Suhu 37 Derajat, Siang di Bekasi Terasa Seperti Berada di Dalam Oven

2 weeks ago 27

RADARBEKASI.ID, BEKASI — Siang di Bekasi kini terasa seperti berada di dalam oven raksasa. Dalam sepekan terakhir, suhu udara melonjak hingga 37,6 derajat celsius, menyengat sejak pagi hingga sore, memaksa warga menyesuaikan ritme hidup di tengah panas ekstrem yang tak biasa.

Tasya (30), guru di salahsatu SMP swasta di Bekasi Selatan, mengaku hampir setiap jam harus membasuh wajah dengan air dingin.

“Sekolah kami belum pakai AC, cuma kipas angin. Tapi angin panas juga, nggak banyak membantu,” ujarnya, Kamis (16/10).

Dengan seragam yang lengket oleh keringat, Tasya tetap mengajar sambil menahan rasa gerah yang tak kunjung hilang.

Ia mulai merasakan perubahan suhu sejak awal Oktober. Namun, dalam seminggu terakhir, panas terasa berbeda lebih tajam, menyengat, bahkan menyesakkan.

“Jam sebelas sampai jam tiga siang, itu udah kayak puncak neraka kecil,” candanya getir.

Malam hari pun tak memberi banyak kelegaan. Meski suhu menurun, rasa pengap tetap terasa menekan. “Malam nggak sepanas siang, tapi kayak nggak ada udara. Pakai kipas tetap gerah,” keluhnya.

Data cuaca menunjukkan keluhan itu bukan tanpa alasan. Rabu (15/10) siang pukul 14.13 WIB, suhu di wilayah Bekasi Timur tercatat 32 derajat celsius dengan kelembaban 61 persen. Malam harinya, suhu turun ke 27 derajat celsius, tapi kelembaban melonjak hingga 83 persen membuat udara semakin pengap.

Warga lain, Eka (27), mengatakan hujan sempat mengguyur sebagian wilayah Bekasi pada Rabu malam.

“Sempat hujan, tapi abis itu malah gerah banget. Udara kayak nempel di kulit,” katanya.

Fenomena panas ekstrem ini bukan hanya terjadi di Bekasi. Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Guswanto, menjelaskan bahwa suhu tinggi di wilayah selatan Indonesia, termasuk Bekasi, disebabkan oleh gerak semu matahari yang sedang berada di selatan ekuator.

“Intensitas radiasi meningkat, sementara pembentukan awan berkurang karena pengaruh Monsun Australia yang membawa massa udara kering dan hangat,” paparnya.

BMKG memprediksi kondisi ini akan berlangsung hingga akhir Oktober atau awal November. “Ini juga masa pancaroba, perubahan dari musim kemarau ke musim hujan. Suhu udara bisa sangat tidak menentu,” tambahnya.

Namun, di tengah langit yang nyaris tanpa awan, ancaman terbesar bukan hanya rasa gerah, melainkan risiko kesehatan. Dokter Rahma Indah Permatasari, Direktur RS Kartika Husada Jatiasih, menjelaskan bahwa suhu di atas 35 derajat celsius dapat menyebabkan tubuh kehilangan kemampuan menstabilkan panas.

“Kalau tidak diantisipasi, suhu tubuh bisa naik sampai 40 derajat celsius. Itu sudah darurat medis dan berisiko kematian,” tegasnya.

Gejala awal yang sering diabaikan antara lain dehidrasi, kelelahan, stres, sulit konsentrasi, jantung berdebar cepat, hingga kulit memerah.

“Tubuh masih bisa beradaptasi pada suhu di bawah 30 derajat celsius. Tapi di atas 35 derajat celsius, apalagi dengan kelembaban tinggi, keringat sulit menguap, sehingga panas tubuh tertahan,” jelas Rahma.

Ia menyarankan warga untuk memakai topi atau payung saat beraktivitas di luar, mengenakan pakaian warna terang, dan tabir surya SPF minimal 30 untuk melindungi kulit dari sinar ultraviolet.

“Hindari juga berjalan di permukaan panas seperti aspal atau beton yang memantulkan cahaya,” tambahnya.

Rahma juga menekankan pentingnya asupan cairan. “Minum air putih 2–3 liter per hari, bisa ditambah 500–1.000 ml jika sering di luar ruangan,” ujarnya.

Selain itu, konsumsi buah dan sayur tinggi air, kurangi makanan berlemak dan pedas, serta hindari kopi dan minuman berkafein yang bisa mempercepat dehidrasi.

Sekretaris Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bekasi, Fikri Firdaus, menegaskan hal senada.

“Kalau cuaca panas seperti ini, kuncinya satu: jangan sampai dehidrasi,” katanya. Menurutnya, tanda paling mudah dikenali adalah warna urine. “Kalau sudah lebih gelap dan jumlahnya sedikit, artinya tubuh kekurangan cairan.”

Di berbagai sudut kota, warga berusaha mencari cara bertahan. Pedagang kaki lima menggantungkan kain basah di depan gerobak untuk mengurangi panas.

Sopir ojek online memilih berteduh di bawah jembatan layang sambil meneguk air mineral. Di taman kota yang sepi, daun-daun tampak layu diterpa terik yang memantul dari beton.

Sementara itu, langit Bekasi siang ini tampak keperakan, tanpa awan, dan matahari seolah tak mengenal jeda. Bagi sebagian warga, panas ini adalah ujian kecil yang harus dilalui; bagi yang lain, tanda nyata bahwa iklim kian tak menentu.

BMKG mengingatkan, gelombang panas di perkotaan seperti Bekasi bisa lebih menyengat karena efek urban heat island—pemantulan panas dari gedung, aspal, dan minimnya ruang hijau.

“Bekasi butuh lebih banyak pohon ketimbang beton,” ujar Guswanto, menutup penjelasannya.

Di tengah suhu 37 derajat celsius yang membuat napas terasa berat, warga Bekasi hanya bisa berharap: semoga hujan datang bukan sekadar setetes, tapi cukup untuk menyejukkan kota yang kini serasa di panggang matahari.(sur)

Read Entire Article
Tenaga Kerja | | | |