RADARBEKASI.ID, BEKASI – Di tengah tekanan sosial dan ekonomi yang terus mencekik masyarakat, sorotan publik kini tertuju pada wakil rakyat di Kota Bekasi. Tuntutan agar anggota DPRD meninjau kembali besaran tunjangan yang mereka nikmati semakin nyaring terdengar. Namun, jalan menuju evaluasi itu tampaknya tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Permintaan agar DPRD Kota Bekasi berempati terhadap kondisi masyarakat kian menguat, seiring dengan desakan untuk meninjau ulang Peraturan Wali Kota (Perwal) tentang hak keuangan dan administrasi dewan. Bagi publik, keputusan DPR RI memangkas sejumlah tunjangan beberapa waktu lalu menjadi contoh nyata bahwa pengorbanan bisa dimulai dari mereka yang duduk di kursi kekuasaan. Pertanyaannya, apakah DPRD Kota Bekasi siap mengikuti jejak tersebut?.
Wali Kota Bekasi, Tri Adhianto, menyampaikan bahwa Pemkot Bekasi akan terus memantau perkembangan isu ini. Ia menegaskan, pihaknya menunggu terlebih dahulu sikap DPRD Provinsi dan daerah lain sebelum mengambil keputusan.
“Ini kan sudah dimulai dari DPR RI, nanti akan kita lihat dulu sikap dari DPRD Provinsi dan juga tentu akan kita lihat daerah-daerah sekitar,” ungkap Tri.
Menurutnya, tata kelola pemerintahan tidak bisa berdiri sendiri. Setiap keputusan harus berjenjang, mulai dari undang-undang, peraturan gubernur, hingga peraturan daerah. Ia mencontohkan, regulasi tentang hak keuangan DPRD Kota Bekasi terbit pada 2021.
“Saya yakin betul bahwa ini juga dilakukan berjenjang,” ucapnya.
Meski demikian, Tri memastikan Pemkot dan DPRD Kota Bekasi mendengar aspirasi masyarakat.
“Sikap ini tentu akan diambil secara berjenjang oleh yang terhormat, karena ini kan bagian dari pemerintah. Yang jelas, kami berempati dengan kondisi yang saat ini dirasakan masyarakat,” tambahnya.
Pernyataan Tri tersebut seolah menjadi jawaban hati-hati yang lebih bernuansa birokratis daripada konkret. Publik menilai, alih-alih langsung menunjukkan keberpihakan pada warga, sikap menunggu justru berpotensi menunda langkah-langkah empatik yang mendesak dilakukan.
Secara normatif, tunjangan wakil rakyat diatur dalam undang-undang hingga peraturan pemerintah. Regulasi tersebut mengatur jenis dan besaran tunjangan yang diterima. Namun, dalam situasi masyarakat yang serba sulit, persoalannya bukan sekadar soal legalitas, melainkan soal moralitas dan kepekaan.
Peneliti dan pengamat kebijakan publik dari IDP-LP, Riko Noviantoro, menegaskan bahwa tunjangan DPRD tidak serta-merta bisa dihapus. Namun, penundaan pembayaran tunjangan bisa menjadi opsi untuk menunjukkan empati kepada masyarakat.
“Ini soal sensitivitas, soal kepekaan, itu saja,” kata Riko.
Menurutnya, keputusan menunda tunjangan di tingkat kota bisa saja dilakukan lebih dulu, tanpa harus menunggu provinsi. Apalagi, DPR RI sudah memberi contoh dengan memangkas tunjangan.
“Sebagai hak, setiap anggota DPRD juga bisa memilih untuk tidak menerima tunjangan atau fasilitas. Jadi boleh saja sifatnya ditunda sampai kondisi ekonomi masyarakat membaik,” tambahnya.
Pernyataan Riko menggarisbawahi inti persoalan: bukan masalah mampu atau tidak, melainkan mau atau tidak.
Ketua Dewan Pembina Yayasan Marhaen Sejahtera Indonesia (YAMSI), Ricky Tambunan, menilai pemangkasan tunjangan yang dilakukan DPR RI seharusnya mengalir hingga ke DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Ia menilai, empati tidak bisa berhenti di level pusat saja.
“Sudah selayaknya anggota DPRD baik provinsi maupun kota menunjukkan empati atas kondisi masyarakat saat ini. Termasuk DPRD tingkat 2 dan tingkat 1 juga,” ujarnya.
Namun Ricky melihat, keputusan DPR RI sejauh ini masih sebatas wacana. Ia menilai pemangkasan tunjangan seharusnya diputuskan dalam rapat pleno resmi, bukan sekadar pernyataan politik.
“Jadi kalau memang mau mengalir sampai ke tingkat 1 dan tingkat 2, DPR RI membuat keputusan lewat pleno, jangan omon-omon. Supaya teman-teman di tingkat satu dan tingkat dua juga akan ikut itu,” katanya.
Kritik Ricky menunjukkan persoalan klasik politik Indonesia: keputusan strategis sering berhenti pada tataran simbolik, tanpa ada tindak lanjut nyata. Akibatnya, pesan empati yang seharusnya sampai ke masyarakat justru tenggelam dalam keraguan.
Lebih jauh, Ricky menilai pemangkasan tunjangan bisa membawa perubahan positif bagi lembaga legislatif. “Kalau begini jadinya, kembali lah nanti DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten kota ke habitatnya, dia berjuang untuk rakyat,” ujarnya.
Pernyataan tersebut menohok, sebab mengandung kritik tajam: selama ini ada persepsi kuat bahwa banyak orang tertarik menjadi wakil rakyat bukan karena panggilan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, melainkan karena besarnya fasilitas dan tunjangan yang melekat pada jabatan.
Dengan demikian, pemangkasan tunjangan bisa menjadi momentum untuk menyaring siapa yang benar-benar mau mengabdi, dan siapa yang sekadar mencari keuntungan pribadi.
Kini, bola panas berada di tangan DPRD Kota Bekasi. Publik menunggu bukti nyata empati wakil rakyat mereka. Apakah mereka berani mengambil langkah progresif dengan menunda sebagian tunjangan? Atau tetap bersembunyi di balik alasan regulasi berjenjang dan menunggu instruksi dari atas?
Dalam situasi ekonomi yang makin menekan, rakyat tentu berharap DPRD tidak hanya sekadar bersuara dalam forum-forum formal, tetapi juga berani berkorban. Keputusan DPR RI memangkas tunjangan bisa menjadi preseden. Namun, tanpa komitmen kuat dari daerah, kebijakan pusat akan kehilangan makna.
Empati bukan sekadar ucapan, melainkan tindakan nyata. Bagi masyarakat Kota Bekasi, sikap DPRD terhadap isu tunjangan akan menjadi cermin: apakah wakil rakyat benar-benar hadir untuk mereka, atau sekadar menikmati fasilitas di tengah kesulitan rakyatnya sendiri.(sur)