JEC Perkenalkan Prosedur RLE, Solusi Bebas Kacamata bagi Penyandang Presbiopia

1 month ago 31

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Sekitar 86,3 juta penduduk Indonesia berusia 45 tahun ke atas berisiko mengalami presbiopia atau mata tua, yakni penurunan kemampuan lensa mata untuk melihat objek dekat. Selama ini, penggunaan kacamata menjadi solusi umum bagi penderita presbiopia. Namun, kacamata kerap dianggap menghambat aktivitas dan menurunkan kualitas hidup penggunanya.

Untuk mengatasi hal tersebut, JEC Eye Hospitals and Clinics memperkenalkan prosedur Refractive Lens Exchange (RLE), yakni penggantian lensa mata yang bertujuan mengurangi ketergantungan pada kacamata atau lensa kontak. Prosedur RLE ini didukung oleh teknologi Femtosecond Laser-Assisted Cataract Surgery (FLACS) yang memiliki presisi tinggi dan minim risiko. Dengan metode ini, pasien presbiopia dapat segera terbebas dari ketergantungan alat bantu penglihatan.

Dokter Subspesialis Katarak, Lensa, dan Bedah Refraktif JEC Eye Hospitals and Clinics sekaligus Kepala Klinik Utama Mata JEC @ Bekasi, Dr. Nashrul Ihsan, Sp.M(K), menyatakan bahwa prevalensi presbiopia terus meningkat seiring bertambahnya usia dan tingginya tuntutan penglihatan dekat di era digital, seperti penggunaan ponsel.

“Padahal kalangan 45 tahun ke atas biasanya mulai menjalani usia emas lantaran berada di puncak periode produktif, atau sedang menikmati masa senior bersama keluarga. Lebih dari sekadar membatasi aktivitas keseharian, presbiopia bisa berdampak secara psikologis, bahkan ekonomi,” ujarnya di Jakarta, Kamis (7/8).

Saat ini, prevalensi presbiopia pada usia 45 tahun ke atas mencapai 83 persen. Diperkirakan, pada tahun 2030 akan ada sekitar 2,1 miliar orang yang mengalami kondisi ini.

Sejumlah penelitian menunjukkan pasien presbiopia, baik di negara berpenghasilan tinggi maupun rendah, mengalami penurunan kualitas hidup. Presbiopia yang tidak terkoreksi membuat penderitanya dua kali lebih sulit melakukan tugas yang membutuhkan penglihatan jarak dekat. Kesulitan ini meningkat hingga delapan kali lipat untuk tugas penglihatan jarak dekat yang sangat intens. Bahkan, 12 persen pasien memerlukan bantuan dalam menjalankan tugas rutin, yang dapat memicu tekanan mental dan penurunan harga diri.

Gejala khas presbiopia mudah dikenali, seperti kesulitan melihat objek atau tulisan pada jarak dekat. Penderitanya biasanya akan menjauhkan objek agar terlihat lebih jelas. Kondisi ini sering disertai kelelahan mata, sakit kepala setelah membaca atau melakukan pekerjaan detail dengan fokus jarak dekat, seperti memasukkan benang ke jarum atau membaca label berhuruf kecil. Penderita juga membutuhkan pencahayaan lebih terang saat membaca.

Gejala ini mulai muncul bertahap pada usia 40-an dan makin nyata setelah 45 tahun, seiring proses alami penurunan kemampuan akomodasi lensa mata akibat penuaan. Dari sisi ekonomi, studi global menemukan potensi hilangnya produktivitas akibat presbiopia yang tidak dikoreksi mencapai USD 11 miliar pada individu berusia 50 tahun ke bawah. Sementara pada usia 65 tahun ke bawah, kerugian potensi produktivitas diperkirakan mencapai USD 25,4 miliar, bila diasumsikan semua produktif.

BACA JUGA: JEC Luncurkan Matapedia Ensiklopedia Digital Kesehatan Mata Pertama di Indonesia!

“Imbas presbiopia melibatkan komponen psikologis karena penyandangnya menganggap opsi kacamata bifokal sangatlah tidak menarik, dan seolah menandai penuaan. Sementara, rata-rata penderita presbiopia masih menjalani gaya hidup aktif sehingga penggunaan kacamata dapat menghalangi performa dalam beraktivitas. RLE menjadi prosedur ideal bagi mereka yang tidak nyaman mengenakan kacamata dan menginginkan solusi jangka panjang,” jelasnya.

RLE merupakan prosedur penggantian lensa alami mata yang sudah tidak optimal dengan lensa tanam (intraokular lens/IOL). Prosedur ini efektif mengoreksi presbiopia sekaligus gangguan refraksi lain seperti miopia (minus), hipermetropia (plus), dan astigmatisme, dalam satu tindakan.

“RLE sangat direkomendasikan untuk pasien yang mengalami perubahan penglihatan akibat proses penuaan. Bukan itu saja, RLE juga menjadi satu-satunya pilihan dalam kasus-kasus khusus yang sudah tak tertangani LASIK atau SMILE Pro. Misalnya, penderita miopia ekstrem dengan kondisi minus 20,” terangnya.

Keunggulan RLE antara lain tingkat keberhasilan hingga 98,5 persen. Risiko komplikasi hanya 1,5 persen dan umumnya dapat dikoreksi dengan operasi lanjutan. Dari sisi pasien, 95 persen merasa puas dan menyatakan RLE mengubah hidup mereka. Empat dari lima pasien bahkan tidak lagi membutuhkan kacamata setelah prosedur.

Sementara itu, Kepala Divisi Marketing dan Komunikasi JEC Group, Mubadiyah, S.Psi, M.M., menyatakan bahwa kehadiran RLE mencerminkan kepeloporan JEC dalam menyediakan solusi kesehatan mata berbasis teknologi mutakhir, dengan fokus peningkatan kualitas hidup pasien.

Seluruh proses dilakukan secara individual untuk memastikan penanganan yang sesuai dengan kondisi mata dan gaya hidup pasien.

“Kami optimistis, melalui RLE dan FLACS, masyarakat Indonesia usia 45 tahun ke atas, khususnya penyandang presbiopia ataupun gangguan refraksi lainnya, memiliki opsi untuk mendapatkan kembali penglihatan yang nyaman dan produktivitas yang optimal sehingga lebih berdaya menjalani usia emasnya dengan berkualitas,” pungkasnya. (dew)

Read Entire Article
Tenaga Kerja | | | |