RADARBEKASI.ID, BEKASI – Rencana Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat membangun sekolah menengah atas dan kejuruan (SMA/SMK) negeri baru di Bekasi bukan sekadar menambah gedung, melainkan menjadi ujian keberanian negara hadir memenuhi kebutuhan dasar warganya. Di balik jargon pemerataan pendidikan, realitas di Kota dan Kabupaten Bekasi justru menunjukkan ironi. Sekolah swasta tumbuh pesat, sementara sekolah negeri stagnan dan semakin tertinggal.
Pembangunan SMA/SMK negeri baru di Bekasi bukan perkara mudah. Harga tanah yang mahal hingga potensi “mematikan” sekolah swasta yang selama ini tumbuh subur menjadi pekerjaan rumah besar yang harus diselesaikan. Sulitnya akses pendidikan tingkat SMA/SMK Negeri di Bekasi diakui langsung oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Saat meresmikan renovasi sekolah dan program bedah 500 rumah oleh swasta beberapa waktu lalu, Dedi menegaskan pemerintah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, selama ini lambat memenuhi kebutuhan dasar warga. Ironis, di kota-kota besar seperti Bekasi, Depok, Bogor, hingga Bandung, sekolah negeri justru minim.
“Negara belum hadir sepenuhnya. Justru pihak swasta yang merenovasi fasilitas publik. Padahal pemerintah sudah memungut pajak dari rakyat,” tegas Dedi.
Untuk menutup ketertinggalan itu, Dedi mengaku telah melakukan realokasi anggaran perjalanan dinas hingga rapat-rapat di hotel. Dana tersebut diarahkan ke pembangunan infrastruktur pendidikan. Tahun ini, ia bertekad membangun 4–5 SMA baru di Bekasi, meski beban berat lain menunggu: ketersediaan lahan dan potensi benturan dengan sekolah swasta.
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mengakui lambannya pemerintah dalam memenuhi hak pendidikan warganya. Saat meresmikan renovasi sekolah dan bedah rumah di Bekasi beberapa waktu lalu, ia menyebut kehadiran swasta yang menambal kekurangan fasilitas publik adalah “tamparan” bagi pemerintah.
Data berbicara lantang. Dari 118 SMA di Kota Bekasi, hanya 22 yang berstatus negeri. Untuk SMK, dari 143 sekolah, negeri hanya 15. Kondisi tak jauh berbeda di Kabupaten Bekasi: dari 130 SMA, negeri hanya 44, sedangkan SMK negeri cuma 15 dari total 196 sekolah. Ironis, sekolah negeri yang seharusnya menjadi pilar justru kalah jumlah dibanding swasta.
Kajian LSM Sapulidi bahkan sejak 2011 menyebut idealnya Kota Bekasi butuh 60 SMA negeri dan 30 SMK negeri. Sementara Kabupaten Bekasi seharusnya punya 80 SMA negeri dan 20–25 SMK negeri. Namun, hingga kini angka tersebut tidak kunjung tercapai.
Imam Kobul Yahya, pengamat pendidikan, menilai lemahnya penambahan SMA/K negeri pasca pengelolaan diambil alih Pemprov adalah bukti nyata bahwa Bekasi dianaktirikan. “Yang tumbuh justru sekolah swasta. Pemerintah kalah cepat,” katanya.
Salah satu alasan klasik yang kerap diutarakan Pemprov adalah mahalnya harga lahan di perkotaan. Namun Imam menilai alasan ini tidak bisa menjadi pembenaran. Apalagi, 30 persen lebih SMA swasta di Bekasi kini dalam kondisi kritis karena minim murid.
“Kalau mau serius, pemerintah bisa ambil alih sekolah swasta yang sekarat. Negeri kan punya tanggung jawab wajib belajar 13 tahun. Bukan malah membiarkan swasta menutup celah kebutuhan,” ujarnya.
Menurut Imam, jika pemerintah terus menghindar, ketimpangan akan semakin parah. Ia bahkan menyebut keberadaan SMA negeri baru bisa “membunuh” sekolah swasta kecil, kecuali pemerintah bijak dengan strategi akuisisi.
Seharusnya, lanjut Imam, komposisi sekolah negeri lebih dominan, 60 persen negeri dan 40 persen swasta agar akses masyarakat lebih terjangkau. “Di negara maju, bahkan Malaysia, jumlah sekolah negeri lebih banyak dari swasta. Di Bekasi justru kebalikannya,” tambahnya.
