Bergunung.

Hari itu saya punya dua tujuan: melihat hasil deradikalisasi di pedalaman Thailand dan bertemu tim sepak bola remaja yang terjebak banjir di dalam goa.

Anda masih ingat betapa dramatis usaha penyelamatan mereka. Saya pun senang: hari itu mereka sudah berlatih sepak bola lagi di lapangan desa.

Marthinuslah yang berhasil melacak keberadaan Amrozi, tokoh utama bom Bali. Yakni lewat pelacakan mobil L-300 yang dipakai mengangkut bom Bali. Ia lacak mobil itu ada di Lamongan utara. Di Paciran. Dekat pantai.

Amrozi adalah pembeli ke-7 mobil tersebut. Nomor chassis-nya memang sudah dihapus, tapi masih dikenali. Waktu membeli mobil tersebut ia pakai nama M. Rozi.

Logat bicara Melayu Amrozi membuat ia tidak bisa sembunyi dari Marthinus. Amrozi memang pernah lama di Malaysia. Di sanalah ia menjadi radikal.

Menjelang subuh rumah Amrozi didatangi tim Densus 88. Pintu rumah papannya diketok dari depan. Setelah tahu banyak polisi di depan pintu ia berusaha lari ke belakang. Ingin lari lewat pintu belakang. Tapi pintu itu sudah ditutup dan dijaga Marthinus. Amrozi ditangkap.

Khusnul Khotimah sampai ke Nusakambangan untuk menemui Amrozi di penjara di sana. Khusnul sudah bertemu langsung banyak tokoh teroris yang membuat tubuhnya penuh bekas luka bakar.

Umar Patek termasuk yang tidak setuju dilancarkannya Bom Bali. Korbannya akan banyak orang Indonesia sendiri –juga orang Islam sendiri. Tapi ia terjebak ikut meracik bom itu meski tidak ikut melaksanakannya.

Salah satu anak Khusnul, sekitar 30 tahun, juga jualan kopi di Sidoarjo. Tapi di warung kopi kelas kampung –beda jauh dengan gemerlap Hedon Estate yang didalamnya ada Kopi Ramu milik Umar.

Umar masih tetap memelihara jenggot dan jambang. Tapi tidak lebat. Rambutnya dipotong agak pendek. Keriting. Dicat merah samar.

“Sejak kapan rambut dicat?” tanya saya.

“Sejak rambut saya memutih. Mungkin sudah lima tahun ini,” jawabnya.

Umar Kecil, mestinya kini juga punya panggilan Umar si Rambut Merah.

Di Afghanistan, di Pakistan dan di kawasan itu sangat biasa rambut dicat merah. Juga jenggot mereka. Dengan rambut merah tampilan Umar Patek tidak lagi identik dengan saat masih jadi buron teroris internasional dengan harga kepala Rp 10 miliar bagi yang menemukannya.

Saya menemukan Umar Patek di Hedon Estate milik drg David –tanpa bisa minta tebusan Rp 10 miliar itu.(Dahlan Iskan)

Read Entire Article
Tenaga Kerja | | | |