Obat Gelembuk

9 hours ago 6

Oleh: Dahlan Iskan

Bagaimana India bisa punya obat kanker –dan obat lainnya– begitu murah? Sampai orang Tiongkok pun “terpaksa” mencarinya secara gelap –yang memicu “revolusi” sistem pengobatan di Tiongkok enam tahun lalu?

Ternyata ada seorang hakim yang amat berani di India. Keputusannya di bidang hukum mampu mengubah ekonomi negara. Ide membuat aturan agar harga obat sangat murah di India justru datang dari seorang hakim. Caranya: lewat perubahan hukum paten.

Saya jadi ingat artikel seorang ahli hukum Indonesia: Nono Anwar Makarim –ayahanda mantan mas menteri pendidikan Nadiem Makarim. Saya membacanya saat masih muda. Saat masih menjadi calon wartawan TEMPO.

Saat itu Nono Anwar Makarim masih jadi salah satu mentor saya di LP3ES –saya sendiri murid magang di TEMPO. Nono adalah pendiri dan orang tertinggi di LP3ES. Saya peserta program pendidikan di lembaga itu yang dimagangkan di TEMPO. Nono adalah juga tokoh pergerakan 66, penggerak demo, pegiat antikorupsi, dan kemudian jadi pengacara terkemuka.

Ini inti tulisan di artikelnya kala itu: “Mencuri hak paten berbeda dengan mencuri sepeda motor”. Paten itu, biar pun dicuri, pemilik paten masih tetap bisa menggunakannya. Kalau sepeda motor yang dicuri, pemiliknya tidak bisa lagi menggunakannya.

Hanya beberapa tahun sebelum artikel itu muncul, seorang hakim agung India, N. Rajagopala Ayyangar, sudah membuat putusan mirip itu: mengesahkan perubahan aturan paten. India tidak mau lagi mengakui ”paten produk”. India hanya mengakui paten ”proses produksi”.

Artinya, India bisa memproduksi produk yang sama, yang sudah ada di pasar, asal proses produksinya berbeda.

Itu tahun 1970. Di zaman perdana menteri India dipegang seorang wanita legendaris: Indira Gandhi. Gandhi-lah yang minta agar hukum mencarikan jalan keluar bagi rakyat India yang miskin yang tidak mampu membeli obat.

Begitu banyak literatur di sekitar peristiwa ”hukum dipakai untuk membela nasib bangsa” di India. Anda tinggal pilih buku yang mana. Membaca buku tentu banyak gunanya –meski pun ada juga yang bangga karena tidak pernah membaca buku.

Waktu itu belum ada WTO –organisasi perdagangan dunia. India juga masih menjadi negara yang sangat miskin –yang sama sekali tidak penting sebagai pasar produk dari Barat yang harganya mahal.

Keputusan hukum di tahun 1970 itulah yang telah menjadi fondasi mengapa saat ini India merajai pasar obat dunia. Bahkan sampai disebut sebagai ”apoteknya dunia”. Sebanyak 20 persen obat generik datang dari India. Murahnya luar biasa.

Salah satunya adalah obat kanker leukimia yang diselundupkan oleh penderita kanker di Hunan –Tiongkok tahun 2018 lalu, yang mengubah kebijakan penting sistem pengobatan di Tiongkok (baca Disway kemarin: Hasil Demo).

Misalnya obat produksi Novartis (Swiss) yang sudah punya hak paten di India. Obat kanker. Novartis adalah salah satu produsen obat terkemuka di dunia –yang juga menguasai pasar obat di Indonesia.

Obat dari Novartis itu sangat ampuh untuk kanker darah. Nama obatnya: Imatinib mesylate. Merek dagangnya: Gleevec/Glivec.

India nekat memproduksi obat jenis tersebut tanpa merasa melanggar hak paten. Dengan cara: proses memproduksinya dibuat berbeda. Ikut prinsip hakim Rajagopala.

Maka harga obat jenis itu pun terjun bebas. Obat yang asli harganya Rp 50.000 sehari, menjadi hanya Rp 3.000. Sekitar itu. Padahal pasien leukemia harus meminumnya setiap hari. Selama satu tahun. Atau lebih.

Isi obatnya sama. Khasiatnya sama. Harganya begitu jauh berbeda.

Demikian juga obat HIV yang aslinya seharga USD 30 menjadi hanya USD 1 –untuk keperluan sehari. Beda merek. Sama ampuhnya.

Setelah ada WTO, India berubah ikut aturan WTO. Tapi industri farmasinya sudah telanjur sangat maju. Harga murah. Menguasai pasar. Sudah pula mendapat kepercayaan dunia.

Kualitasnya memang dijaga. Standar mutu WHO dipenuhi. Banyak yang mendapat pengakuan FDA –BPOM-nya Amerika.

Saya teringat saat jadi sesuatu dulu –seperti yang ditulis perusuh Disway kemarin. Sebagai penderita hepatitis B akut –sampai berlanjut ke sirosis dan kanker hati– saya tahu: obatnya amat mahal. Produk Eropa. Tidak mungkin terjangkau. Penderita hepatitis B di Indonesia begitu besar. Banyak di pedesaan pula.

Maka Indonesia harus punya obat yang murah. Kimia Farma pun kontak India. Akhirnya Indonesia punya obat sendiri. Mereknya: Heplav. Harganya tidak sampai sepertiga Barraclude yang saya konsumsi setiap hari.

Sesekali, saat saya ke apotek, masih bertanya: apakah masih ada Heplav. Masih ada. Tapi saya tidak bertanya apakah harganya masih tidak sampai sepertiga seperti dulu.

Setelah ada WTO, Novartis merasa punya hak menggugat India. Di bidang paten. Tapi Novartis kalah. Meski sudah masuk WTO India tetap punya aturan khusus: bila obat serupa terlalu mahal dan tidak terjangkau rakyat. Masih ada satu ”cadangan” aturan khusus untuk bisa melanggar paten: kalau terjadi wabah. Maka di masa Covid-19 lalu India menjadi produsen vaksin yang amat besar.

Tidak mudah menggugat India. Tidak mudah pula asing ”menyiasati” India. Kita harus tahu orang India itu bilang ”iya” pun kepalanya menggeleng.

Misalkan ada perusahaan asing yang mendaftarkan paten obat baru. Obat itu harus benar-benar ”baru” di segala hal. India bisa menolak dengan alasan obat itu masih mirip dengan obat lain. Kalau pun beda, tidak banyak.

India punya penilaian raksasa farmasi dunia sering beralasan mendaftarkan merek baru, padahal itu hanya akal-akalan agar masa berlaku patennya lebih panjang.

Orang Tegal jangan dilawan dalam perdagangan minyak wangi. Orang Tasikmalaya jangan dilawan dalam mindring. Orang Solo jangan dilawan dalam hal gelembuk. Orang India jangan dilawan dalam semua hal. (Dahlan Iskan)

Read Entire Article
Tenaga Kerja | | | |