Churchill Jonan

3 hours ago 1

Oleh: Dahlan Iskan

Ignasius Jonan sudah kembali ke Jakarta. Kemarin sore. Itu sudah sesuai dengan harapannya (lihat Disway kemarin: Jantung Jonan).

“Apakah dokter tidak menyarankan Anda berhenti merokok?”

“Saya sudah berhenti merokok. Atas kesadaran saya sendiri,” jawabnya.

Saya pun kaget. Kenapa akhirnya berhenti merokok?

“Gen saya ternyata sangat rentan pada rokok,” jawabnya.

Rupanya Jonan sudah melakukan pemeriksaan yang lagi tren belakangan ini: tes genetika. Di situ akan diketahui makanan apa saja yang cocok dengan gen Anda. Juga apa saja yang sensitif.

“Gen saya rupanya kebalikan dari gennya Winston Churchill,” guraunya.

Saat masih merokok dulu Jonan memang sering menjadikan perdana menteri Inggris itu sebagai tameng. Churchill perokok berat. Tidak mati-mati.

Saya yang tidak pernah merokok pernah putus asa minta Jonan agar berhenti merokok. Saat itu ia jadi dirut PT Kereta Api Indonesia yang sangat sukses. Termasuk dalam menerapkan larangan merokok di stasiun dan di kereta api.

Akhirnya saya pilih membenarkan sikap Jonan tetap merokok itu. Maka saya katakan kepadanya: ”iya sih, tidak ada orang yang lagi merokok meninggal dunia”.

“Justru banyak yang lagi berolahraga tiba-tiba meninggal. Misalnya saat main tenis, bersepeda, atau tersambar petir saat main golf”.

“Kapan Anda berhenti merokok?”

“Tanggal 13 Januari”.

“Tahun lalu?”

“Tahun ini. 13 Januari 2025”.

Hahaha. Itu berarti baru saja. Enam hari sebelum menjalani 4-bypass jantung di Singapura 19 Januari 2025.

“Masih terus minum kopi dengan susu bear brand?”

Seorang mantan staf saya, Mbak Yani, masih ingat saat Jonan, sebagai menteri perhubungan, ke kantor saya. Di tengah pertemuan, seorang staf Jonan bicara dengan Mbak Yani: minta dibikinkan minuman khusus. Yakni kopi Nescafe dengan susu bear brand.

Staf tersebut lantas menyerahkan satu sachet kopi Nescafe dan susu bear brand ke Mbak Yani: tinggal mencampurnya dengan air panas.

“Sudah tidak lagi. Takut kolesterol. Saya punya potensi kolesterol karena bawaan keturunan,” katanya. “Sekarang saya minum kopi dengan oat milk atau soymilk,” tambahnya.

“Sekarang Anda olahraga apa?”

Saya tahu: Jonan seorang pelari maraton. Sudah tidak terhitung berapa kali ia ikut maraton. Sampai pun umur 40 tahun masih maraton. Tapi saya yakin kini ia tidak lagi lari. Umurnya sudah 62 tahun. Sudah terlalu bahaya untuk dibuat lari.

Ternyata Jonan kini pilih olahraga berat: pilates. Yang sampai bergelantungan itu. Jungkir balik itu.

“Saya tidak suka olahraga permainan seperti tenis atau naik sepeda,” katanya.

“Berapa kali seminggu berpilates?”

Seminggu sekali. Tapi serius. Pakai private trainer,” katanya. Selebihnya ia jalan cepat. Seminggu tiga kali. Sampai 7.500 langkah.

Saya tahu Jonan menamatkan SMA-nya di St Louis, Surabaya. Ia juga merasa sangat “Arek Suroboyo”. Tapi baru dari IG-nya kemarin saya tahu bahwa Jonan lahir di Singapura.

“Almarhum ibu saya adalah warga negara Singapura,” ujar Jonan.

Papa Jonan meninggal di usia 67 tahun. Mamanya meninggal di umur 77 tahun. Dua-duanya meninggal karena brain stroke.

Jonan tahu seorang anak yang orang tuanya meninggal karena jantung atau stroke harus rajin memeriksakan kesehatan. Setidaknya setahun sekali. Harus pakai nuclear heart stress test. Itulah sebabnya Jonan tidak melakukan tes dengan menggunakan treadmill.

Saya biasa tes pakai treadmill. Saya bukan Jonan –yang punya riwayat khusus seperti itu.

“Pakai treadmill juga sudah sangat akurat. Juga lebih murah. Standarnya begitu,” ujar dokter Jagaddhito Probokusumo, ahli jantung yang kini lagi memperdalam ilmu jantung di Rizhao International Heart Hospital, Shandong, Tiongkok.

Jonan memang istimewa. Tidak hanya lahirnya yang di Singapura –di RS Paglar Maternity House, sekarang Parkway Hospital. Dokter yang mengeluarkan surat kelahirannya pun istimewa: dr Benjamin Sheares. Anda sudah tahu siapa Shearers: presiden kedua Singapura.

Akhirnya ada juga seorang pemberani yang takut merokok lagi. Ia bernama Jonan. Bukan Churchill.(Dahlan Iskan)

Read Entire Article
Tenaga Kerja | | | |