Beranda Cikarang Wali Murid asal Babelan Laporkan Gubernur ke Komnas HAM, Pertanyakan Motif Kebijakan Masukkan Pelajar Nakal ke Barak Militer

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Seorang wali murid asal Kelurahan Bahagia Kecamatan Babelan Kabupaten Bekasi, Adhel Setiawan, telah melaporkan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Laporan tersebut berkaitan dengan kebijakan Dedi mengenai program Pendidikan Karakter, Disiplin, dan Bela Negara Kekhususan yang mengirim pelajar “nakal” ke barak militer.
Adhel, yang juga managing partner di kantor hukum Defacto & Partners, menilai kebijakan tersebut tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Selain itu, program tersebut tidak melalui kajian yang komprehensif.
BACA JUGA: Pelajar Nakal Bakal Dibawa ke Barak Militer, Ini Kriterianya
“Materinya juga nggak dikaji terlebih dahulu, dari sisi aspek psikologis maupun hak-hak anak,” ujar Adhel, Senin (13/5).
Ia mengkritik pelibatan institusi militer dalam menangani perilaku anak. Selain itu, Adhel mempertanyakan motif di balik kebijakan gubernur Jawa Barat tersebut, termasuk kemungkinan adanya kepentingan popularitas.
“Kenapa Dedi Mulyadi memilih kebijakan yang tidak ada dasar hukumnya seperti ini? Saya nggak tahu motifnya apa,” ujarnya.
“Apakah mencari ketenaran saja? Kalau mau mencari ketenaran, ya jangan jadikan anak sebagai alat atau batu loncatan untuk popularitas. Ini hak asasi manusia,” imbuh Adhel.
Menurut Adhel, aturan hukum mengenai anak yang terlibat kasus kekerasan atau pidana sudah diatur dalam undang-undang. Karena itu, ia menilai metode pengiriman ke barak militer justru menimbulkan kekhawatiran di kalangan orangtua.
“Semuanya sudah ada kanalnya, sudah ada payung hukumnya,” katanya.
Ia menambahkan, program itu belum tentu menjamin perilaku anak akan berubah selepas pulang dari barak militer.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Pendidikan Indonesia, Rezekinta Sofrizal, menilai Dedi Mulyadi bertentangan dengan sistem pendidikan nasional yang melibatkan peran orangtua, masyarakat, dan pemerintah daerah.
“Fungsi sistem pendidikan nasional adalah untuk menumbuhkan kembangkan minat dan bakat anak. Kebijakan Dedi Mulyadi justru mengabaikan hak anak,” ujarnya.
Ia juga mempertanyakan mengapa pendekatan militer dijadikan rujukan dalam mendisiplinkan anak.
“Kalau orientasinya hanya mendisiplinkan anak, kenapa bercermin pada pendidikan militer? Pendisiplinan militer dengan sipil itu kan dua hal yang berbeda. Banyak kok sekolah-sekolah yang swasta kenapa tidak dijadikan acuan, padahal tidak didik oleh militer,” terang Rezekinta.
Rezekinta juga menilai persoalan kenakalan remaja muncul akibat minimnya pemahaman parenting di kalangan orang tua. Oleh karena itu, menurutnya, peran pemerintah daerah dalam memberikan edukasi tentang pola asuh sangat penting.
“Libatkan orang tua, berikan edukasi atau training terkait dengan ilmu parenting. Aspeknya adalah ketika anak dididik dengan gaya-gaya militer, itu kan tidak lepas dari bentakan, mungkin makian, ataupun melakukan tindakan-tindakan yang tidak pernah mereka alami di lingkungan pendidikan sebelumnya, seperti merayap, berguling, menggunakan atribut militer,” katanya.
Ia pun menyayangkan pernyataan Menteri Hak Asasi Manusia yang menyebut pendidikan militer bagi siswa bermasalah tidak melanggar HAM. Terlebih, program ini disebut-sebut akan dijadikan program nasional.
“Kami sangat menyesalkan, sekelas Menteri Hak Asasi Manusia, menyatakan bahwa ini tidak ada pelanggaran Hak Asasi Manusia dan justru akan dijadikan program nasional, untuk dimasukkan ke dalam kurikulum nasional,” tandasnya. (ris)