
RADARBEKASI.ID, BEKASI — Aksi perundungan terhadap seorang pria disabilitas di Kota Bekasi kembali terjadi. Kali ini korbannya H (37), seorang juru parkir (Jukir) yang sehari-hari mengayuh sepeda di kawasan Asco Bantargebang.
Ia ditindas oleh tiga remaja, dan momen memilukan itu terekam video yang viral di media sosial.
Dalam video yang diunggah kakak korban, Anjasnudinho Dalima, melalui Facebook pada Selasa (29/4) malam, H terlihat dikuntit dan dikerjai. Salah satu pelaku tampak menjitak kepala H berulang kali, sementara lainnya merebut sepedanya.
Meski memiliki keterbatasan mental, H berusaha mengejar mereka—dengan bingung dan ketakutan yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata.
Tak tinggal diam, Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) bersama Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Bekasi langsung turun tangan. Mereka mengunjungi rumah korban dengan tim psikolog dan pendamping untuk melakukan asesmen.
Hasil asesmen mengonfirmasi bahwa H mengalami hambatan dalam berkomunikasi dan mengekspresikan emosi. Secara biologis ia dewasa, tetapi kondisi mentalnya setara anak-anak—membuatnya sangat rentan menjadi korban kekerasan dan intimidasi.
“Kondisi H saat ini membaik dan ia sudah kembali beraktivitas. Tapi insiden ini sangat kami sesalkan. Apalagi pelakunya adalah anak-anak di bawah umur,” ujar Novrian, Wakil Ketua KPAD Kota Bekasi, Sabtu (4/5).
Menurut Novrian, dua pelaku sudah teridentifikasi, satu di antaranya putus sekolah. Ia menduga aksi dilakukan spontan tanpa motif kebencian, namun menegaskan bahwa ketidaktahuan bukan alasan untuk membenarkan kekerasan.
“Penyandang disabilitas bukan objek ejekan. Mereka teman sebaya yang justru harus dilindungi. Pemahaman ini harus ditanamkan sejak dini,” tegasnya.
KPAD dan DP3A akan menggelar mediasi dan pembinaan terhadap para pelaku. Karena mereka masih di bawah umur, pendekatan yang digunakan bersifat edukatif namun tetap tegas, dengan tujuan mencegah kekerasan serupa terulang.
Fida Takziya Tsaqofi, psikolog dari DP3A, menambahkan bahwa trauma pada korban disabilitas bisa terpendam dalam-dalam dan muncul dalam bentuk yang tidak kasatmata.
“Korban mengalami kesulitan mengenali emosi dan memahami situasi. Tanpa pendampingan sesuai usia mentalnya, trauma bisa berkembang menjadi perilaku agresif atau menarik diri,” ujarnya.
Kasus ini menjadi tamparan keras bahwa inklusi sosial belum sepenuhnya hidup di tengah masyarakat. Perundungan terhadap penyandang disabilitas bukan hanya soal etika, tetapi juga soal pelanggaran hak asasi yang harus dihentikan—di mana pun, oleh siapa pun.(rez)