Penerbitan SHM Pagar Laut di Tarumajaya Diduga Ulah Oknum ATR/BPN

5 hours ago 1

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Penerbitan sertipikat hak milik (SHM) pada area pagar laut di wilayah perairan Desa Segarajaya Kecamatan Tarumajaya Kabupaten Bekasi, terungkap adanya dugaan penyimpangan dalam prosesnya.

Berdasarkan database Kantor Pertanahan (Kantah) Kabupaten Bekasi, pada 2021 melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL), diterbitkan SHM atas nama 64 orang dengan luas total sekitar 11 hektare mencakup 89 bidang tanah.

Lokasi tanah tersebut berada di area perkampungan darat, jauh dari pagar laut tempat berlangsungnya kegiatan reklamasi untuk alur Pelabuhan Paljaya oleh PT Tunas Ruang Pelabuhan Nusantara (TRPN).

BACA JUGA: Soal Pagar Laut, Presiden Prabowo Pilih Bangun Tanggul Laut Raksasa 700 Km, Konsepnya Masuk PSN

Namun, pada tahun terjadi perubahan dalam data tersebut. Lokasi tanah yang semula berada di daratan, berpindah menjadi di wilayah perairan.

“Pada Juli 2022, 89 bidang tadi dengan 64 orang dengan luasan lahan 11 hektare diubah secara ilegal tidak sesuai prosedur pendaftaran. Dirubah, menjadi atas nama total 14 orang. Lokasinya menjadi di perairan, di laut dan luasnya menjadi 72 hektare,” kata Kepala Kantah Kabupaten Bekasi, Darman Simanjuntak, Jumat (31/1).

Darman menambahkan bahwa pihaknya telah menyurati Inspektorat Jenderal Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) untuk melakukan investigasi guna membuktikan bahwa perubahan letak SHM milik 14 orang tersebut tidak sesuai prosedur.

BACA JUGA: Menteri Lingkungan Hidup: Pagar Laut di Perairan Tarumajaya Merusak Lingkungan

“Inspektorat sedang melakukan investigasi kenapa data itu pindah,” tutur Darman.

Darman berharap hasil investigasi bisa keluar minggu depan. Ia berjanji akan mempublikasikan temuan tersebut ke publik.

“Mudah-mudahan minggu depan (selesai,red). Supaya nanti hasilnya jelas, akan kita sampaikan agar terang-benderang terkait 89 sertipikat yang terbit di darat, dipindahkan secara tidak prosedur,” tambahnya.

Dikatakan Darman, jika terbukti bahwa lahan bersertipikat di area reklamasi Pelabuhan Paljaya telah dipindah tangankan secara ilegal dan ada keterlibatan oknum pegawai ATR/BPN, maka pihaknya akan mengambil lebih lanjut.

BACA JUGA: Dedi Mulyadi Minta Perusahaan Bongkar Pagar Laut di Perairan Tarumajaya Bekasi

“Ketika ternyata perpindahan itu bisa dibuktikan secara tidak salah, otomatis sertipikat tidak mempunyai kekuatan hukum. Karena kami tidak pernah menerbitkan di laut. Terbitnya itu di PTSL 2021. Jadi kita bareng-bareng biar diluruskan oleh Inspektorat kenapa bisa pindah,” katanya.

Terkait dengan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR), Darman menjelaskan bahwa terdapat dua jenis PKKPR, yakni yang terbit secara otomatis dan yang dikeluarkan untuk perusahaan.

Ia menegaskan bahwa PT TRPN tidak melalui tahapan pertimbangan teknis pertanahan yang diterbitkan oleh BPN serta forum pemanfaatan ruang yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.

BACA JUGA: Pagar Laut

“Mendengar penjelasannya data yang kita baca PKKPR yang dimiliki oleh PT Tunas Ruang Pelabuhan Nusantara (TRPN) masuk dalam kategori PKKPR yang terbit secara otomatis,” ujarnya.

“Dan BPN Kabupaten Bekasi berdasarkan database tidak pernah ada menerima permohonan pertimbangan teknis pertanahan atas nama PT Tunas Ruang Pelabuhan Nusantara (TRPN),” tandasnya.

Sementara, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, menduga ada keterlibatan oknum pegawai ATR/BPN dalam kasus penerbitan sertipikat di perairan Desa Segarajaya.

“Ini murni ulah oknum ATR/BPN,” kata Nusron saat rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (30/1), dikutip dari jawapos.com.

Selain di Desa Segara Jaya, kata Nusron, kasus serupa juga terjadi di Desa Urip Jaya, Kecamatan Babelan, Bekasi. Ia menyebut, terdapat Hak Guna Bangunan (SHGB) di wilayah perairan laut dengan luas mencapai 509,795 hektare.

Berdasarkan data ATR/BPN, lanjut Nusron, sertifikat ini dimiliki oleh dua perusahaan, yakni PT CL dengan luas 90 hektare yang diterbitkan bertahap antara 2012 hingga 2018, serta PT MAN dengan luas 419,6 hektare yang diterbitkan sejak 2013 hingga 2015.

“Setelah kita analisis, memang sebagian besar berada di luar garis pantai. Nah problemnya, kita tidak serta-merta bisa membatalkan ini,” ujar Nusron.

Menurutnya, ATR/BPN tidak bisa menggunakan asas contrario actus, yang mengatur bahwa pejabat dalam menerbitkan sertifikat tidak bisa mencabutnya setelah lima tahun.

“Kalau yang usianya di bawah 5 tahun kita bisa langsung batalkan, seperti kasus Kohod (Tangerang). Tapi ini usianya sudah di atas 10 tahun,” tegas Nusron.

Nusron mengaku pihaknya sedang meminta fatwa dari Mahkamah Agung (MA) guna menentukan apakah sertifikat tersebut bisa dibatalkan melalui pengadilan. Jika tidak memungkinkan, opsi lain yang dipertimbangkan adalah memasukkan tanah tersebut ke dalam kategori tanah musnah.

Namun, Nusron menuturkan kategori tanah musnah hanya bisa diterapkan jika ATR/BPN dapat membuktikan bahwa tanah yang kini berada di luar garis pantai dulunya adalah daratan.

“Sementara kami belum bisa membuktikan itu,” pungkasnya. (ris/jpc)

Read Entire Article
Tenaga Kerja | | | |