Oleh: Dahlan Iskan
Saya suka makan Pecel Madiun. Di Madiun maupun di Surabaya. Di Suabaya, Mbak Naning adalah langganan saya. Juga pecel Bu Kus. Motto pecel Bu Kus sangat baiknya: ”Dari Tradisi untuk Masa Kini”. Saya makan pecel Bu Kus pekan lalu. Di Polda Jatim. Dikemas dalam kotakan. Modern sekali kemasannya. Tradisional sekali rasanya.
Setelah Idulfitri kemarin saya juga baca iklan kosmetik yang menggelitik: ”Hati Sudah Bersih, Waktunya Membersihkan Kulit”. Pasti itu iklan skin care yang dikaitkan dengan selesainya bulan puasa penebusan dosa.
Lalu, dua hari lalu, di Wuhan, Tiongkok, kami menemukan tekad dari sebuah perusahaan bebek di sana: Menduniakan bebek dan Membebekkan Dunia.
Di Wuhan, setelah ke pabrik mobil tanpa pengemudi, kami memang berkunjung ke pabrik bebek. Inilah pabrik bebek terbesar di dunia. Pabriknya sampai 120 hektare.
Namanya: Zhou Hei Ya.
”Hei Ya” artinya ”bebek hitam”. ”Zhou” diambil dari nama pemiliknya: bermarga Zhou.
Kami beruntung. Pendiri, pemilik, sekaligus CEO Zhou Hei Ya menyambut kedatangan kami. Orangnya gempal, kepalanya hampir tidak berambut, pakai kaus lengan pendek seperti saya. Sepatunya kets. Umurnya sekitar 50 tahun.
“Orang yang berbisnis makanan itu harus berhati baik,” ujarnya. “Kalau tidak berhati baik tidak akan sukses,” tambahnya.
Banyak filsafat bisnis yang dikemukakan kepada kami di kunjungan itu. Misalnya, “berbisnis itu jangan semata mengejar keuntungan”.
Makanan, menurut Mr Zhou, tidak mengenal negara, suku, agama, golongan. Apa pun agamanya, orang harus makan. Maka, seharusnya, makanan bisa menjadi pemersatu bangsa.
“Saya ingin makanan Tiongkok diterima di seluruh dunia. Dan makanan dari seluruh dunia bisa diterima di Tiongkok,” katanya.
Meski pabrik bebek ini terbesar di dunia, ia tidak punya peternakan bebek. Bebek-bebek itu dipasok oleh pemasok dari wilayah sekitar Wuhan.
Pabrik bebek tinggal menerima bebek sudah dalam keadaan dipotong dan dibersihkan. Sayap sudah dikumpulkan sesama sayap. Leher sesama leher. Ceker sesama ceker.
Sampai di pabrik potongan bebek itu dicuci lagi dengan air steril. Pakai mesin. Dipotong-potong lagi menjadi lebih kecil. Pakai mesin. Direbus dengan bumbu. Pakai mesin. Dikemas. Pakai mesin. Didistribusikan ke seluruh negara. Juga diekspor. Belum sampai Indonesia tapi tinggal tunggu waktunya.
Seluruh mesinnya terbuat dari stainless steel. Sampai pun ke parit-paritnya. Pabrik ini mencapai kebersihan dan kesehatan setingkat dengan pabrik farmasi.
Mr Zhou sebenarnya orang Chongqing. Ia hanya tamat SD. Umur 19 tahun bekerja membantu kakaknya yang jualan bebek. Setahun kemudian Zhou merantau ke Wuhan. Usaha bebek sendiri. Jarak Chongqing-Wuhan seperti Jakarta-Surabaya.
Wuhan memang terkenal dengan populasi bebeknya. Provinsi Hubei –Wuhan ibu kotanya– termasuk kaya air. Sungai terpanjang ketiga di dunia melewati Wuhan: Changjiang. Ada 120 danau di situ. Bebek berkembang baik karena banyak air.
Begitu banyak kisah sukses industri makanan di Tiongkok. Bebek Zhou Hei Ya salah satunya. Sudah go public di pasar modal Hong Kong.
Sebelum pulang saya membeli satu bungkus sayap. Ketika bungkus itu saya buka, isinya bungkusan-bungkusan kecil. Satu bungkus satu sayap. Dengan demikian kalau hanya ingin makan satu sayap, sayap-sayap yang lain masih terjaga steril di dalam bungkusnya masing-masing.
Saya menyukai rasanya. Lidah Indonesia tidak terlalu asing pada rasa itu. Memang delapan macam bumbu dipakai merebus bebek itu. Beberapa di antaranya sudah kita kenal. Misalnya cengkih dan kayu manis. Bahkan cengkihnya dari Indonesia.
Kalau misalnya disandingkan, pilih mana: bebek Zhou Hei Ya dari Wuhan atau bebek Sinjai dari Bangkalan, Madura. Saya masih pilih bebek Sinjai.
Tapi sebenarnya tidak bisa dibanding-bandingkan begitu. Bebek Sinjai untuk lauk makan nasi. Bebek Zhou Hei Ya untuk camilan.
Bedanya lagi, seterkenal bebek Sinjai masih tetap mempertahankan cara dan gaya penyajian lamanya.
Zhou Hei Ya sudah sudah mengubah bebek dari sekadar lauk menjadi makanan ringan. Untuk lauk hanya dipakai makan dua kali. Sebagai camilan bisa dimakan kapan saja, sampai mulutnya lelah.
Dari Wuhan kami ke Chongqing. Naik pesawat. Ke arah lebih pedalaman lagi. Penerbangannya 1,5 jam.
Salah satu acaranya: ke pameran makanan. Khususnya makanan hot pot. Chongqing memang dikenal sebagai Makkah-nya hot pot. Dari sinilah makanan hot pot lahir. Merambah Tiongkok lalu mendunia.
Salah satu resto hot pot di Chongqing baru didirikan tahun 1997. Kini sudah mendunia. Bukan hanya restonya tapi juga bumbunya. Begitu restonya ngetop mulailah bikin pabrik bumbu. Jualan bumbu.
Waini sudah punya 300.000 outlet. Begitu cepatnya berkembang.
Pecel Madiun bisa seperti itu. Sekalian memperbaiki standarnya. Cabe mentah di pecel Madiun memang membuat rasanya asli, tapi tidak akan bisa disimpan lama. Akan berjamur. Bahaya. Kelemahan itu harus diatasi.
Harus ada juga upaya untuk menghilangkan keraguan konsumen akan kualitas kacang tanahnya. Sudah waktunya ada pecel Madiun yang memberikan garansi: kacang tanah yang dipakai merupakan kacang pilihan. Tidak tercampur kacang busuk atau setengah busuk.
Dokter sering mengingatkan bahaya aflatoksin yang ada di kacang tanah yang seperti itu. Pecel harus bebas aflatoksin. Hanya modernisasi yang bisa menghilangkannya.
”Dari tradisi untuk masa kini” harusnya sudah tidak lagi berhenti sebagai tulisan di kemasan.(Dahlan Iskan)