RADARBEKASI.ID, BEKASI — Mahasiswa dan Pemuda (Mahamuda) Bekasi menyoroti besaran tunjangan rumah dan transportasi yang diterima anggota DPRD Kabupaten Bekasi.
Berdasarkan data yang dihimpun, Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 11 Tahun 2024 Pasal 17 menyebutkan bahwa tunjangan perumahan diberikan setiap bulan dalam bentuk uang serta dipotong pajak sesuai peraturan perundang-undangan.
Rinciannya, untuk ketua sebesar Rp41,7 juta, wakil ketua sebesar Rp40,2 juta, dan anggota sebesar Rp36,1 juta per bulan.
Jika dibandingkan dengan Perbup Nomor 196 Tahun 2022, terjadi penurunan besaran tunjangan. Sebelumnya, untuk ketua sebesar Rp42,8 juta, wakil ketua sebesar Rp42,3 juta, dan anggota sebesar Rp41,8 juta per bulan.
Adapun pada Perbup Nomor 127 Tahun 2020, angkanya lebih kecil lagi. Untuk ketua sebesar Rp30,55 juta, wakil ketua sebesar Rp30 juta, dan anggota sebesar Rp29,5 juta per bulan.
Selain tunjangan perumahan, Pasal 18 Perbup 2024 juga mengatur tunjangan transportasi. Untuk ketua sebesar Rp21,2 juta, sementara wakil ketua dan anggota masing-masing mendapatkan sebesar Rp17,3 juta per bulan.
Jika dihitung total, beban APBD untuk tunjangan rumah dan transportasi bagi 55 anggota DPRD Kabupaten Bekasi mencapai sekitar Rp2,69 miliar per bulan atau sekitar Rp32,3 miliar per tahun.
Anggota Mahamuda, Jaelani Nurseha, mengungkapkan besarnya tunjangan tersebut harus tidak diimbangi dengan kinerja nyata para wakil rakyat.
“Tunjangan yang diberikan harus membuktikan kinerja nyata wakil rakyat. Jangan sampai anggota DPRD Kabupaten Bekasi yang sibuk mengumpulkan pundi-pundi tanpa kepentingan masyarakat,” tegas Jaelani.
Jaelani juga menyoroti berbagai fasilitas lain yang diterima DPRD sesuai PP Nomor 18 Tahun 2017. Anggota DPRD sudah mendapatkan uang representasi, tunjangan keluarga, jabatan, komunikasi intensif, reses, pakaian dinas, jaminan kesehatan dan kecelakaan kerja, hingga uang jasa pengabdian saat berhenti menjabat.
Bahkan, pimpinan DPRD masih mendapat dana operasional sebesar dua sampai enam kali lipat dari uang representasi ketua DPRD.
“Ini ironi besar. Harusnya dibuktikan dengan kerja. Kalau tidak, ya dipotong saja untuk kepentingan rakyat,” tegasnya.
Menurutnya, DPRD kerap menggunakan regulasi untuk melegitimasi kenaikan tunjangan.
“Setiap dua tahun sekali selalu ada Perwal atau Perbup yang isinya bukan membela rakyat, melainkan menambah kenyamanan DPRD. Ini pembajakan APBD secara sistematis,” tegasnya.
Jaelani menilai, anggaran tunjangan tersebut seharusnya bisa digunakan untuk membangun sekolah, memperbaiki fasilitas kesehatan, atau memperlebar jalan desa yang rusak.
“Dengan uang Rp40 juta per bulan, satu anggota DPRD bisa setara biaya rehab tiga ruang kelas. Kalau dikalikan 50 anggota, sudah bisa bangun sekolah baru setiap tahun,” kata Jaelani.
Selain itu, mereka juga menyoroti maraknya perjalanan dinas anggota DPRD yang dianggap hanya sebagai wisata politik.
“DPRD jalan-jalan ke luar negeri, sementara rakyat masih antre berobat di Puskesmas yang minim fasilitas. Ini pelecehan terhadap rasa keadilan masyarakat,” tambahnya.
Sementara itu, Kepala Bagian Keuangan Sekretariat DPRD, E.Y. Taufik, menyampaikan bahwa anggaran yang diberikan untuk fasilitas dinilai sudah sesuai dengan kajian dan ketentuan yang berlaku.
“Bagi daerah yang belum dapat menyediakan rumah dinas bagi anggota DPRD, maka diberikan uang sewa rumah dengan besaran yang disesuaikan dengan kemampuan daerah. Penentuan besaran tersebut mengacu pada hasil appraisal dari tim penilai, dan kebijakannya ditetapkan melalui peraturan bupati, sesuai dengan arahan peraturan perundang-undangan,” ujarnya. (and)