BACA JUGA: Warga Ramai-ramai Memancing Ikan di Kali Gabus
Namun pembangunan SMA negeri juga berisiko membunuh sekolah swasta. Berbeda dengan SMK, yang relatif mampu bersaing karena faktor kualitas dan kedekatan dengan dunia industri, banyak SMA swasta justru kesulitan bertahan. Imam menyebut lebih dari 30 persen SMA swasta di Bekasi minim murid, kesulitan biaya operasional, bahkan menggaji guru di bawah standar.
Solusinya, menurut Imam, pemerintah sebaiknya membeli atau menegerikan sekolah-sekolah swasta yang kritis, ketimbang membangun baru. “Kalau cari lahan baru sudah sulit, mahal, dan berisiko konflik. Ambil alih saja sekolah swasta yang lemah, dinegerikan,” sarannya.
Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat, Ronny Hermawan menyampaikan Kota Bekasi masih membutuhkan tambahan SMA/K negeri baru, sama seperti Kota Depok. Hal ini terjadi lantaran memiliki jumlah penduduk yang tinggi, seperti halnya beberapa kota besar lain di Jawa Barat.
Selain itu, ia juga mendapatkan masukan dari masyarakat tentang kebutuhan SMA/K negeri tersebut. Tahun ini, ia mengusulkan penambahan 1 SMA negeri dan 1 SMK negeri baru di Kota Bekasi.
Selama lima tahun periode pemerintah gubernur Dedi Mulyadi, Ronny mendorong Pemprov Jawa Barat membangun 15 sekolah negeri baru di Kota Bekasi.
“Itu minimal, Kota Bekasi ada 56 kelurahan, kalau satu kelurahan satu sekolah itu kan lebih bagus,” ungkapnya.
Dari jumlah SMA negeri saat ini, Kota Bekasi masih kekurangan 34 sekolah negeri baru untuk mewujudkan satu kelurahan satu SMA negeri. Untuk mewujudkannya, menurut Ronny dibutuhkan keberanian dari kepala daerah.
Menurutnya, Pemprov Jawa Barat lebih baik memprioritaskan anggaran untuk pembangunan fasilitas pendidikan dibandingkan infrastruktur lain yang tidak mendesak. Pemenuhan kebutuhan pendidikan dinilai sangat penting untuk mencetak generasi penerus di Jawa Barat, pendidikan yang baik akan berdampak bagi generasi penerus ikut serta membangun negeri.
Untuk mempercepat pembangunan SMA/K negeri di Kota Bekasi, ia mengusulkan agar Wali Kota Bekasi mengevaluasi Sekolah Dasar (SD) negeri yang saat ini jumlah siswanya relatif sedikit untuk dimerger. Gedung bekas SD yang dimerger bisa diajukan untuk pembangunan SMA/K negeri di Kota Bekasi.
“Kalau sudah kekurangan murid dan kualitasnya juga sudah mulai kurang ya harus berani diusulkan kepada gubernur, itu dibangun SMA dan SMK. Walaupun nanti pengelolaannya di provinsi, kita harus legowo,” tambahnya.
Menurutnya, harus ada kerjasama antara Pemkot dan Pemprov dalam hal ini. Selain gedung bekas sekolah yang dimerger, lahan atau aset yang tidak terpakai bisa diusulkan kepada Pemprov Jawa Barat.
Ronny juga menilai konsep bangunan sekolah yang terintegrasi, dimana letak SMA/K dengan jenjang pendidikan dibawahnya berada dalam satu hamparan lahan akan memudahkan siswa. Konsep ini kata dia, sudah banyak dipakai oleh sekolah-sekolah swasta.
Pembangunan SMA/K negeri di Bekasi adalah ujian bagi Pemprov Jawa Barat, apakah hanya berhenti pada janji, atau benar-benar menjadi solusi. Bekasi bukan sekadar kota besar, melainkan salah satu pusat pertumbuhan ekonomi nasional dengan jumlah penduduk yang terus meningkat.
Namun, tanpa keberanian politik, Bekasi hanya akan menjadi contoh klasik bagaimana negara abai terhadap pendidikan dasar warganya. Swasta boleh menopang, tetapi tanggung jawab utama tetap berada di tangan pemerintah.
