RADARBEKASI.ID, BEKASI – Kebijakan terkait jumlah siswa dalam satu rombongan belajar (rombel) atau kelas pada tahun ajaran 2025/2026 menjadi sorotan. Pasalnya, kebijakan ini dinilai berpotensi menurunkan kualitas pendidikan karena jumlah siswa per kelas ditetapkan melebihi batas maksimal yang diatur dalam Permendikbudristek Nomor 47 Tahun 2023.
Isu ini mencuat setelah Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi (KDM), menerbitkan Keputusan Gubernur Nomor 463.1/Kep.323-Disdik/2025 tentang Petunjuk Teknis Pencegahan Anak Putus Sekolah. Dalam aturan tersebut, sekolah jenjang SMA/SMK diperbolehkan menerima hingga 50 siswa per kelas.
Padahal, Permendikbudristek hanya mengizinkan maksimal 36 siswa per rombel untuk jenjang SMA/K. Kondisi serupa juga terlihat di Kota Bekasi. Melalui Keputusan Wali Kota Nomor 400.3/Kep.245-Disdik/V/2025, daya tampung per rombel ditetapkan 20 siswa untuk TK, 32 siswa untuk SD, dan 44 siswa untuk SMP, semuanya melebihi ketentuan pusat.
Pengamat Pendidikan, Imam Kobul Yahya jumlah siswa melebihi batas maksimal yang ditentukan oleh pemerintah pusat akan membuat pembelajaran di kelas berjalan tidak efektif. Akibatnya, hasil pembelajaran yang dicapai oleh siswa tidak maksimal.
“Kalau dia untuk TK itu kan ada guru utama dan ada guru pendamping yang mengawasi di belakang, itu bisa. Tapi kalau SD, SMP, SMA kan tidak ada guru pendamping, jadi memang tidak akan efektif,” ungkapnya.
Terkait dengan kualitas siswa, ia melihat penurunan sudah terjadi sejak diterapkannya kurikulum 2013, dimana tidak ada siswa tidak naik kelas dan tidak lulus di setiap jenjang pendidikan.
Aspek lain yang menjadi perhatiannya ialah tidak terpenuhinya rasio luas ruang kelas minimal 2 meter persegi per siswa. Tidak ada ruang kelas yang mampu memenuhi rasio ruang kelas tersebut dengan jumlah 50 siswa. Ruang kelas akan bertambah padat memuat 50 siswa.
“Saat ini anggaplah 6 baris ke samping 6 baris ke belakang, jadi pas 36. Nanti akan menjadi sempit karena ditambah satu baris lagi, 6 baris kesamping 8 baris ke belakang atau 8 baris kesamping 6 baris ke belakang ditambah dua siswa paling belakang jadi 50,” paparnya.
Ia pun mengkhawatirkan dampaknya terhadap sekolah swasta. Ketika minat masyarakat terhadap sekolah negeri tinggi, sekolah swasta akan kesulitan mendapatkan siswa baru.
Berdasarkan ketentuan Permendikdasmen Nomor 3 tahun 2025, Imam menyebut kebijakan tersebut bisa diambil oleh pemerintah daerah baik Kota Bekasi maupun Provinsi Jawa Barat.
Dalam peraturan tersebut, pemerintah daerah diminta untuk menghitung rasio antara jumlah potensi siswa yang akan mendaftar di jenjang pendidikan tertentu dengan daya tampung sekolah di masing-masing kecamatan.
“Saat masih banyak sisa itu harus dipenuhi. Contoh di Kota Bekasi itu makanya bisa muncul 44 siswa per kelas, padahal dia maksimal 32 (jenjang SMP),” tambahnya.
Pemerintah tidak boleh memaksakan hal tersebut, kata dia, termasuk dengan alasan putus sekolah. Lebih baik, pemerintah menggratiskan siswa yang tidak tertampung di sekolah negeri bersekolah di swasta, dengan cara dibiayai oleh pemerintah.
Dengan catatan, sekolah swasta tersebut mampu memenuhi standar kualitas yang ditetapkan oleh pemerintah. Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi menanggapi isu ini, jumlah 50 siswa per rombel ialah batas maksimal.
