
Oleh: Dahlan Iskan
BEGITU keras sikap dua negara itu. Tapi begitu cepat mencapai kompromi: USA-RRT. Keduanya begitu cepat sepakat: turunkan tarif impor sama besarnya –sama-sama turun 115 point.
Masa berlakunya pun sudah ditetapkan. Bukan kapan-kapan, tapi langsung tanggal 14 Mei besok. Dunia kaget –kagetnya orang senang.
Dengan masing-masing turun 115 point berarti barang Tiongkok yang masuk Amerika masih dikenakan tarif 30 persen. Sedang barang Amerika yang masuk ke Tiongkok dikenakan tarif 10 persen.
Turun 115 point bukanlah turun. Itu terjun bebas. Apalagi sifatnya masih sementara. Masih akan turun lagi. Tunggu pembicaraan lanjutan.
Mungkin itu berkat negosiasinya berlangsung di negara netral: Swiss.
Mungkin juga karena terjadi di Hari Suci Buddha, Waisak.
Mungkin juga sudah disadari sepenuhnya: tidak ada yang menang dalam perang dagang. Inilah jenis perang yang dua-duanya kalah –seperti orang yang beperkara di pengadilan Indonesia.
Presiden Donald Trump memang sudah memberi isyarat ”turun” sejak delegasi Amerika belum berangkat ke Swiss. Ia bilang, dari 145 persen bisa turun jadi 80 persen. Tapi itu hanya ancar-ancar. Putusan akhirnya, diserahkan sepenuhnya ke menteri perdagangannya. Sang menteri ternyata berani memutuskan 30 persen.
Dari Tiongkok yang memimpin delegasi perundingan adalah Wakil Perdana Menteri He Lifeng. Di Tiongkok, wakil perdana menteri setingkat menko di Indonesia. Tiongkok punya empat wakil perdana menteri.
Amerika kelihatan lebih berkepentingan agar mencapai kesepakatan lebih cepat. Boleh dibilang panik. Kalau toh toko-toko di Amerika kini masih jualan barang itu karena masih punya stok. Mereka sempat menumpuk stok di minggu-minggu terakhir sebelum tanggal kenaikan tarif. Karena itu defisit perdagangan Amerika justru memuncak di bulan April –karena pasar harus menimbun barang.
Sebesar apa pun timbunan terus tergerus. Tiga minggu lagi gudang-gudang mereka akan mulai kosong.
Para ahli di sana menggambarkan: tiga minggu lagi suasana pertokoan akan mirip masa pandemi Covid-19. Barang akan langka. Harga-harga naik. Inflasi.
Bagi Tiongkok yang digelisahkan bukan ketiadaan barang. Tapi berkurangnya pasar bagi pabrik-pabrik yang padat tenaga kerja.
Soal kekurangan kedelai bisa diatasi dengan impor dari Brasil dan Argentina. Tiongkok sudah mendapat kedelai dari Argentina sebanyak 1/3 dari kebutuhannya.
Jadi, meski pun sudah ada kesepakatan tarif baru, belum tentu impor kedelai dari Amerika. Memang jarak perjalanan kapalnya 15 hari lebih lama. Tapi Tiongkok sudah punya ”kapal induk” curah yang akan membuat ”kemahalan” jarak itu terkompensasi dengan banyaknya barang yang diangkut satu kapal.
Siapa sangka kerasnya ”pertempuran” dagang dua negara itu begitu cepat diselesaikan. Melebihi yang awal-awalnya cepat takluk ke Amerika dengan cara bersikap kooperatif.
Sikap melawan dari Tiongkok ternyata lebih ampuh. Mungkin ini ilmu tai-chi: tahu kapan melangkah mundur, bertahan dengan kuda-kuda, dan kapan pula menyerang.
Ini seperti tai-chi lawan tinju.
Saya, yang tidak bisa tai-chi maupun tinju, pernah dapat nasihat dari yang ahli berkelahi: harus ingat, salah satu pertahanan terbaik adalah melarikan diri.(Dahlan Iskan)