Jika kondisi ini dibiarkan, generasi muda Bekasi hanya akan menjadi korban ketidakadilan sistem: mereka dipaksa memilih sekolah swasta yang mahal, sementara sekolah negeri tetap menjadi barang langka. (sur)
RADARBEKASI.ID, BEKASI – Rencana Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat membangun sekolah menengah atas dan kejuruan (SMA/K) negeri baru di Bekasi bukan hanya soal penambahan gedung, melainkan soal keberanian negara hadir di tengah kebutuhan dasar warganya. Sebab, di balik jargon pemerataan pendidikan, realitas di Kota dan Kabupaten Bekasi menunjukkan ironi, sekolah swasta tumbuh subur, sementara sekolah negeri stagnan dan semakin tertinggal.
Ya, Rencana Pemprov Jabar membangun sekolah menengah atas maupun kejuruan (SMA/SMK) negeri baru di Kota dan Kabupaten Bekasi bukanlah perkara mudah. Harga tanah yang mahal hingga potensi “mematikan” sekolah swasta yang selama ini tumbuh pesat menjadi pekerjaan rumah yang belum tuntas diselesaikan.
Sulitnya akses pendidikan tingkat SMA/SMK Negeri di Bekasi diakui langsung oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Saat meresmikan renovasi sekolah dan program bedah 500 rumah oleh swasta beberapa waktu lalu, Dedi menegaskan pemerintah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, selama ini lambat memenuhi kebutuhan dasar warga. Ironis, di kota-kota besar seperti Bekasi, Depok, Bogor, hingga Bandung, sekolah negeri justru minim.
“Negara belum hadir sepenuhnya. Justru pihak swasta yang merenovasi fasilitas publik. Padahal pemerintah sudah memungut pajak dari rakyat,” tegas Dedi.
Untuk menutup ketertinggalan itu, Dedi mengaku telah melakukan realokasi anggaran perjalanan dinas hingga rapat-rapat di hotel. Dana tersebut diarahkan ke pembangunan infrastruktur pendidikan. Tahun ini, ia bertekad membangun 4–5 SMA baru di Bekasi, meski beban berat lain menunggu: ketersediaan lahan dan potensi benturan dengan sekolah swasta.
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mengakui lambannya pemerintah dalam memenuhi hak pendidikan warganya. Saat meresmikan renovasi sekolah dan bedah rumah di Bekasi beberapa waktu lalu, ia menyebut kehadiran swasta yang menambal kekurangan fasilitas publik adalah “tamparan” bagi pemerintah.
Data berbicara lantang. Dari 118 SMA di Kota Bekasi, hanya 22 yang berstatus negeri. Untuk SMK, dari 143 sekolah, negeri hanya 15. Kondisi tak jauh berbeda di Kabupaten Bekasi: dari 130 SMA, negeri hanya 44, sedangkan SMK negeri cuma 15 dari total 196 sekolah. Ironis, sekolah negeri yang seharusnya menjadi pilar justru kalah jumlah dibanding swasta.
Kajian LSM Sapulidi bahkan sejak 2011 menyebut idealnya Kota Bekasi butuh 60 SMA negeri dan 30 SMK negeri. Sementara Kabupaten Bekasi seharusnya punya 80 SMA negeri dan 20–25 SMK negeri. Namun, hingga kini angka tersebut tidak kunjung tercapai.
Imam Kobul Yahya, pengamat pendidikan, menilai lemahnya penambahan SMA/K negeri pasca pengelolaan diambil alih Pemprov adalah bukti nyata bahwa Bekasi dianaktirikan. “Yang tumbuh justru sekolah swasta. Pemerintah kalah cepat,” katanya.
Salah satu alasan klasik yang kerap diutarakan Pemprov adalah mahalnya harga lahan di perkotaan. Namun Imam menilai alasan ini tidak bisa menjadi pembenaran. Apalagi, 30 persen lebih SMA swasta di Bekasi kini dalam kondisi kritis karena minim murid.
“Kalau mau serius, pemerintah bisa ambil alih sekolah swasta yang sekarat. Negeri kan punya tanggung jawab wajib belajar 13 tahun. Bukan malah membiarkan swasta menutup celah kebutuhan,” ujarnya.
Menurut Imam, jika pemerintah terus menghindar, ketimpangan akan semakin parah. Ia bahkan menyebut keberadaan SMA negeri baru bisa “membunuh” sekolah swasta kecil, kecuali pemerintah bijak dengan strategi akuisisi.
Seharusnya, lanjut Imam, komposisi sekolah negeri lebih dominan, 60 persen negeri dan 40 persen swasta agar akses masyarakat lebih terjangkau. “Di negara maju, bahkan Malaysia, jumlah sekolah negeri lebih banyak dari swasta. Di Bekasi justru kebalikannya,” tambahnya.
