RADARBEKASI.ID, BEKASI – Di tengah semangat mempercantik wajah lingkungan, para ketua Rukun Warga (RW) di Kota Bekasi kini berada di persimpangan antara amanah dan ancaman. Dana hibah sebesar Rp100 juta yang digelontorkan Pemerintah Kota untuk setiap RW sejatinya menjadi angin segar bagi pembangunan lingkungan. Namun, dana ini juga menjadi ujian moral dan administrasi bagi para ketua kampung yang kini dituntut berpikir layaknya auditor.
Program bertajuk “Penataan RW Bekasi Keren” ini mulai digulirkan menjelang akhir tahun 2025. Setiap RW menerima dana Rp100 juta yang harus dibelanjakan secara tepat guna, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam hitungan minggu sebelum tutup tahun anggaran, para pengurus RW di seluruh penjuru Bekasi berpacu dengan waktu — sambil menahan napas agar tidak tersandung masalah hukum.
“Hari ini tadi kita rapat, saya minta usulan dulu, cari yang paling prioritas,” ujar Warjio, Ketua RW 07 Kelurahan Perwira, Kecamatan Bekasi Utara, Sabtu (18/10).
Nada suaranya tegas namun hati-hati, seperti sedang berjalan di atas tali tipis. Ia mengaku belum berani menetapkan proyek apa pun sebelum memastikan semua usulan sesuai aturan dan batasan dari pemerintah.
Situasi serupa juga terjadi di wilayah Jakasetia, Bekasi Selatan. Andriansyah, Ketua Forum Komunikasi RW (FKRW) Kelurahan Jakasetia, berkali-kali menegaskan satu pesan ke seluruh ketua RW di wilayahnya, ‘Jangan sembarangan.’
“Kami ini tidak berani serta-merta membelanjakan apa saja. Semua harus terarah dan terukur,” ujarnya.
Dalam setiap musyawarah, para pengurus RW membedah satu per satu daftar barang dan proyek yang diusulkan, mulai dari kursi sekretariat hingga tenda kegiatan warga. Bahkan, Standar Satuan Harga (SSH) pemerintah dijadikan kitab suci dalam proses pengadaan barang.
Di RW 07 Jakasetia, misalnya, prioritasnya bukan proyek besar, tapi hal-hal kecil yang terasa manfaatnya pendingin ruangan, lemari, meja, hingga lampu penerangan.
“Saya konsepkan dulu baru saya paparkan. Kalau ada tambahan, kita diskusikan,” kata ketuanya.
Kehati-hatian mereka bukan tanpa alasan. Setiap rupiah yang dibelanjakan, sekecil apapun, wajib bisa dipertanggungjawabkan secara administratif. Dana hibah ini bukan uang pribadi, melainkan dana publik yang harus dikelola dengan transparan.
Ada semacam euforia kecil di balik pembagian dana hibah ini. Banyak RW yang langsung berangan-angan membangun portal keamanan, membeli tenda kegiatan, atau memperbaiki saluran air. Namun euforia itu kini ditahan dengan rasa was-was.
Ketua RW 02 Kelurahan Kalibaru, Aris Darmaji, Kecamatan Medansatria, misalnya, punya rencana membangun pintu di setiap gang untuk keamanan. “Setiap gang nanti kita pasang pintu, jam 12 malam ditutup. Supaya tidak ada pencurian,” katanya.
Namun di sisi lain, ia juga memikirkan aspek kebersihan. Jaring sampah di Kali Alam menjadi ide berikutnya karena tumpukan sampah di jembatan Jalan Kali Baru Timur kerap menjadi sorotan publik. Semua ide bagus, tapi jika salah langkah dalam proses anggaran, bisa berbuah petaka.
Wali Kota Bekasi Tri Adhianto tampak sadar betul dengan risiko program ini. Ia melibatkan Kejaksaan Negeri (Kejari) Bekasi untuk melakukan pendampingan hukum.
“Korupsi bukan hanya soal uang, tapi juga administrasi yang tidak benar,” ujarnya.
Pernyataan itu menjadi sinyal peringatan bagi para ketua RW. Setiap kesalahan prosedural meski tanpa niat jahat bisa berujung pada jeratan hukum. Mark up anggaran, kwitansi fiktif, atau pembelian tanpa bukti sah, semuanya bisa menyeret pengurus RW ke meja hijau.
