Beranda Metropolis Kisah Orangtua Siswa Al-Karem Islamic School: "Anak Saya Harus Ulang Kelas 1, Padahal Sudah Bayar Rp150 Juta"

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Langkah tegas Dinas Pendidikan Kota Bekasi dalam menghentikan kegiatan operasional sekolah Al-Karem Islamic School tak sepenuhnya berbuah lega.
Sejumlah orangtua siswa yang kadung percaya dengan menyekolahkan anaknya di sekolah berlabel internasional tersebut kini justru kelimpungan. Berikut kisah mereka.
Plang besar bertuliskan “Cambridge Curriculum” dan label “Islamic International School” tampak menjanjikan. Gedungnya rapi, media sosialnya aktif, jargon pendidikannya terdengar meyakinkan. Tapi siapa sangka, di balik kemasan megah itu, tersembunyi kenyataan pahit: sekolah tidak memiliki izin operasional.
Riyanti dan Ashraf, pasangan suami istri asal Bekasi Utara, tak pernah mengira akan menjadi korban dari sistem yang mereka percaya bisa mengantar anak-anak mereka menuju masa depan cerah. Mereka menyekolahkan tiga anak sekaligus di Al-Karem Islamic School. Satu di kelas 1 SD, dua lainnya di jenjang PAUD.
BACA JUGA: Disdik Kota Bekasi Larang Al Kareem Islamic School Terima Murid Baru TA 2025/2026
Namun, yang mereka dapat bukan ilmu, melainkan luka—dan kehilangan waktu pendidikan yang tak tergantikan.
“Anak saya sudah satu tahun sekolah, tapi tidak punya Nomor Induk Siswa Nasional (NISN),” keluh Riyanti, Kamis (19/6).
Nomor induk itu bukan sekadar angka. Tanpa NISN, seorang siswa dianggap tak pernah terdaftar secara resmi dalam sistem pendidikan nasional. Artinya, apa yang dijalani selama satu tahun terakhir tidak diakui.
Tak hanya soal legalitas, kualitas pembelajaran pun jauh dari ekspektasi. Riyanti mengaku sejak awal sudah merasa janggal—anaknya tidak pernah menerima buku pelajaran.
“Buku aja enggak dikasih. Masa sekolah internasional enggak ada buku?” katanya heran.
BACA JUGA: Tujuh Guru Al Kareem Islamic School Mengundurkan Diri
Kekecewaan kian menumpuk ketika ia menyadari proses belajar anaknya tidak berkembang. Membaca terbata-bata, mengaji pun keliru. Guru di kelas sering berganti-ganti. Yang tertinggal hanyalah tumpukan tagihan. Total biaya yang telah mereka keluarkan melebihi Rp150 juta.
Pukulan terbesar datang saat ia harus menyampaikan kabar yang sulit kepada sang anak.
“Saya bilang, ‘Kamu harus belajar dari awal lagi.’ Dia nangis dan tanya, ‘Kenapa, Bu?’ Saya enggak bisa jawab,” ucap Riyanti dengan suara bergetar.
Kini, sekolah tersebut sudah disegel pemerintah. Tapi bagi Riyanti dan Ashraf, penutupan saja belum cukup.
“Kalau sekolahnya ditutup, itu baru menutup produk. Pelakunya juga harus ditindak. Kalau dibiarkan, besok bisa buka lagi dengan nama baru,” tegas Riyanti.
BACA JUGA: Al Kareem Islamic School Mendadak Tutup saat Ujian Susulan
Ashraf, yang berasal dari Timur Tengah, mempertanyakan lemahnya pengawasan dari pemerintah.
“Kami baru tahu di akhir tahun bahwa sekolah ini tidak punya izin. Bagaimana bisa sekolah tanpa legalitas bisa beroperasi setahun penuh?” katanya geram.
Bagi Ashraf, lebih dari sekadar uang, yang hilang adalah hak anaknya untuk melanjutkan pendidikan formal.
“Yang saya minta sederhana: anak saya bisa lanjut ke kelas dua, dengan NISN resmi. Jangan biarkan dia menanggung beban dari kelalaian orang dewasa,” tegasnya.
Pasangan ini kini menuntut lebih dari sekadar ganti rugi. Mereka ingin adanya jaminan pendidikan bagi anak mereka, termasuk dukungan dari Dinas Pendidikan agar proses transisi ke sekolah baru tidak menyulitkan.
“Kalau memang NISN enggak bisa diproses, paling tidak bantu kami cari solusi. Masa depan anak kami tidak boleh berhenti di sini,” harap Riyanti.
Di tengah rasa kecewa dan amarah, pasangan ini tetap menggantungkan harapan pada negara—agar sistem bisa melindungi yang paling rentan: anak-anak.
“Kalau mau tipu-tipu, ya di dunia hiburan saja. Tapi kalau menipu dalam dunia pendidikan? Itu keterlaluan,” tutup Riyanti.(rez)