RADARBEKASI.ID, BEKASI – Pejabat publik di Kota Bekasi harus menjadi teladan gaya hidup sederhana di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang kian menantang.
Peneliti kebijakan publik Institute for Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP), Riko Noviantoro, menegaskan baik pejabat legislatif maupun eksekutif harus menyesuaikan pola hidupnya agar menjadi teladan bagi masyarakat.
Menurut Riko, tunjangan pejabat memang sudah diatur dalam undang-undang, sehingga melekat sebagai hak. Namun, ia menekankan bahwa hak tersebut bukan berarti harus digunakan sepenuhnya, apalagi dalam situasi sulit yang saat ini dirasakan masyarakat.
“Tanpa tunjangan rumah, misalnya, anggota DPRD tetap punya rumah dan bisa beraktivitas. Maka, harus ada kesadaran untuk menunjukkan kepedulian,” ujarnya.
Ia menilai efisiensi tunjangan tidak boleh hanya sebatas formalitas atau sekadar meredam gejolak masyarakat. Lebih dari itu, efisiensi harus diwujudkan secara utuh, dengan penggunaan anggaran yang lebih produktif dan bermanfaat langsung bagi warga.
“Masyarakat bukan iri melihat pejabat yang kerap tampil mewah atau berlebihan, tapi karena mereka merasakan ekonomi yang makin sulit. Maka, pejabat ditakdirkan harus hidup sederhana,” tegas Riko.
Untuk mewujudkan hal itu, ia mendorong adanya etika hidup sederhana yang diatur dan dipatuhi oleh aparatur pemerintah, baik legislatif maupun eksekutif. Salah satu bentuk nyata yang bisa dilakukan adalah dengan menginisiasi gerakan sehari menggunakan transportasi umum atau bersepeda ke kantor bagi aparatur sipil negara (ASN) dan anggota DPRD Kota Bekasi.
Riko menilai langkah ini bukan hanya simbolik, tetapi juga bisa menjadi pesan moral kepada masyarakat bahwa pejabat mau merasakan hal yang sama dengan rakyat.
“Kalau wali kota dan ketua dewan bisa menjadi pelopor, tentu akan lebih berdampak. Minimal, masyarakat melihat ada kesungguhan pejabat dalam menjalankan nilai hidup sederhana,” ungkapnya.
Gerakan hidup sederhana yang dimulai dari pejabat dinilai akan menularkan nilai positif, sekaligus mematahkan kesan pejabat jauh dari realitas masyarakat. “Hidup sederhana bukan berarti meniadakan hak, tetapi menempatkan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi. Dari situlah kepercayaan publik kepada pejabat akan tumbuh kembali,” tandasnya.
Sebelumnya, pemerintah Kota Bekasi sepakat akan melakukan efisiensi anggaran tunjangan kepada anggota DPRD Kota Bekasi. Ya, besarnya tunjangan yang diterima wakil rakyat, menimbulkan gejolak dimasyarakat. Terlebih, disaat kondisi ekonomi saat ini yang kurang baik.
Wali Kota Bekasi Tri Adhianto mengaku, akan melakukan evaluasi total terhadap tunjangan yang diterima kepala daerah dan wakil rakyat.
”Evaluasi akan kami lakukan secara total. Bahkan nanti kami akan melakukan komunikasi dengan gubernur dan Mendagri,” tegasnya.
Terpisah, Pakar hukum tata negara, Rani Purwanti, menilai fenomena flexing pejabat publik memperlihatkan adanya jurang besar antara elite politik dan masyarakat.
“Di satu sisi rakyat masih menghadapi persoalan ekonomi yang sulit, sementara di sisi lain pejabat publik justru menunjukkan gaya hidup berlebihan. Ini jelas menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap institusi politik,” kata Rani kepada JawaPos.com, Kamis (11/9).
Menurutnya, fenomena tersebut tidak lepas dari kualitas kader yang dilahirkan partai politik. Kaderisasi partai seharusnya menjadi pintu utama lahirnya wakil rakyat yang kompeten dan berintegritas.
Namun realitas justru menunjukkan, calon legislatif yang populer secara elektoral, meski minim kompetensi substantif lebih sering menduduki kursi parlemen dibanding kader internal yang dibina dengan serius. Persoalan ini pada akhirnya tidak bisa dilepaskan dari desain sistem pemilu legislatif yang berlaku. Ambang batas parlemen yang terus meningkat mendorong partai politik mengedepankan strategi elektoral pragmatis demi mengumpulkan suara dalam jumlah besar.
Hal itu berakibat pada kualitas kader yang kerap dikorbankan demi kepentingan elektoral jangka pendek. Selain itu, penerapan sistem proporsional terbuka murni juga membawa persoalan serius. Sistem ini memang memberi ruang luas bagi rakyat untuk memilih wakilnya secara langsung, namun di sisi lain menimbulkan kompetisi individual yang ketat antar-calon dalam satu partai.
Persaingan tidak sehat, biaya politik tinggi, hingga maraknya politik uang menjadi konsekuensi yang sulit dihindari. Rani menilai, kondisi tersebut berkontribusi langsung pada praktik korupsi setelah calon legislatif terpilih.
“Ketika proses menuju parlemen sangat mahal, maka wajar jika setelah duduk di kursi DPR mereka mencari cara untuk mengembalikan modal politiknya. Inilah lingkaran setan yang merusak kualitas demokrasi kita,” jelasnya.(mif/sur/jpc)