RADARBEKASI.ID, BEKASI – Di bawah pilar megah yang menopang rel Kereta Cepat Jakarta–Bandung, terselip kisah sendu yang bertempo pelan. Seperti apa kisahnya?
Namanya Dahlan Sulaiman, 56 tahun. Ia adalah warga RT 06 RW 02, Kelurahan Jakamulya, Kecamatan Bekasi Selatan, Kota Bekasi. Sehari-hari, ia menyapu jalan, mencangkul tanah, dan memotong rumput liar di bawah rel kereta cepat yang membelah langit Cikunir. Bukan karena pekerjaan resmi dari pemerintah, melainkan karena ia merasa harus.
“Saya nggak digaji, Pak. Ini cuma karena saya peduli aja,” ucapnya sambil menunduk, dengan sapu lidi masih di tangan.
Dahlan bukanlah petugas kebersihan. Dulu, ia sopir taksi. Pekerjaan itu dijalani bertahun-tahun hingga tahun 2024. Namun, sebuah musibah datang. Saat sedang memarkir mobil, taksi yang ia kredit ditabrak truk. Mobil rusak, dan ia menyerahkan kembali kendaraan itu ke leasing.
Tak lama kemudian, nasib buruk datang lagi. Saat berjalan di kawasan Cikunir Dahlan terperosok ke got yang tertutup tanah akibat saluran mampet. Ia jatuh, lututnya cedera, dan selama tiga bulan tak bisa berjalan normal.
“Sempat disarankan operasi. Tapi saya takut,” tuturnya. “Akhirnya saya iseng-iseng bersihin jalan. Anggap aja olahraga ringan. Eh… sembuh sendiri, Alhamdulillah.” kenangnya
Kegiatan yang awalnya hanya “iseng” itu kini menjadi rutinitas bermakna. Sejak bulan puasa 2024 lalu, Dahlan mulai rutin membersihkan area kolong rel. Ia berangkat pagi, antara jam 6 sampai 8, dan pulang saat sore menjelang.
Awalnya ia sendiri. Tapi belakangan, salah satu anaknya ikut membantu, meskipun sudah berkeluarga. “Nggak digaji juga. Cuma bantuin bapaknya aja,” ujarnya lirih.
Dari sembilan anak yang ia besarkan bersama sang istri, hanya satu yang kini rutin menemani Dahlan menyapu kolong rel kereta cepat Jakarta–Bandung di Cikunir. Tak ada ikatan kerja, tak ada gaji—hanya keikhlasan seorang anak melihat ayahnya terus bekerja tanpa pamrih.
Dengan bantuan anaknya dan sedikit demi sedikit donasi dari warga yang peduli, Dahlan akhirnya mampu membeli sebuah mesin potong rumput seharga Rp1,4 juta. Sebuah alat sederhana, namun berarti besar bagi seorang pria yang memilih menyapu jalanan sebagai bentuk ibadah dan dedikasi terhadap lingkungan.
Sebelum Dahlan rutin menyapu, kawasan itu dikenal angker. Ilalang tumbuh liar hingga dua meter, sampah berserakan, dan penerangan minim. Kini, berkat kerja keras Dahlan dan bantuan sang anak, kolong rel itu berubah total bersih, terang, dan nyaman dilintasi warga.
“Dulu orang takut lewat sini. Sekarang udah enak, udah banyak lampu juga. Katanya sih mau dibikin taman,” ucapnya, mengacu pada kunjungan Pak Wakil Wali Kota Bekasi, Pak Haris, beberapa waktu lalu.
Saat itu, Dahlan sempat diberi amplop dan ucapan terima kasih. Bukan penghargaan besar, tapi cukup untuk menyambung semangatnya.
Di sepedanya yang sederhana, terpampang tulisan besar:
“KAMI MENGUCAPKAN TERIMA KASIH KEPADA DONATUR YANG IKHLAS MEMBANTU UNTUK KEBERSIHAN JALAN BERSAMA KAMI. TENAGANYA KAMI, WARGA. TERIMA KASIH.”
Tulisan itu bukan permintaan, tapi pernyataan. Ia tak pernah meminta uang dari warga. Tapi kadang-kadang, ada saja yang memberi: Rp2.000, Rp5.000, Rp10.000. Pernah juga sampai Rp50.000, bahkan Rp100.000.
“Kadang nggak dapet sama sekali. Tapi saya anggap ini amal. Sama aja kayak buang duri di jalan, kan ibadah juga,” katanya sambil tersenyum kecil.
Di rumah, Dahlan merawat istrinya, Saripah (56), yang sedang mengalami stroke. Kondisinya sempat memburuk hingga tak bisa bicara. Kini, berkat terapi alternatif seperti terapi lintah di kawasan Manggarai dan dukungan moral, Saripah mulai pulih.
“Alhamdulillah, sekarang udah bisa ngomong pelan-pelan. Berat badannya juga mulai naik. Semangat hidupnya katanya balik setelah nonton videonya Pak Deddy Mulyadi,” cerita Dahlan.
Sang istri, menurut Dahlan, adalah penggemar berat Pak Dedy Mulyadi Gubernur Jawa Barat, Meskipun Dahlan sendiri jarang menonton TV, ia mengakui bahwa konten-konten inspiratif yang ditonton istrinya memberi dampak besar.
“Yang penting saya bisa bantu dia sembuh. Itu aja harapan saya.” harapnya
Di tengah keterbatasan, Dahlan membuktikan bahwa kepedulian tak butuh seragam. Bahwa menjaga lingkungan tak harus lewat jabatan atau anggaran besar. Ia tak meminta balasan. Yang ia minta hanya satu: kesadaran warga untuk tidak buang sampah sembarangan.
“Kadang saya ribut juga sama orang. Lagi bersihin, ada aja yang buang dari mobil. Saya tegur. Kalau maksa buang, saya anterin ke rumahnya,” kenangnya.
Beberapa dari mereka marah. Tapi Dahlan tetap tegas. Karena baginya, yang ia bersihkan bukan cuma jalanan, tapi juga mental dan kebiasaan buruk masyarakat.
Di bawah laju kereta tercepat se-Asia Tenggara, Dahlan menyapu setiap hari bukan karena gaji, bukan karena titah atasan, melainkan karena cinta: kepada istri, anak-anaknya, dan lingkungan tempat ia tinggal.
“Daripada di rumah bengong, mending nyapu. Dapat keringat, dapat pahala,” ucapnya.
Dari keluarga sederhana dengan sembilan anak, lahir sosok yang menunjukkan bahwa perubahan besar bisa dimulai dari satu sapu dan satu niat kecil yang tulus.
Karena sesungguhnya, yang paling cepat bukan kereta tapi niat baik yang tak pernah berhenti berjalan.(rez)