Lima Anggota DPR Dinonaktifkan Tetap Terima Gaji

2 weeks ago 21

Beranda Nasional Lima Anggota DPR Dinonaktifkan Tetap Terima Gaji

ILUSTRASI: Gedung DPR RI. ISTIMEWA

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Lima anggota DPR dari lintas partai politik dinonaktifkan buntut kontroversi ucapan hingga aksi mereka yang memicu kemarahan publik.

Ironisnya, meskipun status mereka nonaktif, hak gaji tetap diterima penuh sesuai aturan tata tertib DPR.
Politikus Partai Nasdem Ahmad Sahroni sebelumnya menyebut mereka yang menuntut pembubaran DPR sebagai “orang tolol sedunia”. Pernyataan itu menyulut reaksi keras. Rekannya separtai, Nafa Urbach, juga menuai sorotan setelah membela tunjangan perumahan Rp50 juta bagi legislator, bahkan mengeluhkan macet Jakarta seolah-olah bagian dari penderitaan wakil rakyat.

Dua politisi Partai Amanat Nasional (PAN), Eko Hendro Purnomo alias Eko Patrio yang juga sekjen partai, serta Surya Utama alias Uya Kuya, makin memperburuk citra parlemen. Video joget keduanya di sela Sidang Tahunan MPR justru diunggah ke media sosial saat kritik publik tengah deras.

Sementara itu, politikus Golkar Adies Kadir ikut menuai polemik setelah pernyataannya soal tunjangan rumah dianggap tidak sensitif. Pada akhirnya, kelimanya “diterkam” oleh ucapannya sendiri—dinonaktifkan oleh partai masing-masing per 1 September 2025.

Namun, publik kembali dibuat geram. Pasal 19 ayat 4 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 menyebut anggota DPR yang diberhentikan sementara tetap mendapat hak keuangan sesuai ketentuan perundang-undangan. Artinya, meski nonaktif, Sahroni, Nafa, dan tiga legislator lain masih mengantongi gaji penuh dari uang rakyat.

Sekjen Partai Nasdem Hermawi Taslim menegaskan, Ketua Umum Surya Paloh langsung menonaktifkan Nafa dan Sahroni. “Aspirasi masyarakat harus tetap menjadi acuan utama,” ujarnya.

Waketum PAN Viva Yoga Mauladi juga menyatakan Eko Patrio dan Uya Kuya sudah tidak lagi aktif di DPR dari PAN. “Kami mengimbau masyarakat tenang dan memercayakan persoalan kepada pemerintah,” katanya.

Sekjen Golkar Sarmuji menyampaikan hal serupa. Menurutnya, keputusan menonaktifkan Adies Kadir diambil setelah mencermati dinamika sosial. “DPP Golkar resmi menonaktifkan saudara Adies terhitung sejak 1 September,” katanya.

Dosen Komunikasi Politik FISIP Universitas Brawijaya Malang, Verdy Firmantoro, menilai kasus ini memperlihatkan lemahnya kapasitas komunikasi publik elite politik.

“Awalnya mereka meremehkan aksi massa, lalu berbalik minta maaf setelah dihantam kritik. Ini message misalignment—pesan elite politik tidak selaras dengan harapan publik,” ujarnya.

Menurutnya, kesalahan komunikasi bukan hanya soal etika, melainkan krisis legitimasi. Publik kini memiliki daya tekan besar lewat media sosial dan aksi massa. Perubahan sikap dari ofensif menjadi defensif hanya menunjukkan lemahnya kemampuan membaca sentimen.

“Elite politik harus membangun public empathy literacy, bukan sekadar merespons ketika posisinya terancam,” tegas Verdy.

Verdy menyinggung contoh berbeda yang ditunjukkan Gubernur DI Jogjakarta Sultan Hamengkubuwono X. Sang Sultan memilih turun menemui massa tanpa pengawalan di Polda Jogja.

“Itu simbol kepemimpinan yang kuat secara kultural, membangun kepercayaan emosional,” katanya.
Menurutnya, kehadiran pemimpin di tengah rakyat adalah bentuk komunikasi empatik yang menegaskan negara hadir, bukan sekadar pencitraan. Jika komunikasi empatik dan transparansi penegakan hukum tidak dijalankan, Verdy memperingatkan, publik justru bisa semakin kehilangan kepercayaan.

Kasus lima legislator ini sekali lagi menelanjangi jarak antara elite politik dan masyarakat. Dinonaktifkan tapi masih digaji, sementara rakyat yang marah menanggung beban, menjadi potret buram parlemen yang makin teralienasi dari suara publik.(lyn/ttg)

Read Entire Article
Tenaga Kerja | | | |