“Hari ini ramai memperbincangkan kebijakan Gubernur, bahwa sekolah maksimal bisa menerima siswa 50 orang, kalimatnya maksimal artinya bisa dalam kelas itu 30, bisa 35, bisa 40,” katanya.
Kebijakan ini diambil lantaran masih banyak anak putus sekolah di Jawa Barat akibat tidak diterima di sekolah negeri. Penyebab lainnya ekonomi orangtua yang terbilang rendah, bahkan tidak mampu membiayai ongkos sekolah yang terlalu mahal karena jauh dari sekolah.
Kebijakan 50 siswa dalam satu kelas ini disebut hanya sementara. Pemerintah Provinsi Jawa Barat akan membangun ruang kelas baru. Sehingga sekolah bisa kembali menurunkan jumlah siswa kembali menjadi 30 hingga 35 orang.
“Daripada anak Jawa Barat tidak sekolah ya lebih baik sekolah, walaupun di sekolah tersebut kelasnya 50. Itu kelasnya 50 awal, karena nanti di tahun ajaran berikutnya di semester berikutnya pemerintah Jawa Barat pasti membangun ruang kelas baru,” ungkapnya.
Dedi menyebut dirinya memiliki tanggung jawab terhadap pendidikan anak di Jawa Barat. Sehingga pemerintah provinsi harus bisa memfasilitasi anak-anak di Jawa Barat tetap mengenyam pendidikan sebagaimana amanat undang-undang.
Sementara di Kota Bekasi, daya tampung setiap jenjang pendidikan termasuk 44 siswa per rombel di SMP negeri telah diputus berdasarkan kajian, serta telah mendapatkan persetujuan dari Balai Besar Penjaminan Mutu Pendidikan (BBPMP).
“44 rombel ini agar memberikan peluang aksesibilitas terhadap warga masyarakat yang ingin melanjutkan ke jenjang SMP,” kata Sekretaris Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Bekasi, Warsim Suryana.
Ia juga meyakini 44 siswa per rombel ini tidak akan menutup peluang sekolah swasta dalam mendapatkan siswa. Pasalnya, sekalipun seluruh SMP negeri menerima 44 siswa per rombel, jumlah itu hanya menampung 48 persen lulusan SD sederajat.
Selain itu, Warsim juga menegaskan tidak ada penambahan rombel setelah SPMB berakhir. Jumlah siswa dan rombel di tiap sekolah kata dia, telah terkunci oleh Data Pokok Pendidikan (Dapodik).
“Tidak ada jalur offline, tidak ada peluang untuk tahapan-tahapan berikutnya,” tegasnya.
Sekretaris Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) Kota Bekasi, Ayung Sardi Dauly menyampaikan bahwa Forum Komunikasi Kepala Sekolah (FKKS) Swasta telah mengajukan keberatan terhadap kebijakan Gubernur Jawa Barat. Kemarin, FKKS SMA/K swasta melaksanakan audiensi dengan Disdik Provinsi Jawa Barat.
“Kalau keputusan itu dijalankan akan sangat merugikan sekolah swasta, artinya dengan kondisi kemarin saja itu kita sudah tidak kebagian siswa, apalagi jumlah siswanya ditambah,” ungkapnya.
Lebih lanjut, di jenjang SMK ia mempertanyakan suasana pembelajaran hingga kegiatan praktik. Sampai dengan saat ini, BMPS memiliki catatan beberapa SMK negeri belum memiliki laboratorium, sedangkan banyak laboratorium yang menganggur di sekolah swasta.
“Ya kita lihat tiga tahun kedepan kualitas yang didapatkan apa?, kalau anak itu belajar di kelasnya 50 orang kemudian cara prakteknya bagaimana,” ucapnya.
Saat ini kata Ayung, sekolah swasta fokus meningkatkan kualitas pembelajaran. Menurutnya, masyarakat akan menilai kualitas pendidikan antara sekolah negeri dan swasta. Senada, pihaknya juga akan melihat kualitas pendidikan di jenjang SMP.
“Kita tidak terlibat apa-apa, kita sudah lepas tangan, kita hanya memantau saja,” tambahnya. (sur)