RADARBEKASI.ID, BEKASI – Sejumlah warga Kelurahan Arenjaya, Kecamatan Bekasi Timur, mengaku kecewa terhadap pelayanan Rumah Sakit Siloam Sentosa. Mereka menilai rumah sakit tersebut kurang maksimal dalam memberikan pelayanan dan edukasi kepada keluarga pasien.
Salah satunya dialami A, warga Perumahan Wisma Jaya, Bekasi Timur. Ia harus merelakan kepergian anak sulungnya, J (16), untuk selama-lamanya.
A masih diliputi rasa bersalah setelah sang anak meninggal dunia pada Jumat (27/6). Menurutnya, jika hasil pemeriksaan pertama di RS Siloam Sentosa menunjukkan gejala DBD, ia mestinya bisa lebih waspada dan mengusahakan yang terbaik untuk kesembuhan anaknya.
“Dengan tindakan aku ini, aku tetap merasa bersalah dengan anak ku ya, aku gagal menjaga anakku tetap sehat. Tapi aku kembali lagi kecewa dengan rumah sakit, hasil hari Selasa itu membuat kita teledor,” ungkapnya, Minggu (29/6).
Semua bermula saat anaknya J mengalami demam pada Minggu (22/6) sore. Setelah tiga hari demam tak kunjung turun, keluarga membawa J ke RS Siloam Sentosa pada Selasa pagi.
Setelah dilakukan pemeriksaan, termasuk laboratorium, hasilnya baik-baik saja. Ia sempat memastikan hasil pemeriksaan lab tersebut anaknya tidak menderita DBD dan tipes.
“Hasilnya itu mereka sendiri yang bacain ke aku, nggak diserahin kan, nggak sama sekali pegang sampai sekarang. Cuma intinya hasilnya bagus dan bisa pulang,” katanya.
Hari itu J diperkenankan untuk dibawa pulang ke rumah. Tiga hari berada di rumah, demam J masih naik turun. J sudah mengkonsumsi obat yang diresepkan rumah sakit, yakni obat penurun panas, obat mual, dan vitamin.
Ibunda J mendapati kondisi anaknya memburuk pada Jumat (27/6) pagi. Saat itu J mengeluh lemas dan mual. Bahkan mengaku tidak kuat jika dibawa ke rumah sakit menggunakan sepeda motor.
Setibanya di RS Siloam Sentosa, J kembali menjalani pemeriksaan laboratorium. Hasilnya membuat A terkejut, J positif DBD, dengan jumlah trombosit 27 ribu, masuk kategori kritis.
Berbekal dokumen hasil pemeriksaan lab yang dikirim lewat WhatsApp, keluarg J disarankan untuk membawa pasien ke rumah sakit lain untuk dirujuk. Petugas menerangkan bahwa J disarankan untuk rujuk lepas, tanpa pendampingan rumah sakit.
“Cuma kalau untuk di rujuk Bu, kita rujuk lepas. Itu kata petugasnya, tapi aku nggak ngerti apa itu rujuk lepas,” ucapnya menirukan pernyataan petugas RS.
J akhirnya dibawa ke RSUD Kota Bekasi dengan menyewa ambulans Rp2,5 juta. Pasien mendapat penanganan intensif di RSUD Kota Bekasi sebelum akhirnya menghembuskan nafas terakhir pada Jumat sore sekira pukul 18.00 WIB.
Pengalaman serupa juga dialami oleh JM (40). Warga Kelurahan Arenjaya tersebut sempat berobat di RS Siloam Sentosa karena demam dan mual. Setelah di cek lab, pasien tersebut diminta pulang karena pihak RS menyatakan hanya demam biasa.
“Saya penasaran, saya juga sudah curiga kena DBD, karena berdasarkan ciri-cirinya mengarah ke sana. Tanpa ada perintah rujukan, saya langsung ke RS Hermina. Setelah di cek darah, ternyata saya dinyatakan positif DBD. Saat itu juga saya langsung dirawat inap,” terangnya.
Tak hanya itu, seorang warga Perumahan Wismajaya lainnya mengaku mengalami pelayanan yang mengecewakan dari RS Siloam Sentosa. WN (35) mengaku pernah membawa anaknya untuk cek darah, karena demam tinggi. Pihak RS pun menyatakan anaknya baik-baik saja berdasarkan hasil lab. Dia pun hanya diberi obat penurun panas.
