RADARBEKASI.ID, BEKASI – Tindakan operasi caesar yang dilakukan RSUD dr. Chasbullah Abdulmadjid Kota Bekasi pada September 2024 lalu telah mengubah hidup Ratih Raynada (30).
Ya, persalinan anak keempatnya tersebut berujung petaka. Tubuhnya mendadak lumpuh. Ia menyebut dirinya korban dugaan malapraktik, tapi hingga kini, keadilan belum juga datang.
Ratih tak pernah menyangka bahwa persalinan anak keempatnya justru menjadi titik balik yang kelam dalam hidupnya. Perempuan yang tinggal di rumah kontrakan sederhana di Kelurahan Padurenan, Kecamatan Mustikajaya, Kota Bekasi ini datang ke RSUD dalam kondisi sehat, hanya mengalami pecah ketuban.
Ia berjalan kaki ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) khusus ibu hamil, masih sempat berbincang santai dengan perawat, sebelum akhirnya diarahkan ke ruang operasi untuk tindakan caesar. Di ruang operasi, ia disambut oleh seorang dokter yang memperkenalkan diri dengan sopan.
“Hai, perkenalkan saya dokter Christopher. Izin USG ya, Bu,” kata dokter tersebut, seperti ditirukan kembali oleh Ratih saat ditemui, Rabu (2/7).
Namun, ketenangan awal itu tak berlangsung lama. Setelah dibius spinal, Ratih mulai merasakan sensasi kesemutan di kakinya.
Namun saat sayatan dilakukan, ia justru merasakan nyeri hebat.
“Astaghfirullahaladzim, dokter sakit, dok…” katanya lirih, mengenang rasa sakit yang ia rasakan.
Bukannya dihentikan, tindakan medis justru berlanjut. “Taunya dibelek lagi. Yang kedua. Saya teriak lagi, ya Allah dokter, sakit…”
Ratih mengaku masih sadar ketika mendengar seorang dokter di ruang operasi berkata, “Ini kalau nggak dilihat, kadaluarsanya.”
Setelah bayinya lahir, ia akhirnya pingsan. Saat tersadar di ruang rawat inap, tubuhnya terasa sangat lemas. Untuk turun dari tempat tidur, ia harus dibantu.
Kondisinya tak kunjung membaik. Pulang ke rumah, ia semakin tak berdaya. Berat badannya turun drastis, dari 48 kilogram menjadi 37 kilogram. Tetangga-tetangganya mulai khawatir melihat perubahan fisiknya.
Tiga hari kemudian, ia didiagnosis mengidap Tuberkulosis (TB) paru, dan tak lama disusul dengan TB tulang. Tapi pengobatan yang diberikan tak memperbaiki keadaannya. Obat justru memperburuk kondisi, menyebabkan batuk tak henti dan tubuh semakin lemas. Hingga suatu hari, saat hendak ke kamar mandi, kakinya benar-benar tak lagi mampu menopang tubuh.
“Keluar dari kamar mandi, kaki saya bener-bener nggak ada tenaganya. Sejak itu saya lumpuh total,” katanya pelan.
Ratih kembali keluar-masuk rumah sakit. Ia merasa kebingungan karena penanganan berpindah-pindah—dari dokter saraf ke dokter penyakit dalam, dari dugaan TB ke dugaan ginjal. Diagnosis berubah-ubah, tanpa hasil pasti. Salah satu dokter bahkan sempat mengatakan kepadanya,
“Kalau seperti ini bisa setahun. Penyembuhannya cuma 50-50. Bisa sembuh, bisa tidak.”
Setiap malam ia menangis karena nyeri yang tak tertahankan. Obat penghilang rasa sakit yang diberikan tak kunjung bekerja.
“Siang hari saya minta dipijit sambil nangis. Obatnya nggak ada yang ngaruh,” keluhnya.
Kini Ratih hanya bisa terbaring, makan melalui sedotan, dan tak sanggup bergerak sedikit pun tanpa rasa sakit yang menusuk. Namun yang paling menyayat hati, bukanlah rasa nyeri fisik, melainkan kondisi anak-anaknya yang harus berhenti sekolah.
“Saya ini punya empat anak. Mereka semua berhenti sekolah karena nggak ada yang ngurus, nggak ada biaya,” ucapnya sambil menahan air mata.
Suaminya, yang menikahinya secara siri, pergi meninggalkan rumah sejak Februari. Sejak itu, Ratih tak memiliki penghasilan tetap. Ia hidup dari bantuan tetangga dan donatur.
Pihak rumah sakit memang tetap memberikan layanan pengobatan, namun Ratih merasa tidak mendapatkan perlakuan manusiawi yang menyeluruh. Tidak ada kejelasan penanganan, tidak ada evaluasi menyeluruh pasca operasi.
“Dilihat saya napsu makan, langsung disuruh pulang. Padahal badan saya masih sakit semua,” tuturnya.
Kini harapannya tinggal dua: keadilan untuk dirinya, dan masa depan yang layak untuk anak-anaknya. Ia ingin rumah sakit membuka diri dan mengakui jika ada prosedur yang salah. Baginya, lebih dari pengobatan, ia butuh pengakuan dan empati.
“Saya minta keadilan buat saya dan juga untuk anak-anak saya. Rumah sakit memang tanggung jawab kesehatan saya, tapi anak-anak saya gimana? Mereka juga terdampak,” ujarnya pelan.
Sementara itu, Wali Kota Bekasi Tri Adhianto membantah dugaan malapraktik oleh RSUD Kota Bekasi. Ia menyatakan bahwa hasil investigasi, yang juga melibatkan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), tidak menemukan bukti kesalahan prosedur medis.
“Kalau dianggap malapraktik, saya kira tidak terbukti berdasarkan tahapan medis yang dilakukan RSUD Kota Bekasi,” katanya.
Namun, bagi Ratih, cerita ini belum berakhir. Ia masih menanti titik terang, sembari menggenggam sisa harapan demi dirinya—dan keempat anak yang menunggu ibunya bangkit kembali.(rez)