Otot Kuat

13 hours ago 12

Oleh: Dahlan Iskan

Bukan baru sekarang ini menantu Pak Iskan itu kesakitan (lihat  Disway: Empati Wanita). Pun delapan tahun lalu. Yakni ketika operasi lutut kanan. Tempurung kanan diganti made in Germany. Itulah salah satu yang membuat menantu Pak Iskan itu tidak pernah mau lagi operasi yang kiri. Dia tahu sakitnya seperti apa.

Tapi kian tahun lutut kiri itu kian sakit. Sampai pincang. Meringis. Kesakitan. Tiap hari menahan ngilu. Ketika Perusuh Disway kumpul di DIC Farm, dia hanya bisa masak lima jenis menu. Itu pun sambil menahan nyeri tiada henti.

Sebenarnya, enam bulan lalu,  dia sudah termakan rayuan suaminyi: mau operasi yang kiri. Dia tahu, meski operasi yang kanan dulu sakitnya bukan main, tapi akhirnya berhasil. Ketika yang kiri mulai sakit, yang kanan itu jadi andalan. Apalagi ketika yang kiri kian parah.

Saat lutut kanan dioperasi dulu, sebenarnya yang kiri juga sudah sakit. Tapi masih level dua. Tunggu menjadi level tiga atau empat. Begitu sakitnya mencapai level empat mau tidak mau harus operasi. Tapi dia mencoba bertahan. Tunggu sampai level lima –padahal tidak ada istilah level lima dalam ilmu kedokteran orthopedi.

Level lima itu pun tiba. Berbagai pengobatan sudah dicoba. Tidak berhasil.

“Ya sudah, operasi”, katanyi.

Saya pun bikin janji dengan dokter Dwikora yang kini sudah profesor doktor. Dr Dwikora-lah yang dulu mengoperasi lutut kanan. Menantu Pak Iskan itu pun masuk rumah sakit. Sudah bawa kopor. Saya juga sudah bawa bahan bacaan: ikut bermalam di rumah sakit. Besoknya, pagi-pagi, dijadwalkan operasi lutut kiri.

Tak lama setelah masuk rumah sakit dilakukanlah pemeriksaan: gula darahnyi di atas 300. Terlalu tinggi untuk operasi besar. Berisiko. Operasi pun dibatalkan. Dokter minta agar gula darah itu diturunkan dulu. Dokter memberi waktu tiga bulan.

Malam itu kami tidak jadi bermalam di rumah sakit. Kopor dan bacaan ikut pulang. Menantu Pak Iskan pun kelihatan agak senang: tidak jadi operasi.

Tiga bulan pun berlalu.

Gula masih tetap tinggi.

Teman-temannyi bercanda: sengaja dijaga tetap tinggi agar tidak operasi.

Tiba-tiba, pekan lalu dia memberi tahu saya: “anak laki-laki kita akan operasi lutut. Tanggal 12 Desember”.

Lutut si anak pernah dioperasi, 20 tahun lalu. Itu karena cedera berat saat main sepakbola. Dipasanglah dua sekrup di tulutnya. Kini skrup itu sudah waktunya dilepas. Sekalian ganti tempurung. Made in Amerika.

Itu anak kesayangannyi.

“Ibu bersama-sama saya saja operasi lutut,” kata si anak kepada ibunya.

Besoknya sang ibu bicara pada suaminyi. “Saya mau kalau operasinya sama-sama ….”, ujarnyi seraya menyebut nama anaknyi itu.

Maka diputuskan mendadak: tanggal 11 Desember sang ibu operasi. Tanggal 12 Desember, esoknya, giliran sang anak. Di rumah sakit yang sama: RS Orthopedi Surabaya.

Dokternya sama: Theri Effendy. Alumnus Unair Surabaya. Murid Prof Dr Dwikora. Umurnya baru 45 tahun. Ganteng. Athletis.

Theri memang olahragawan: gila sepeda. Hampir selevel dengan anaknya menantu Pak Iskan. Hubungan mereka bukan lagi seperti dokter dan pasien. Sudah seperti di film Hate and Love –saya lupa apakah benar-benar ada film dengan judul itu.

Si anak menjalani operasi tanpa mengeluh sakit. Di hari kedua setelah operasi, si anak sudah latihan jalan. Sehari setelah operasi itu ia sudah bisa ke kamar sebelah: menengok ibunya –meski masih pakai alat bantu empat kaki itu.

Mungkin karena ditengok anak, sang ibu merasa lebih bersemangat. Sore harinya, ketika sang ibu menjalani fisioterapi tidak mengeluh sakit lagi.

Apalagi ketika melihat si anak di hari ketiga sudah latihan naik tangga. Sang ibu terlihat begitu termotivasi. Dia pun melakukan fisioterapi lanjutan dengan senyuman.

Saya pun bertanya kepada anaknya menantu Pak Iskan itu: mengapa Anda, di hari kedua, sudah latihan berjalan, dan di hari ketiga sudah bisa latihan naik tangga.

“Karena otot-otot kaki saya kuat,” ujar Presiden Persebaya itu. “Saat operasi dilakukan, otot kaki saya dalam kondisi terkuat sejak Covid-19,” tambahnya.

Itu karena tiap hari ia naik sepeda. Setidaknya 150 km. Sesekali 250 km. 300 km. Agustus lalu bahkan 1500 km –dari Merak, menyusuri pantai selatan Banten, pantai selatan Jabar, Jateng, Pacitan, Lumajang sampai Banyuwangi.

Sudah pernah pula ia naik sepeda dari Surabaya sampai Labuhan Bajo. Sudah biasa ikut event sepeda di Amerika, Italia, sampai Barcelona.

Sang anak punya otot kaki yang sangat kuat. Si ibu punya gula darah setinggi 300.

Ibunya itu sebenarnya juga sering pergi. Jurusannya yang beda: tengkleng di Solo, sate kambing di Tegal, dan Pagi Sore di PIK Jakarta.

Dengan lutut barunyi nanti –made in Germany di kanan dan made in Amerika di kiri– dia akan uji coba perjalanan pertamanyi ke Makkah. (Dahlan Iskan)

Read Entire Article
Tenaga Kerja | | | |