RADARBEKASI.ID, BEKASI – Dunia pendidikan di Kota Bekasi kembali diguncang oleh suara kritis dari para siswanya sendiri. Senin (8/9) lalu, suasana usai upacara bendera di SMAN 14 Bekasi berubah menjadi forum diskusi terbuka.
Alih-alih masuk ke kelas masing-masing, ratusan siswa bertahan di lapangan untuk menyuarakan keresahan mereka tentang transparansi penggunaan anggaran sekolah, mulai dari pembangunan masjid, sarana prasarana, hingga pemanfaatan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Ini bukan kali pertama siswa SMAN 14 Bekasi melayangkan protes. Isu keterbukaan anggaran telah beberapa kali disuarakan. Namun, kali ini, kritik yang disampaikan terasa lebih tajam dan berfokus pada kondisi nyata yang mereka rasakan sehari-hari.
Salahsatu isu utama adalah pembongkaran masjid lama di halaman belakang sekolah. Padahal, pembangunan masjid baru di bagian depan belum juga rampung. Akibatnya, sejak beberapa bulan terakhir, siswa tidak memiliki tempat ibadah permanen.
“Jadi kita menanyakan alasannya kenapa, masjid belum jadi, yang di belakang sudah dibongkar,” ungkap siswa, Mahardika Rafi, Kamis (11/9).
Kondisi ini membuat siswa muslim harus beribadah di ruang kelas, sementara shalat Jumat digelar di selasar lantai dua. Adapun siswa non-muslim menggunakan ruangan di lantai tiga gedung sekolah.
Situasi ini menimbulkan rasa tidak nyaman, apalagi di sekolah dengan jumlah siswa mencapai 1.380 orang.
Selain tempat ibadah, siswa juga menyoroti keterbatasan ruang kelas. Dengan 36 rombongan belajar, sekolah hanya memiliki 30 ruang kelas.
Akibatnya, sebagian siswa terpaksa belajar di ruang aula, laboratorium IPA, hingga ruang UKS. Kondisi ini dinilai ironis, mengingat sekolah sudah berdiri cukup lama namun masih kekurangan fasilitas dasar.
Siswa juga mempertanyakan transparansi pengelolaan dana pembangunan masjid. Sejak 2023, mereka diminta memberikan infak sukarela. Namun, setelah adanya larangan dari Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi terhadap pungutan di sekolah, penggalangan dana dihentikan. Meski demikian, pertanyaan soal aliran dana tetap mengemuka.
“Sejak tahun lalu kita diminta infak. Nah sekarang kita mau tahu, realisasinya bagaimana,” ujar siswa lain inisial A.
Tak hanya soal infak, siswa juga mempertanyakan transparansi penggunaan dana BOS. Dengan dana Rp2,4 miliar per tahun. Mereka menilai fasilitas yang ada belum mencerminkan pemanfaatan optimal. Komputer, proyektor, meja, hingga kursi disebut dalam kondisi tidak memadai.
Menanggapi hal tersebut, Kepala SMAN 14 Bekasi, Suwono, mengaku menyambut positif sikap kritis siswa. Menurutnya, sekolah telah menjelaskan alasan pembongkaran masjid, yaitu kebutuhan lahan untuk pembangunan dua ruang kelas baru.
“Setelah diukur, masjid lama terkena jalur pembangunan, jadi mau tidak mau harus dibongkar,” jelasnya.
Ia juga menegaskan pembangunan masjid baru tetap berjalan, meski terkendala dana. Dengan kebutuhan mencapai Rp4,6 miliar, hingga kini baru terkumpul Rp300 juta dari sumbangan orangtua siswa dan CSR perusahaan.
“Karena itu sifatnya sumbangan, tidak bisa menggunakan dana pemerintah,” katanya.
Terkait dana BOS, Suwono memaparkan penggunaannya mencakup kegiatan siswa, bimbingan teknis guru, rapat kerja, ekstrakurikuler, lomba, pengecatan, hingga pengadaan sarana kecil seperti rak sepatu.
Ia mengakui sarana di sekolah belum sepenuhnya memadai, namun hal itu disebut wajar karena proses pembangunan dilakukan bertahap.
“Kami menyadari ada kekurangan. Ke depan, penggunaan dana BOS akan lebih transparan. Laporan juga akan dijelaskan kepada siswa,” ucapnya.
Pengamat pendidikan, Imam Kobul Yahya, menilai kritik dari siswa sebagai alarm penting bagi dunia pendidikan. Menurutnya, dana BOS untuk sekolah dengan jumlah siswa lebih dari seribu sebenarnya cukup untuk menutup kebutuhan operasional dasar.
“Masa nggak cukup? Harusnya lebih dari cukup. Karena dana BOS bisa dipakai untuk renovasi kecil, beli peralatan belajar, bahkan membantu siswa miskin. Kalau ada kekurangan fasilitas, berarti ada masalah dalam pengelolaan,” tegasnya.
Ia mendorong sekolah untuk benar-benar transparan, misalnya dengan menempel laporan penggunaan dana BOS di papan pengumuman atau mading sekolah agar bisa diakses siswa dan orang tua. Transparansi, menurutnya, akan memperkecil ruang kecurigaan.
Lebih jauh, Imam menyoroti masalah sistemik. Menurutnya, praktik jual beli jabatan kepala sekolah masih terjadi dan berpotensi memengaruhi integritas dalam pengelolaan anggaran.
“Kalau dari awal prosesnya sudah ada uang yang keluar, maka sulit berharap pengelolaan dana BOS akan bersih,” kritiknya.
Imam juga menilai sikap kritis siswa adalah hasil positif dari kurikulum merdeka. Meski demikian, ia mengingatkan perlunya pembatasan agar aspirasi disampaikan secara sehat dan tidak menimbulkan dampak negatif.(sur)