Rujak Solo

3 hours ago 2

Oleh: Dahlan Iskan

Mungkin saja tidak semuanya benar. Tapi begitu banyak kalimat yang diucapkan Menkeu baru Purbaya Yudhi Sadewa di DPR Rabu kemarin yang bisa dijadikan headline judul oleh wartawan. Sekaligus harus dijadikan topik diskusi di kelas-kelas S-1, S-2, S-3 fakultas ekonomi. Semua kalimat itu juga bisa dijadikan bahan rujak: Rujak Purbaya.

Purbaya menyadari itu sejak di awal bicara. “Saya minta maaf kalau akan ada yang tersinggung. Ini demi perbaikan ekonomi,” katanya.

Ketua Komisi XI DPR M. Misbakhun memang minta Purbaya bicara sebagai Purbaya. “Wah, saya ini sudah ingin berhenti jadi cowboy disuruh jadi cowboy lagi,” celetuk Purbaya. Itu karakternya: bicara apa adanya.

Anda sudah tahu: Misbakhun juga jago ekonomi-keuangan-perpajakan. Sejak ia masih di PKS. Sampai pun sudah di Golkar. Anda juga lebih tahu: Misbakhun sering berseberangan dengan Menkeu Sri Mulyani.

Saya pun menyimak Purbaya bicara dengan waswas: seberapa banyak pihak yang akan tersinggung dari kalimat yang diucapkannya. Setiap kalimat baru diucapkan saya khawatir: siapa lagi yang akan terkena peluru.

Inti pendapatnya: ekonomi kita lemah karena dua mesin penggerak ekonomi kita dicekik mati. Mesin moneter dan mesin fiskal.

Mesin moneter ada di Bank Indonesia. Mesin fiskal ada di Kementerian Keuangan.

“Munculnya tagar ‘Indonesia Gelap’ dari kesalahan kita itu,” katanya.

Kesalahan seperti itu, katanya, muncul setiap tujuh tahun. Sejak krisis moneter 1998-2000. “Padahal harusnya kita tidak boleh lupa,” katanya.

Waktu itu terjadi kesalahan yang luar biasa. Dari sisi moneter suku bunga dibuat sangat tinggi, sampai 60 persen. Harusnya peredaran uang menjadi sangat seret. Tapi peredaran uang justru tumbuh 100 persen. Ternyata kita cetak uang. Lalu apa gunanya suku bunga dinaikkan sampai 60 persen. Yang bikin swasta mati. Sedang naiknya peredaran uang bikin rupiah jatuh. Dua mesin ekonomi mati bersamaan.

“Bukan karena bodoh. Kita memang belum punya pengalaman krisis,” ujar Purbaya –tumben, kali ini ada kalimat bijaksana. Saat krismon itu Purbaya baru menyelesaikan gelar doktor ekonomi dari Purdue University, Indiana, Amerika.

Saat krisis uang ketat 2007, Purbaya ingatkan itu ke tim SBY untuk menghindari terjadi krisis berulang. Ia bicara dengan Bright –grup think-thank-nya Presiden SBY. Krisis pun terhindarkan. Sampai muncul istilah ”SBYnomic” waktu itu.

Saran yang sama disampaikan lagi oleh Purbaya pada Presiden Jokowi tujuh tahun kemudian: ketika krisis uang ketat tahun 2015. “Pak Jokowi ambil langkah cepat. Ekonomi jalan lagi,” katanya.

Tujuh tahun berikutnya kumat lagi. Pertumbuhan uang beredar ketat lagi. Ingatan yang sama disampaikan Purbaya ke Jokowi. Di saat Covid. Ekonomi selamat.

Pertengahan tahun 2024 terjadi lagi. Kali ini belum periode tujuh tahunan. Uang ketat lagi. Pertumbuhan uang beredar kembali ke angka 0.

Purbaya sudah menjadi Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS­). Akibatnya, ekonomi sangat lesu. Muncul tagar “Indonesia Gelap”. Yang disalahkan: kondisi global. Padahal ada yang di kendali kita sendiri.