Namun pembangunan SMA negeri juga berisiko membunuh sekolah swasta. Berbeda dengan SMK, yang relatif mampu bersaing karena faktor kualitas dan kedekatan dengan dunia industri, banyak SMA swasta justru kesulitan bertahan. Imam menyebut lebih dari 30 persen SMA swasta di Bekasi minim murid, kesulitan biaya operasional, bahkan menggaji guru di bawah standar.
Solusinya, menurut Imam, pemerintah sebaiknya membeli atau menegerikan sekolah-sekolah swasta yang kritis, ketimbang membangun baru. “Kalau cari lahan baru sudah sulit, mahal, dan berisiko konflik. Ambil alih saja sekolah swasta yang lemah, dinegerikan,” sarannya.
Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat, Ronny Hermawan menyampaikan Kota Bekasi masih membutuhkan tambahan SMA/K negeri baru, sama seperti Kota Depok. Hal ini terjadi lantaran memiliki jumlah penduduk yang tinggi, seperti halnya beberapa kota besar lain di Jawa Barat.
Selain itu, ia juga mendapatkan masukan dari masyarakat tentang kebutuhan SMA/K negeri tersebut. Tahun ini, ia mengusulkan penambahan 1 SMA negeri dan 1 SMK negeri baru di Kota Bekasi.
Selama lima tahun periode pemerintah gubernur Dedi Mulyadi, Ronny mendorong Pemprov Jawa Barat membangun 15 sekolah negeri baru di Kota Bekasi.
“Itu minimal, Kota Bekasi ada 56 kelurahan, kalau satu kelurahan satu sekolah itu kan lebih bagus,” ungkapnya.
Dari jumlah SMA negeri saat ini, Kota Bekasi masih kekurangan 34 sekolah negeri baru untuk mewujudkan satu kelurahan satu SMA negeri. Untuk mewujudkannya, menurut Ronny dibutuhkan keberanian dari kepala daerah.
Menurutnya, Pemprov Jawa Barat lebih baik memprioritaskan anggaran untuk pembangunan fasilitas pendidikan dibandingkan infrastruktur lain yang tidak mendesak. Pemenuhan kebutuhan pendidikan dinilai sangat penting untuk mencetak generasi penerus di Jawa Barat, pendidikan yang baik akan berdampak bagi generasi penerus ikut serta membangun negeri.
Untuk mempercepat pembangunan SMA/K negeri di Kota Bekasi, ia mengusulkan agar Wali Kota Bekasi mengevaluasi Sekolah Dasar (SD) negeri yang saat ini jumlah siswanya relatif sedikit untuk dimerger. Gedung bekas SD yang dimerger bisa diajukan untuk pembangunan SMA/K negeri di Kota Bekasi.
“Kalau sudah kekurangan murid dan kualitasnya juga sudah mulai kurang ya harus berani diusulkan kepada gubernur, itu dibangun SMA dan SMK. Walaupun nanti pengelolaannya di provinsi, kita harus legowo,” tambahnya.
Menurutnya, harus ada kerjasama antara Pemkot dan Pemprov dalam hal ini. Selain gedung bekas sekolah yang dimerger, lahan atau aset yang tidak terpakai bisa diusulkan kepada Pemprov Jawa Barat.
Ronny juga menilai konsep bangunan sekolah yang terintegrasi, dimana letak SMA/K dengan jenjang pendidikan dibawahnya berada dalam satu hamparan lahan akan memudahkan siswa. Konsep ini kata dia, sudah banyak dipakai oleh sekolah-sekolah swasta.
Pembangunan SMA/K negeri di Bekasi adalah ujian bagi Pemprov Jawa Barat, apakah hanya berhenti pada janji, atau benar-benar menjadi solusi. Bekasi bukan sekadar kota besar, melainkan salah satu pusat pertumbuhan ekonomi nasional dengan jumlah penduduk yang terus meningkat.
Namun, tanpa keberanian politik, Bekasi hanya akan menjadi contoh klasik bagaimana negara abai terhadap pendidikan dasar warganya. Swasta boleh menopang, tetapi tanggung jawab utama tetap berada di tangan pemerintah.
