RADARBEKASI.ID, BEKASI – Di tengah gegap gempita geliat industri dan gedung pencakar langit yang terus tumbuh di Bekasi, ada potret getir yang tak banyak tersorot. Ribuan anak di kabupaten dan kota ini ternyata tidak menikmati bangku sekolah.
Angka Anak Tidak Sekolah (ATS) di Bekasi kini mencapai puluhan ribu, sebuah ironi di tengah daerah yang dikenal sebagai kawasan industri terbesar di Indonesia.
Fenomena ini seperti alarm yang mengingatkan, kemajuan ekonomi ternyata belum menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Pendidikan, yang seharusnya menjadi pintu gerbang masa depan, justru menjadi kemewahan bagi sebagian keluarga.
Data Dashboard Verval ATS Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) per 6 November 2025 mencatat, sebanyak 37.708 anak tidak bersekolah di Kabupaten Bekasi. Dari jumlah itu, 49 persen belum pernah bersekolah, 26,71 persen putus sekolah (drop out), dan sisanya lulus tapi tidak melanjutkan ke jenjang berikutnya.
Angka serupa juga terjadi di Kota Bekasi, dengan 23.555 anak tidak bersekolah. Mayoritas atau 53,12 persen belum pernah bersekolah, diikuti 26,81 persen drop out, serta 20,07 persen yang berhenti setelah lulus satu jenjang. Usia 16–18 tahun, yang seharusnya diisi dengan belajar di SMA atau SMK, justru menjadi kelompok dengan angka ATS tertinggi.
Dalam berbagai kasus yang muncul ke publik, faktor ekonomi menjadi alasan paling sering terdengar. Banyak keluarga tidak mampu membayar seragam, buku, atau ongkos transportasi ke sekolah. Namun, di balik itu tersimpan persoalan lain yang lebih kompleks: dari rendahnya kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan, hingga hambatan sosial-budaya dan administratif.
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Bekasi, Imam Faturochman, menjelaskan pihaknya tengah melakukan verifikasi lapangan secara menyeluruh.
“Dari 37 ribu anak itu, kami verifikasi langsung ke rumah-rumah warga. Bukan hanya oleh dinas, tapi juga pemerintah desa, kecamatan, dan guru,” ujarnya, Kamis (6/11).
Hasil awal verifikasi menunjukkan beragam kondisi: ada anak yang sebenarnya sekolah di pesantren tak terdaftar di Kemenag, ada yang pindah ke luar negeri, hingga yang memang berhenti karena kehilangan motivasi.
“Itu yang paling sulit, anak yang tidak mau sekolah lagi,” imbuh Imam.
Menurutnya, angka ATS bersifat dinamis. Seiring validasi data, jumlahnya bisa turun 20–50 persen. Pemkab Bekasi juga sudah menyiapkan program Bantuan Siswa Miskin (BSM) untuk menanggung biaya pendidikan dan transportasi siswa dari keluarga kurang mampu.
Bagi sebagian orang, Bekasi identik dengan kawasan industri dan tenaga kerja. Namun, di balik megahnya pabrik-pabrik besar, masih banyak keluarga yang berjuang untuk sekadar mengirim anak ke sekolah.
“Data ini mencengangkan untuk kawasan industri sebesar Bekasi,” ujar anggota Komisi IV DPRD Kabupaten Bekasi, Haryanto, .
Ia menegaskan perlunya koordinasi lintas organisasi perangkat daerah (OPD) untuk menelusuri akar masalah.
“Faktor ekonomi, akses pendidikan, dokumen kependudukan, hingga fasilitas pendidikan harus dikaji. Kami akan mendorong rapat kerja lintas OPD agar ada langkah nyata,” tegasnya.
Menurut Haryanto, persoalan ATS tidak bisa hanya dibebankan kepada Disdik. “Kalau anak-anak ini tidak kita evaluasi pendidikannya, mau jadi apa Bekasi ke depan?” katanya lantang.
Ia juga menyoroti penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) agar benar-benar tepat sasaran. “Semua perangkat daerah harus bergerak, karena pendidikan adalah visi utama Bupati Bekasi,” tambahnya.
Sementara itu, di Kota Bekasi, pemerintah kota tengah bergerak cepat. Sekretaris Disdik Kota Bekasi, Warsim Suryana, mengatakan sejak Oktober lalu pihaknya bersama kecamatan dan kelurahan melakukan penyisiran anak yang putus sekolah.
“Kami tidak bisa tahu kalau tidak ada pendataan di wilayah. Setelah data terkumpul, kami tindaklanjuti satu per satu,” jelasnya.
Untuk anak yang masih usia sekolah, Pemkot menyiapkan BSM untuk membiayai sekolah swasta atau memasukkan mereka ke sekolah negeri tanpa biaya. Sedangkan anak yang sudah melewati usia sekolah akan diarahkan ke program kesetaraan (kejar paket A, B, atau C).
“Kalau sudah lewat usia pendidikan formal, sistem Dapodik otomatis menolak. Jadi kami arahkan ke pendidikan non-formal,” ujarnya.
Warsim mengaku, kawasan Bekasi Utara, ditemukan keluarga dengan enam anak, namun tiga di antaranya tidak bersekolah. Kepala keluarga bekerja sebagai kuli panggul dengan penghasilan pas-pasan.
“Anaknya tiga-tiganya tidak sekolah. Setelah kami turun langsung, walau usianya sudah sepuluh tahun, kami masukkan ke SD negeri terdekat,” tutur Warsim.
Namun, persoalannya tak berhenti di situ. Ketiga anak tersebut ternyata tidak terdaftar di Kartu Keluarga (KK). Akibatnya, mereka tak bisa mendaftar sekolah formal. Setelah Disdukcapil turun tangan, dokumen keluarga diperbaiki, dan kini anak-anak itu sudah mulai aktif belajar kembali. Dalam waktu dekat, mereka akan diajukan untuk menerima Kartu Indonesia Pintar (KIP).
“Kami pastikan setiap laporan ATS langsung kami tangani. Tak boleh ada anak yang tertinggal,” tegas Warsim.
Perbedaan data antara pemerintah pusat dan daerah memang sering muncul. Pengamat Pendidikan, Imam Kobul Yahya, menyebut hal itu wajar karena metode pendataan berbeda. Data Kemendikdasmen mencakup semua anak, termasuk yang tidak memiliki dokumen kependudukan.
Namun, menurutnya, data pusat seharusnya menjadi acuan utama. “Data pusat lebih komprehensif. Tapi tetap perlu verifikasi daerah agar sesuai kondisi riil,” katanya.
Imam menyoroti dokumen kependudukan sebagai penghambat utama akses sekolah gratis. Banyak anak berstatus pendatang dengan KTP luar Bekasi kesulitan mendaftar ke sekolah negeri.
Selain itu, biaya tersembunyi pendidikan juga masih menjadi kendala besar: mulai dari sumbangan sekolah, seragam, buku, hingga ongkos harian.
“Pendidikan gratis itu hanya di atas kertas. Di lapangan tetap banyak pengeluaran,” ujarnya.
Menurutnya, solusi paling realistis adalah meningkatkan kerjasama pemerintah daerah dengan sekolah swasta, dengan skema subsidi penuh bagi anak miskin.
“Kalau seluruh biayanya ditanggung pemerintah, semua anak bisa sekolah,” katanya. (sur/and/pra)

5 hours ago
12

















































