RADARBEKASI.ID, BEKASI – Di tengah semarak peringatan HUT ke-80 Republik Indonesia yang baru saja berlangsung, Pemerintah Kota Bekasi diam-diam tengah dihadapkan pada persoalan serius. Bagaimana menjaga stabilitas fiskal daerah di tengah menurunnya kucuran dana pusat dan kebutuhan pembangunan yang terus meningkat.
Ya, tahun depan diperkirakan akan menjadi periode penuh tantangan bagi pemerintah daerah di Indonesia, termasuk Kota Bekasi. Tekanan fiskal yang cukup berat akan memaksa setiap daerah memikirkan langkah strategis untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), sambil tetap menjaga agar kebijakan yang diambil tidak menimbulkan gejolak di masyarakat maupun keuangan daerah. Di tengah situasi ini, Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi sedang menimbang berbagai skema untuk meningkatkan kesadaran dan kepatuhan Wajib Pajak (WP).
Gubernur Jawa Barat sebelumnya telah menerbitkan imbauan nomor 6700/KU.03.02/BAPENDA yang berisi kebijakan penghapusan tunggakan pokok dan denda Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) buku 1 sampai 5, khusus bagi WP orang pribadi. Imbauan ini ditujukan kepada seluruh bupati dan wali kota di Jawa Barat, dengan harapan kebijakan tersebut dapat meringankan beban masyarakat sekaligus meningkatkan kesadaran mereka untuk taat pajak di masa mendatang. Selain itu, kebijakan ini juga diproyeksikan menjadi momentum positif untuk mempererat hubungan antara pemerintah daerah dan masyarakat.
Wali Kota Bekasi, Tri Adhianto, mengungkapkan bahwa pihaknya tengah melakukan kajian mendalam terhadap kebijakan ini agar implementasinya tidak menimbulkan gangguan pada belanja daerah yang sudah direncanakan sebelumnya.
“Kita sedang bicarakan mana yang bisa lebih cepat eksekusinya, serta lebih mudah implementasinya tanpa mengganggu proses belanja yang sudah ditetapkan,” ujar Tri Adhianto pada Senin (18/8).
Ia menegaskan bahwa setiap kebijakan harus dilaksanakan dengan prinsip kehati-hatian agar tidak berimplikasi buruk terhadap program pembangunan yang sudah ditetapkan.
Sebelumnya, Pemkot Bekasi juga telah meluncurkan kebijakan berupa diskon PBB-P2 dengan besaran berbeda sesuai periode pembayaran. Untuk tahun pajak 2025, diskon sebesar 10 persen diberikan pada periode April–Mei, sedangkan diskon 50 persen diberikan untuk tahun pajak di bawah 2013 pada periode Februari–Maret, ditambah penghapusan sanksi administrasi. Langkah ini dinilai cukup membantu masyarakat dalam memenuhi kewajibannya sekaligus menjaga PAD tetap berjalan.
Namun, Ketua Komisi III DPRD Kota Bekasi, Arif Rahman Hakim, memberikan pandangan kritis terhadap imbauan gubernur mengenai pemutihan PBB-P2. Menurutnya, kebijakan tersebut harus dikaji dengan matang agar tidak menimbulkan rasa ketidakadilan di kalangan wajib pajak.
“Jadi kita perlu kajian yang sangat matang lah, dan kita merekomendasikan untuk tetap berjalan seperti awal tahun,” tegas Arif.
BACA JUGA: Respons Tri Adhianto Terkait Imbauan Dedi Mulyadi Bebaskan Tunggakan PBB 2024 ke Belakang
Ia menambahkan bahwa jika kebijakan baru harus diambil, sebaiknya diberlakukan pada 2026 mendatang. Arif menekankan bahwa Kota Bekasi saat ini sedang berusaha keras meningkatkan capaian PAD untuk merealisasikan program pembangunan. Karena itu, kenaikan tarif PBB-P2 dianggap belum perlu dilakukan mengingat kondisi ekonomi masyarakat yang masih memprihatinkan.
Ia bahkan meminta Bapenda Kota Bekasi untuk lebih menggali potensi serta menekan kebocoran PAD, misalnya dengan memanfaatkan sistem digitalisasi yang ditargetkan mulai diterapkan pada tahun 2026.
Menurutnya, imbauan penghapusan tunggakan PBB-P2 justru berpotensi menghilangkan pendapatan daerah dari piutang pajak yang jumlahnya tidak kecil.