Pemerintah Kota pun telah melakukan sosialisasi kepada 1.020 RW di seluruh Bekasi. Setiap RW diberi kebebasan menentukan prioritas pembangunan, tapi dengan catatan: setiap rupiah harus bisa diaudit.
Dari gedung DPRD, suara serupa menggema. Anggota DPRD Kota Bekasi Misbahudin, mengingatkan bahwa dana hibah ini bukan hadiah politik.
“Agar setiap rupiah benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, bukan hanya untuk simbol,” tegasnya.
Ia menilai langkah Pemkot menggandeng kejaksaan adalah bentuk pencegahan dini. Pendampingan dan evaluasi rutin, katanya, wajib dilakukan oleh pemerintah kelurahan dan kecamatan.
Senada, Adhika Dirgantara dari Fraksi PKS menyarankan agar para pengurus RW menggunakan dana itu dengan hati-hati tapi tanpa ketakutan berlebihan.
“Gunakan secara hati-hati, tapi jangan sampai takut berbuat,” ujarnya.
Ia juga menyoroti ego sektoral antar-RW yang bisa menghambat efektivitas program. “Masalah seperti banjir tidak bisa diselesaikan oleh satu RW saja. Harus ada koordinasi lintas wilayah,” katanya.
Kasi Intelijen Kejari Kota Bekasi, Ryan Anugrah, menegaskan pendekatan kejaksaan bukan menakuti, tapi mengedukasi. “Kami fokus ke upaya pencegahan, lewat edukasi hukum agar para pengurus RW tahu risiko hukumnya,” ujarnya.
Kejaksaan memberikan panduan sederhana tapi tegas: setiap transaksi wajib menggunakan rekening atas nama RT atau RW, tidak boleh ada kwitansi kosong, semua bukti transaksi harus diarsipkan, dan laporan keuangan sebaiknya ditempel di papan pengumuman agar warga tahu ke mana uang itu mengalir. Dengan cara itu, prinsip transparansi dan partisipasi warga bisa berjalan beriringan.
Bagi banyak ketua RW, dana hibah Rp100 juta adalah tanggung jawab besar yang datang dengan tekanan mental. Mereka bukan pejabat profesional yang terbiasa menyusun laporan keuangan, tapi warga biasa yang kini harus belajar menjadi bendahara publik dalam waktu singkat.
Di sisi lain, mereka juga harus berhadapan dengan ekspektasi warga. Banyak yang ingin pembangunan cepat terlihat, sementara proses administrasi menuntut kehati-hatian dan waktu. Beberapa RW bahkan sudah membuat timeline kerja bersama para RT, lengkap dengan pembagian tugas dan pelaporan bulanan. Di sejumlah tempat, papan informasi anggaran sudah mulai terpasang tanda kecil bahwa transparansi mulai tumbuh dari tingkat akar rumput.
Namun disisi lain, ada sejumlah RW yang mencoba memainkan anggaran tersebut, dengan cara menaikan harga belanja barang untuk kepentingan pribadi maupun kelompok. Kondisi ini harus mendapat perhatian dari seluruh pihak agar dana hibah tersebut bisa dimanfaatkan dengan bijak.
Kini para ketua RW di Bekasi belajar memahami bahwa uang publik bukan sekadar dana pembangunan, melainkan amanah yang mengandung risiko hukum. Setiap tanda tangan mereka di atas kwitansi, setiap kuitansi yang tak lengkap, bisa menjadi pintu menuju ruang interogasi..
Program Penataan RW Bekasi Keren sejatinya menjadi kesempatan berharga untuk membuktikan bahwa pembangunan bisa dimulai dari tingkat paling bawah dari tangan warga sendiri. Namun keberhasilan program ini hanya akan nyata bila pengelolaannya dilakukan dengan jujur, disiplin, dan transparan.
Dalam konteks itu, para ketua RW bukan sekadar pengurus lingkungan. Mereka kini berdiri di garda depan integritas publik menimbang antara keinginan membangun dan kewajiban menjaga Amanah. (sur)