Matahari Pintar

6 hours ago 4

Oleh: Dahlan Iskan

Orang pintar banyak maunya. Contohnya Elon Musk. Tapi juga banyak uangnya. Bisakah orang pintar menjadi staf yang baik?

Dalam hal Elon Musk tidak bisa. Orang pintar maunya di depan. Maka bulan madunya bersama presiden pintar Donald Trump hanya berlangsung enam bulan. Lalu mulai cekcok. Pisah ranjang. Cerai. Bertengkar.

Itulah juga problem dalam membentuk zaken kabinet. Harus cari orang-orang pintar tapi penurut. Itu langka. Mungkin baru ada satu: Sri Mulyani. Atau dua: Amran Sulaiman. Atau tiga: Anda pilih sendiri.

Orang pintar banyak. Tapi kalau hanya akan membuat sebuah tim pecah berkeping lebih baik pilih yang tidak terlalu pintar tapi mau bekerja sangat keras. Syaratnya: presidennya harus sangat pintar.

Sang presiden punya gagasan besar dalam jumlah yang banyak. Gagasan itu tinggal didistribusikan ke para menteri untuk dikerjakan. Menteri ”kurang pintar” bukan berarti dungu. Artikan kurang pintar itu dengan ”cukup pintar”.

Kombinasi cukup pintar ditambah kerja keras lebih produktif dari pada sangat pintar ditambah mudah retak.

Orang pintar sering punya kejiwaan egois. Kurang mampu bekerja dalam sebuah tim. Diktator. Maunya sendiri. Suka marah. Mudah merendahkan staf.

Publik biasanya tidak tahu sisi pedalaman orang pintar. Tahunya hanya lahiriahnya. Si A itu hebat. Si B sangat hebat. Mengapa tidak dipakai. Publik biasanya kurang tahu bahwa kebutuhan sebuah tim tidak hanya anggota yang pintar tapi juga sikapnya yang baik.

Pasangan Trump-Musk sangat menarik. Kian ke sini kian menarik. Pertengkarannya begitu seru dan aneh. Sudah seperti bukan orang pintar.

Saat Trump berpidato, Musk memasukkan teks lewat X miliknya. Isi teks itu menyerang langsung isi pidato. Dulu orang berkomentar terhadap sebuah pidato setelah pidato selesai diucapkan. Kini komentar bisa dilakukan Musk secara live. Di tempat yang sama: di layar HP yang sama.

Jangan-jangan ini akan jadi tren di banyak negara. Maka hati-hatilah para pemimpin saat Anda berpidato. Siaran pidato Anda bisa langsung ditimpa teks yang isinya mencela Anda.

Dan itu murah.

Tinggal bayar buzzer. Dulu saya ragu buzzer itu ada. Tapi kejaksaan agung telah membuka tabir bisnis per-buzzer-an. Ternyata buzzer bisnis besar.

Waktu Twitter milik saya dihancurkan –seingat saya follower-nya hampir 2,5 juta– saya tidak yakin atas info yang sampai ke saya: buzzer yang melakukan itu. Kini, sejak diungkap Kejagung, saya jadi percaya.

Sebenarnya ada lembaga yang pernah mengungkap dunia gelap per-buzzer-an: LP3ES. Lembaga itu melakukan penelitian mendalam siapa di balik buzzer. Saat hasil penelitian diungkapkan, LP3ES diserang buzzer habis-habisan.

Elon Musk tidak perlu mengerahkan buzzer. Ia sendiri yang melakukan penyerangan atas pidato Trump. Musk lebih berjiwa ”ini dadaku” dari para buzzer yang pilih motto ”ini pantatku”.

Trump sangat marah. Respons terkanak-kanakannya: ia akan buang mobil Tesla warna merah yang ia beli beberapa bulan lalu. Trump juga mengatakan tidak mau mengingat lagi nama Elon Musk.

Itu mustahil.

Setidaknya Trump pasti ingat uang USD 300 juta yang disumbangkan Musk kepadanya. Yakni sebelum pelaksanaan pemilihan presiden. Trump tidak mungkin lupa sayembara berhadiah jutaan dolar yang dilaksanakan Musk untuk mereka yang memilih Trump.

“Trump tidak mungkin terpilih tanpa saya,” ujar Elon Musk si pemilik Tesla.

Di Indonesia juga banyak yang mengklaim seperti itu. “Tanpa Jokowi, Prabowo tidak mungkin terpilih”, ujar para pendukungnya. “Kalau Cawapresnya bukan Gibran mana mungkin Prabowo bisa jadi presiden”.

Trump tidak peduli klaim Elon Musk. Prabowo peduli. Masih peduli. Prabowo mungkin masih ingin menikmati bulan madu lebih lama.

Tapi Musk mungkin akan gabung ke gerakan yang akan menjatuhkan Trump. Setidaknya kini lagi berkampanye habis-habisan untuk menggagalkan RUU yang diusulkan Trump: RUU BBB –Big Beautiful Bill. Itu semacam Omnibus Law di bidang perpajakan.

BBB sudah disetujui DPR. Memang hanya menang setipis lembaran uang Rp 100.000. Hanya menang satu suara. Itu berarti banyak suara dari partai republik sendiri yang menolak BBB.

Kini Musk berkampanye ke Senat. Setelah disetujui DPR, BBB memang masih harus dapat persetujuan Senat. Musk ingin menggagalkannya lewat pemungutan suara di Senat.

Sebenarnya nama RUU itu bukan BBB. Tapi OBBB –One Big Beautiful Bill. Tapi menjadi BBB untuk nebeng ketenaran cerita anak-anak yang amat terkenal di sana: Big Beautiful Bill. Yakni cerita mengenai seekor domba bernama Bill. Domba Bill itu besar sekali. Luar biasa besar. Beda sendiri dibanding domba di gerombolannya. Bill sangat lucu karena jalannya saja aneh sendiri. Tapi publik domba justru memujanya. Bill akhirnya menikmati keganjilan dirinya. Inti cerita: bila Anda dianggap aneh manfaatkan keanehan itu untuk kekuatan Anda.

Trump dengan OBBB-nya mungkin ingin berperan sebagai domba Bill dalam BBB.

Di mata Musk, OBBB merupakan langkah Trump yang menjijikkan. Saat menjabat menteri efisiensi keuangan negara –DODGE– Musk memangkas begitu banyak program dan anggaran. Termasuk dibubarkannya USAID.

Tapi dengan RUU itu Trump membuat program yang besarnya gila-gilaan. Termasuk tembok perbatasan dan peralatannya.

Program itu, kata Musk, akan membuat utang Amerika kian besar. Akan naik menjadi USD 36 triliun di tahun 2035. Itu setara dengan 150 persen PDB Amerika.

Menurut Musk, untuk membayar bunganya saja kelak diperlukan uang sebanyak 30 persen dari pendapatan negara. Ini akan menghancurkan Amerika. Ini sangat bertolak belakang dengan usaha efisiensi yang ia lakukan di DOGE.

Pertengkaran itu begitu mendalam alasannya. Maka bertengkarlah terus.(Dahlan Iskan)

Read Entire Article
Tenaga Kerja | | | |