Jika kondisi ini dibiarkan, generasi muda Bekasi hanya akan menjadi korban ketidakadilan sistem: mereka dipaksa memilih sekolah swasta yang mahal, sementara sekolah negeri tetap menjadi barang langka. (sur)
RADARBEKASI.ID, BEKASI – Rencana Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat membangun sekolah menengah atas dan kejuruan (SMA/K) negeri baru di Bekasi bukan hanya soal penambahan gedung, melainkan soal keberanian negara hadir di tengah kebutuhan dasar warganya. Sebab, di balik jargon pemerataan pendidikan, realitas di Kota dan Kabupaten Bekasi menunjukkan ironi, sekolah swasta tumbuh subur, sementara sekolah negeri stagnan dan semakin tertinggal.
Ya, Rencana Pemprov Jabar membangun sekolah menengah atas maupun kejuruan (SMA/SMK) negeri baru di Kota dan Kabupaten Bekasi bukanlah perkara mudah. Harga tanah yang mahal hingga potensi “mematikan” sekolah swasta yang selama ini tumbuh pesat menjadi pekerjaan rumah yang belum tuntas diselesaikan.
Sulitnya akses pendidikan tingkat SMA/SMK Negeri di Bekasi diakui langsung oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Saat meresmikan renovasi sekolah dan program bedah 500 rumah oleh swasta beberapa waktu lalu, Dedi menegaskan pemerintah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, selama ini lambat memenuhi kebutuhan dasar warga. Ironis, di kota-kota besar seperti Bekasi, Depok, Bogor, hingga Bandung, sekolah negeri justru minim.
“Negara belum hadir sepenuhnya. Justru pihak swasta yang merenovasi fasilitas publik. Padahal pemerintah sudah memungut pajak dari rakyat,” tegas Dedi.
Untuk menutup ketertinggalan itu, Dedi mengaku telah melakukan realokasi anggaran perjalanan dinas hingga rapat-rapat di hotel. Dana tersebut diarahkan ke pembangunan infrastruktur pendidikan. Tahun ini, ia bertekad membangun 4–5 SMA baru di Bekasi, meski beban berat lain menunggu: ketersediaan lahan dan potensi benturan dengan sekolah swasta.
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mengakui lambannya pemerintah dalam memenuhi hak pendidikan warganya. Saat meresmikan renovasi sekolah dan bedah rumah di Bekasi beberapa waktu lalu, ia menyebut kehadiran swasta yang menambal kekurangan fasilitas publik adalah “tamparan” bagi pemerintah.
Data berbicara lantang. Dari 118 SMA di Kota Bekasi, hanya 22 yang berstatus negeri. Untuk SMK, dari 143 sekolah, negeri hanya 15. Kondisi tak jauh berbeda di Kabupaten Bekasi: dari 130 SMA, negeri hanya 44, sedangkan SMK negeri cuma 15 dari total 196 sekolah. Ironis, sekolah negeri yang seharusnya menjadi pilar justru kalah jumlah dibanding swasta.
Kajian LSM Sapulidi bahkan sejak 2011 menyebut idealnya Kota Bekasi butuh 60 SMA negeri dan 30 SMK negeri. Sementara Kabupaten Bekasi seharusnya punya 80 SMA negeri dan 20–25 SMK negeri. Namun, hingga kini angka tersebut tidak kunjung tercapai.
Imam Kobul Yahya, pengamat pendidikan, menilai lemahnya penambahan SMA/K negeri pasca pengelolaan diambil alih Pemprov adalah bukti nyata bahwa Bekasi dianaktirikan. “Yang tumbuh justru sekolah swasta. Pemerintah kalah cepat,” katanya.
Salah satu alasan klasik yang kerap diutarakan Pemprov adalah mahalnya harga lahan di perkotaan. Namun Imam menilai alasan ini tidak bisa menjadi pembenaran. Apalagi, 30 persen lebih SMA swasta di Bekasi kini dalam kondisi kritis karena minim murid.
“Kalau mau serius, pemerintah bisa ambil alih sekolah swasta yang sekarat. Negeri kan punya tanggung jawab wajib belajar 13 tahun. Bukan malah membiarkan swasta menutup celah kebutuhan,” ujarnya.
Menurut Imam, jika pemerintah terus menghindar, ketimpangan akan semakin parah. Ia bahkan menyebut keberadaan SMA negeri baru bisa “membunuh” sekolah swasta kecil, kecuali pemerintah bijak dengan strategi akuisisi.
Seharusnya, lanjut Imam, komposisi sekolah negeri lebih dominan, 60 persen negeri dan 40 persen swasta agar akses masyarakat lebih terjangkau. “Di negara maju, bahkan Malaysia, jumlah sekolah negeri lebih banyak dari swasta. Di Bekasi justru kebalikannya,” tambahnya.