“Hampir Rp1 triliun piutang PBB kita kalau tidak salah, ini menjadi satu PR buat kita. Ini satu persoalan yang harus kita pikirkan, kita masih banyak kebutuhan di Kota Bekasi,” tambah Arif.
Ia menilai keringanan pajak dalam bentuk diskon yang diberikan pada momentum tertentu, seperti HUT Kota Bekasi, merupakan opsi yang lebih bijak dibandingkan pemutihan total.
Senada, Anggota Komisi III DPRD, Saifuddaulah, menekankan pentingnya verifikasi faktual data objek pajak. Menurutnya, banyak kasus tanah dan bangunan yang sudah beralih kepemilikan namun datanya belum diperbarui. Akibatnya, tagihan PBB sering kali tidak sesuai dengan kondisi riil di lapangan.
“Kalau diverifikasi ulang, mungkin banyak yang sebenarnya mau bayar, tapi data yang keliru membuat mereka keberatan,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa opsi diskon atau penghapusan denda lebih realistis ketimbang pemutihan pokok pajak. Hingga 14 Agustus 2025, realisasi pendapatan daerah Kota Bekasi baru mencapai 48,84 persen, lebih rendah dari target 56,41 persen.
Dari sisi PAD, capaian baru 55,47 persen, sementara transfer dari pusat hanya 40,03 persen. Dengan sisa waktu empat bulan, target 100 persen hampir mustahil dicapai.
“Kalau bisa tembus 90 persen di akhir tahun, itu sudah bagus,” ujar Saifuddaulah.
Di sisi lain, tantangan berat juga menanti seluruh daerah pada 2026. Pemerintah pusat telah menetapkan alokasi Transfer Keuangan Daerah (TKD) dalam rancangan APBN 2026 sebesar Rp650 triliun, jauh menurun dibandingkan tahun 2025 yang mencapai Rp919 triliun. Penurunan ini dinilai sebagai alarm bahaya oleh banyak pihak, termasuk Pemkot Bekasi.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Herman N Suparman, menilai bahwa kondisi ini berpotensi besar mengganggu penyelenggaraan pemerintahan daerah.
“Menurut kami itu akan sangat mengganggu kondisi keuangan daerah. Tahun 2025 ini saja, dengan Inpres nomor 1 tahun 2025 yang potongannya Rp50,59 triliun itu menimbulkan goncangan terhadap daerah,” ujar Herman.
Ia menegaskan bahwa belanja pemerintah merupakan salah satu faktor penting yang menentukan pertumbuhan ekonomi di daerah. Pemangkasan yang terlalu besar justru bisa kontraproduktif terhadap target pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen.
Herman menilai pemerintah daerah perlu segera memitigasi dampak penurunan TKD dengan menggali sumber-sumber PAD secara lebih intensif. Namun, ia juga mengakui bahwa upaya tersebut tidaklah mudah, terutama karena harus dilakukan dalam waktu relatif singkat. Berkaitan dengan isu PBB-P2, Herman menyebut bahwa kebijakan ini memang dilematis.
“Karena di satu sisi mereka ada tekanan fiskal yang cukup tinggi dari pemerintah pusat, tapi di sisi yang lain mereka harus meningkatkan PAD dari pajak dan retribusi daerah,” jelasnya.
Lebih lanjut, Herman menekankan pentingnya partisipasi publik dalam proses pengambilan kebijakan. Ia mencontohkan beberapa kasus protes yang terjadi di daerah, termasuk di Pati, sebagai akibat dari minimnya pelibatan masyarakat dalam perumusan kebijakan pajak. Untuk itu, ia mendorong reformasi pada sisi administrasi pemungutan pajak dan retribusi daerah.
“Terkait dengan administrasi pemungutannya ini memang menurut kami pemerintah daerah itu mesti berinovasi terutama penggunaan platform digital dalam manajemen data base pajak, dan yang kedua adalah proses pemungutannya,” tambah Herman.
Menurutnya, penguatan administrasi ini harus dilakukan secara sistematis, transparan, dan akuntabel agar bisa benar-benar meningkatkan PAD tanpa membebani masyarakat.
Dengan segala tekanan fiskal dan dilema kebijakan PBB-P2, Pemkot Bekasi dan pemerintah daerah lainnya dituntut untuk bersikap bijak, hati-hati, dan inovatif. Tantangan 2026 bukan sekadar soal angka-angka dalam RAPBN, melainkan juga tentang kemampuan daerah menjaga keseimbangan antara kebutuhan pembangunan, kepentingan masyarakat, dan keberlanjutan fiskal.(sur)