RADARBEKASI.ID, BEKASI – Selasa sore (16/9), suasana di SPBU Shell Jalan Cut Mutia Kota Bekasi jauh dari hiruk pikuk biasanya. Tak ada antrean mobil, tak ada pengendara motor yang sibuk membuka tangki. Pompa-pompa bensin terdiam kaku, hanya mesin diesel yang masih hidup. Selebihnya, papan bertuliskan “Habis” jadi pemandangan utama.
Fenomena ini bukan hanya terjadi di Cut Mutia. SPBU Shell di Jalan Ahmad Yani pun bernasib sama—bensin kosong, hanya solar yang tersedia. Seorang pegawai mengaku, hampir semua SPBU Shell di Bekasi kehabisan stok bensin.
“Untuk area Bekasi hanya tinggal di Mangunjaya, itu pun tinggal (jenis) super,” katanya, sembari mengangkat bahu.
“Untuk area Bekasi hanya tinggal di Mangunjaya, itu pun tinggal (jenis) super,” ungkap seorang karyawan yang tampak lelah menjawab pertanyaan serupa dari para pengendara.
Kelangkaan ini bukan sehari dua hari. “Sudah dua sampai tiga hari, pengiriman belum tahu kapan,” tambahnya.
Krisis pasokan di SPBU swasta memaksa pengendara mencari opsi lain. Beberapa terpaksa menuju SPBU Pertamina, rela berdesakan dalam antrean panjang. Ada juga yang memilih membeli BBM dengan Ron tinggi yang harganya lebih mahal.
“Kalau kehabisan ya terpaksa isi Ron 95, padahal motor saya biasa pakai Ron 90,” keluh Rian, pengemudi ojek daring yang ditemui di Jalan Ahmad Yani.
SPBU Vivo di kawasan yang sama pun tak sepenuhnya menyelamatkan keadaan. Hanya Ron 95 yang tersedia, sementara Ron 92 dan 90 kosong sejak sehari sebelumnya. “Kapan datangnya saya belum tahu,” ungkap salah seorang pegawai Vivo.
Situasi ini terasa ironis. Beberapa bulan lalu, tepatnya Maret 2025, SPBU swasta sempat jadi pelarian masyarakat ketika isu BBM oplosan di Pertamina mencuat. Kini, roda berbalik, konsumen yang dulu lari ke swasta justru ditinggalkan dengan pilihan yang semakin sempit.
Shell Indonesia tak menampik adanya masalah. President Director & Managing Director Mobility Shell Indonesia, Ingrid Siburian, menyatakan pihaknya terpaksa melakukan penyesuaian operasional. SPBU mengurangi jam kerja, memotong jumlah hari buka, bahkan merumahkan karyawan.
“Kami melakukan penyesuaian kegiatan operasional di jaringan SPBU Shell, selama produk BBM jenis bensin tidak tersedia secara lengkap,” jelas Ingrid.
Meski begitu, Shell memastikan tetap melayani masyarakat dengan produk yang ada, seperti V-Power Diesel, layanan bengkel, pelumas, hingga pengisian listrik. Tetapi fakta di lapangan tetap tak terbantahkan, inti keberadaan SPBU adalah bensin. Tanpa itu, seluruh fasilitas tambahan seolah kehilangan makna.
Kelangkaan ini bukan sekadar urusan distribusi biasa. Akar masalahnya ada di kebijakan pemerintah. Sejak Agustus 2025, SPBU swasta tidak mendapatkan tambahan kuota impor BBM. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menegaskan, impor non-subsidi tidak akan dibuka lagi.
Menurut Bahlil, kuota impor 2025 sudah dinaikkan menjadi 110 persen dari tahun lalu. Jika tahun 2024 ada perusahaan mendapat jatah 1 juta kiloliter, tahun ini naik menjadi 1,1 juta kiloliter. “Jadi sangatlah tidak tepat kalau dikatakan kuota impornya tidak kami berikan,” katanya.
Pemerintah pun menyarankan SPBU swasta membeli BBM dari Pertamina. Namun, di sinilah masalah baru muncul. Posisi SPBU swasta menjadi semakin bergantung pada satu pintu pasokan. Publik pun mulai bertanya: apakah ini pengawasan negara, atau justru monopoli terselubung?
Kepala Badan Pengendalian Pembangunan dan Investigasi Khusus (Bapisus), Aris Marsudiyanto, buru-buru menepis dugaan tersebut.
“Enggak ada monopoli, semuanya kan didistribusikan dengan sebaiknya,” ujarnya usai rapat terbatas dengan Presiden Prabowo di Istana Kepresidenan.
Pemerintah Kata Aris berupaya untuk terus memberikan pelayanan sebaik mungkin kepada masyarakat. Termasuk salah satunya dalam ketersediaan energi.
“Intinya bagaimana memberikan pelayanan pada masyarakat agar semuanya tersubsidi dengan baik, pangan, energi, dan semuanya bisa murah ke rakyat,” pungkasnya.
Tetapi di jalanan Bekasi, kenyataan tak bisa dibantah. Pompa bensin kosong, masyarakat bingung, dan karyawan SPBU kehilangan pekerjaan.
Krisis bensin di SPBU swasta mengungkap rapuhnya ketahanan energi nasional. Di satu sisi, Pertamina dituntut menguasai sektor strategis, sesuai amanat konstitusi. Namun di sisi lain, swasta yang selama ini jadi alternatif kini dipaksa bergantung pada perusahaan negara.
Kondisi ini menimbulkan kesan ganda: pemerintah ingin mengontrol penuh, tetapi distribusi di lapangan justru terganggu. Masyarakat, sebagai pengguna akhir, menjadi pihak paling dirugikan. Mereka dipaksa menerima pilihan mahal atau menempuh jarak lebih jauh demi mendapatkan bensin.
Padahal, energi adalah urat nadi mobilitas. Dari pengemudi ojek daring, sopir angkot, hingga ibu rumah tangga yang mengendarai motor ke pasar, semua merasakan dampaknya. Masyarakat hanya bisa menunggu, dengan harapan sederhana, jangan sampai kelangkaan energi menjadi cerita yang terus berulang.(sur/mif/net)