Namun selang sehari, panas anaknya belum juga turun. Dia kembali ke RS tersebut, dan hasilnya sama.
“Saya panik. Akhirnya, saya minta resep dokter. Kebetulan ada saudara yang juga dokter. Setelah membeli obat sesuai resep, panas anak saya turun. Dan alhamdulillah sekarang sudah sehat,” tuturnya sembari mengaku, tidak mendapatkan hasil lab anaknya.
Praktisi Kesehatan, Hadyan Rahmat mengatakan bahwa masa inkubasi virus terjadi 1 sampai 3 hari. Dalam rentang waktu tersebut, pemeriksaan laboratorium belum bisa terlihat jelas pasien terjangkit DBD. Pasalnya, trombosit pasien masih tergolong normal.
“Nyamuk Aedes Aegypti ini bekerja pada pagi dan sore, masa inkubasinya itu satu sampai tiga hari, saat di cek lab pada waktu tersebut belum tentu terlihat sebenarnya,” katanya.
Untuk itu, kata Hadyan, dokter perlu melakukan analisa beberapa hal untuk mendukung pemeriksaan medis. Di antaranya ada atau tidaknya lonjakan kasus DBD, serta hasil wawancara medis.
Jika kondisi kasus DBD mengalami peningkatan saat pasien datang ke RS, menurut Hadyan perlu diberikan edukasi kepada pasien atau keluarga adanya potensi gejala DBD dan menyarankan pasien untuk kembali melakukan pemeriksaan lab beberapa hari berikutnya.
Lebih lanjut ia menyampaikan bahwa masa kritis penderita DBD dialami pada hari ke lima sampai ke sepuluh, dimana demam pasien cenderung turun. Namun, hari-hari tersebut justru masa-masa kritis.
“Boleh pasien dipulangkan, boleh pasien diberikan obat, tapi pasien diberikan edukasi supaya nanti saat pasien pulang tetap ada kewaspadaan. Karena ketika lewat dari tiga hari itu biasanya trombosit turun drastis,” tambahnya.
Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kota Bekasi, Wildan Fathurrahman, mengatakan sedianya pasien diberikan edukasi yang utuh. Bila perlu menyarankan agar kembali dilakukan pemeriksaan laboratorium di hari ketiga sejak pasien pertama kali mengalami demam.
Ia menyayangkan prosedur rujuk pasien J pada hari Jumat, saat kondisi J kritis.
“Hari Jumat itu lah yang kita sayangkan, apalagi nilai nya kritis untuk trombosit di bawah 50 ribu,” ungkapnya.
Dalam keadaan pasien kritis, kata dia, rumah sakit harus menjalankan tata laksana medis lebih dulu. Jika rumah sakit tidak mampu, proses rujuk wajib dilakukan sesuai prosedur.
Rujuk lepas, kata Wildan, kadangkala dilakukan oleh rumah sakit nakal, padahal membahayakan pasien. Ia meminta Dinas Kesehatan (Dinkes) untuk melakukan evaluasi agar tak terjadi peristiwa serupa.
“Kecuali ada permintaan dari pasien atau keluarga, tapi harus ada tandatangan bahwa segala resiko itu ditanggung keluarga. Kalau tidak ada artinya ini harus dievaluasi, artinya ada ada sistem rujukan yang tidak beres di rumah sakit tersebut karena pasien dengan kondisi gawat darurat ini tidak dirujuk sesuai prosedur,” tambahnya.
Sementara itu, Ketua Forum kesehatan Kecamatan Bekasi Timur, Arma mengaku akan mengkarifikasi kepada pihak rumah sakit untuk memperbaiki pelayanan.
“Saya berharap dari kasus ini menjadikan pelayanan lebih baik lagi,” tegasnya.
Ketua RW 19 Kelurahan Arenjaya Bekasi Timur, Hasrul Wahyu mengaku akan terus mengawal permasalahan tersebut.
“Karena sudah banyak warga saya yang mendapatkan pelayanan kurang memuaskan. Yang terakhir sampai meninggal dunia,” tegas pria yang akrab disapa Opung itu.
Sementara itu, Direktur RS Siloam Sentosa, Kristianus Cahyono, belum bersedia untuk memberikan keterangan.
“Untuk wawancara mohon maaf saat ini belum bisa, mungkin nanti akan saya infokan kembali,” ungkapnya saat dikonfirmasi melalui aplikasi pesan instan, Senin (30/6). (sur)