Kisah Wasmo, Penghuni Rumah Kontrakan yang Nyaris Ditelan Bumi: Sebulan Rp250 Ribu, Hidup Nyaris Tanpa Tetangga

1 month ago 34

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Bagi Wasmo (45), rumah tak sekadar tempat berlindung. Baginya, rumah yang ia tinggali bersama keluarga kecilnya itu juga sebagai arena bertahan hidup. Wasmo dan keluarganya tinggal di rumah dengan bangunan yang terus turun perlahan ditelan permukaan.

Seperti apa kisah Wasmo bersama keluarganya dapat hidup dalam bayang-bayang kekhawatiran tertelan bumi?

Kota Bekasi siang itu begitu cerah. Terik mentari terasa memancar hingga ke sudut sempit di kawasan Bintara Jaya. Di antara saf bangunan rumah di berdiri rapuh, tampak satu di antaranya terlihat hidup. Wasmo yang sehari-harinya bekerja sebagai kuli bangunan, hidup bersama istri, dua anak dan seorang teman di rumah yang nyaris tertelan bumi.

“Saya ngontrak di sini udah belasan tahun,” katanya, sambil menunjukkan lantai rumah yang sudah ditinggikan beberapa kali agar tak terus-menerus tergenang.

Dari luar, rumahnya mungkin terlihat seperti rumah semi permanen biasa. Tapi begitu masuk ke dalam, kesan pertama langsung berubah jadi rasa sesak. Atap rumah hanya berjarak sekitar dua meter dari lantai. Udara lembap, dan ruangan pengap.

“Ini mendem. Karena ini datar bawah. Kalau banjir, kumpul semua lumpur di sini.”

Sudah lima tahun lebih tanah di bawah rumah itu perlahan ambles. Prosesnya tidak terjadi dalam semalam, melainkan sedikit demi sedikit. Dulu, rumah ini punya posisi lebih tinggi. Tapi seiring waktu, tanah bekas sawah dan empang itu bergerak dan terus menelan bangunan. Rumah-rumah tetangga sudah banyak yang kosong penghuninya pindah, menyerah pada kenyataan. Tapi Wasmo bertahan.

“Dulu waktu pertama ngontrak, rumah ini tinggi. Sekarang pendek banget,” ujarnya sambil tersenyum miris.

Di tengah ketidakpastian dan kondisi bangunan yang makin tenggelam, Wasmo tetap memilih tinggal di rumah sewaan itu. Biayanya murah, Rp250 ribu per bulan, ditambah biaya listrik yang dibagi bersama tetangga. “Kadang-kadang saya bayar listrik gantian sama teman. Bulan ini saya, bulan depan dia,” katanya.

Sebagai kuli bangunan, pendapatannya tidak tetap. Ada proyek, ada uang. Tidak ada pekerjaan, maka tidak ada penghasilan. Dalam kondisi seperti itu, sulit mencari kontrakan lain yang lebih layak. “Karena sudah betah juga. Dan murah, ya udah di sini aja,” ujar pria asal Pemalang, Jawa Tengah itu.

Istrinya tinggal bersama di rumah itu, bersama dua anak mereka. Mereka tidur di atas pelur semen, tanpa kasur. Hanya satu kamar tidur dan satu kamar mandi di dalam rumah itu. Saat hujan deras mengguyur, air kerap masuk dari sela-sela lantai.

“Kalau hujan kecil aja udah banyak air di sini. Kalau banjir, air bisa sampai leher. Di dalam rumah udah seperut tingginya,” katanya.

Pada satu titik, banjir sempat membuat pintu rumah tak bisa dibuka karena tekanan dari air dan kemiringan bangunan yang makin parah. “Pintu sempat nggak bisa dibuka, orang banjir sudah numpuk dari tengah. Risplangnya udah nggak kelihatan.”

Wasmo adalah satu dari segelintir warga yang masih bertahan di lingkungan yang dulu padat ini. Rumah-rumah lain sebagian besar sudah kosong. Pemiliknya memilih pindah setelah menyadari rumah mereka sudah tak layak huni.

“Dulu ramai di sini. Sekarang tinggal saya sama teman-teman yang masih kuat tinggal. Sisanya udah pindah ke atas. Kosong semua,” katanya, sambil menunjuk rumah-rumah sebelah yang terlihat tak terawat dan penuh debu.

Ia sadar betul bahwa rumah yang ia tinggali bisa roboh kapan saja. Tapi ia juga tahu, mencari tempat tinggal baru bukan perkara mudah. Apalagi dengan penghasilan tak menentu dan beban keluarga. Ia mengaku belum pernah ada aparat atau petugas pemerintah yang datang memeriksa kondisi bangunan atau menawari relokasi.

“Belum pernah ada yang datang. Belum ada yang lihat langsung kondisi rumah ini.”

Wasmo tahu, ia tak bisa tinggal selamanya di sana. Tapi untuk sekarang, ia belum punya pilihan. “Paling nanti kalau digusur, ya baru cari tempat lain.” Tuturnya pelan.

Ia tak punya banyak mimpi besar. Ia hanya ingin rumah yang layak untuk keluarganya. Rumah yang tidak membuat istrinya tidur dengan rasa khawatir, dan anak-anaknya tumbuh tanpa harus takut hujan turun terlalu deras.

Ketika ditanya kenapa masih betah di rumah yang kondisinya seperti itu, jawabannya sederhana: “Karena murah.”

Namun murah, tidak selalu berarti aman. Dan aman, sering kali terlalu mahal bagi mereka yang hidup dari upah harian.

Di tengah gegap gempita pembangunan kota, masih ada tempat-tempat seperti yang ditinggali Wasmo terlupakan, tenggelam, dan nyaris tak terdengar.

“Kalau banjir, air bisa sampai leher. Di dalam rumah pun udah seperut. Pintu rumah aja kadang nggak bisa kebuka.” pungkasnya.(rez)

Read Entire Article
Tenaga Kerja | | | |