Namun pembangunan SMA negeri juga berisiko membunuh sekolah swasta. Berbeda dengan SMK, yang relatif mampu bersaing karena faktor kualitas dan kedekatan dengan dunia industri, banyak SMA swasta justru kesulitan bertahan. Imam menyebut lebih dari 30 persen SMA swasta di Bekasi minim murid, kesulitan biaya operasional, bahkan menggaji guru di bawah standar.
Solusinya, menurut Imam, pemerintah sebaiknya membeli atau menegerikan sekolah-sekolah swasta yang kritis, ketimbang membangun baru. “Kalau cari lahan baru sudah sulit, mahal, dan berisiko konflik. Ambil alih saja sekolah swasta yang lemah, dinegerikan,” sarannya.
Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat, Ronny Hermawan menyampaikan Kota Bekasi masih membutuhkan tambahan SMA/K negeri baru, sama seperti Kota Depok. Hal ini terjadi lantaran memiliki jumlah penduduk yang tinggi, seperti halnya beberapa kota besar lain di Jawa Barat.
Selain itu, ia juga mendapatkan masukan dari masyarakat tentang kebutuhan SMA/K negeri tersebut. Tahun ini, ia mengusulkan penambahan 1 SMA negeri dan 1 SMK negeri baru di Kota Bekasi.
Selama lima tahun periode pemerintah gubernur Dedi Mulyadi, Ronny mendorong Pemprov Jawa Barat membangun 15 sekolah negeri baru di Kota Bekasi.
“Itu minimal, Kota Bekasi ada 56 kelurahan, kalau satu kelurahan satu sekolah itu kan lebih bagus,” ungkapnya.
Dari jumlah SMA negeri saat ini, Kota Bekasi masih kekurangan 34 sekolah negeri baru untuk mewujudkan satu kelurahan satu SMA negeri. Untuk mewujudkannya, menurut Ronny dibutuhkan keberanian dari kepala daerah.
Menurutnya, Pemprov Jawa Barat lebih baik memprioritaskan anggaran untuk pembangunan fasilitas pendidikan dibandingkan infrastruktur lain yang tidak mendesak. Pemenuhan kebutuhan pendidikan dinilai sangat penting untuk mencetak generasi penerus di Jawa Barat, pendidikan yang baik akan berdampak bagi generasi penerus ikut serta membangun negeri.
Untuk mempercepat pembangunan SMA/K negeri di Kota Bekasi, ia mengusulkan agar Wali Kota Bekasi mengevaluasi Sekolah Dasar (SD) negeri yang saat ini jumlah siswanya relatif sedikit untuk dimerger. Gedung bekas SD yang dimerger bisa diajukan untuk pembangunan SMA/K negeri di Kota Bekasi.
“Kalau sudah kekurangan murid dan kualitasnya juga sudah mulai kurang ya harus berani diusulkan kepada gubernur, itu dibangun SMA dan SMK. Walaupun nanti pengelolaannya di provinsi, kita harus legowo,” tambahnya.
Menurutnya, harus ada kerjasama antara Pemkot dan Pemprov dalam hal ini. Selain gedung bekas sekolah yang dimerger, lahan atau aset yang tidak terpakai bisa diusulkan kepada Pemprov Jawa Barat.
Ronny juga menilai konsep bangunan sekolah yang terintegrasi, dimana letak SMA/K dengan jenjang pendidikan dibawahnya berada dalam satu hamparan lahan akan memudahkan siswa. Konsep ini kata dia, sudah banyak dipakai oleh sekolah-sekolah swasta.
Pembangunan SMA/K negeri di Bekasi adalah ujian bagi Pemprov Jawa Barat, apakah hanya berhenti pada janji, atau benar-benar menjadi solusi. Bekasi bukan sekadar kota besar, melainkan salah satu pusat pertumbuhan ekonomi nasional dengan jumlah penduduk yang terus meningkat.
Namun, tanpa keberanian politik, Bekasi hanya akan menjadi contoh klasik bagaimana negara abai terhadap pendidikan dasar warganya. Swasta boleh menopang, tetapi tanggung jawab utama tetap berada di tangan pemerintah.
Jika kondisi ini dibiarkan, generasi muda Bekasi hanya akan menjadi korban ketidakadilan sistem: mereka dipaksa memilih sekolah swasta yang mahal, sementara sekolah negeri tetap menjadi barang langka. (sur)