Di awal masa jabatan Presiden Prabowo (Januari-April) pertumbuhan uang beredar membaik. Maka di akhir April 2025 Purbaya merasa gembira. Indonesia kembali cerah. Tidak akan terjadi krisis.

Tapi di bulan Mei-Juni-Juli-Agustus 2025 ekonomi dicekik lagi –istilah “dicekik” ini diucapkan Purbaya beberapa kali. Pertumbuhan uang beredar kembali menjadi 0.

Dua mesin ekonomi kita, dua-duanya mati. Bank menaruh uang di bank –di Bank Indonesia. Pemerintah juga menaruh uang di Bank Indonesia. Di Bank Indonesia uangnya santai-santai –maksudnya: mengendap.

“Padahal pertumbuhan ekonomi kita 90 persen ditentukan oleh domestik,” katanya.

Di saat ekonomi seret itu pemerintah justru menyedot pajak lebih banyak. Uangnya masuk BI. Mandeg di situ. “Kalau uangnya kembali beredar sih tidak apa-apa,” katanya.

Maka langkah cepat Purbaya setelah jadi menkeu adalah mengembalikan uang yang mengendap tersebut ke sistem.

Purbaya melihat ada uang pemerintah sebanyak Rp 500 triliun di Bank Indonesia. “Saya sudah lapor Bapak presiden, besok yang Rp 200 triliun akan saya kembalikan ke sistem,” katanya.

“Apakah sudah dilaksanakan?” bisik Purbaya ke wakil menteri di sebelahnya.

“Sedang dijalankan,” ujar Purbaya seperti mengutip jawaban bisikan itu.

Dengan mengembalikan uang ke sistem, ekonomi bisa berjalan. Swasta hidup. Bisa membayar pajak lebih baik. Pemerintah juga bisa belanja. Program pemerintah berjalan. Termasuk Makan Bergizi Gratis.

Purbaya pun membuka angka: mengapa pertumbuhan ekonomi di zaman SBY lebih baik dari di zaman Jokowi. Pertumbuhan uang beredar di zaman SBY selalu di atas 17 persen. Di zaman Jokowi hanya tujuh persen. Karena itu pertumbuhan pajak di zaman SBY juga 0,5 persen lebih tinggi.

Purbaya bisa mengatakan pertumbuhan ekonomi akan bisa enam sampai tujuh persen dengan jalan menghidupkan dua mesin ekonomi itu.

“Lima ditambah enam, masak tidak bisa menghasilkan tujuh,” katanya. Lima dari cara Jokowi. Enam dari cara SBY. Menjadi tujuh di cara Prabowo.

“Tugas saya menghidupkan dua mesin itu,” kata Purbaya.

Tentu menteri keuangan tidak bisa “memerintah” Bank Indonesia yang independen. Berarti hanya satu mesin ekonomi yang di bawah kendalinya.

“Kalau itu tidak dilakukan, Prabowo akan lebih jelek dari dua sebelumnya,” ujar Purbaya, April lalu. Ia mengucapkannya di depan Prabowo yang sedang memimpin forum besar soal ekonomi negara.

Seorang anggota DPR dari Lampung, Marwan Cik Asan, memaksa bicara saat Misbakhun sudah siap menutup rapat. Ia klarifikasi atas pernyataan Purbaya, mengapa DPR tidak pernah mempertanyakan pencekikan ekonomi itu ketika berkali-kali rapat dengan menkeu di masa yang lalu.

“Kami sudah sering mempertanyakannya. Jangan sampai rakyat mengira kami diam,” katanya. Rapat dengan DPR pun diakhiri –tanpa joget-joget.

Tidak ada rujak di DPR Rabu malam kemarin. Rujaknya baru akan dibuat Kamis pagi. Atau hari ini. Di medsos. Juga di forum-forum terbatas. Bukan di Solo, Pati, atau di Maryland. Tapi di hati Anda.(Dahlan Iskan)

Read Entire Article
Tenaga Kerja | | | |