RADARBEKASI.ID, BEKASI – Warga Bekasi kini memiliki pilihan baru dalam menunaikan ibadah umrah. Setelah pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PIHU), masyarakat kini bisa menjalankan umrah secara mandiri tanpa harus melalui biro perjalanan resmi.
Fenomena “umrah mandiri” ini semakin ramai dibicarakan, terutama di media sosial, di mana banyak jemaah membagikan pengalaman mereka yang lebih fleksibel dari sisi waktu dan biaya. Namun, di balik tren tersebut, muncul berbagai tantangan dan risiko yang tak bisa diabaikan.
Ya, Umrah mandiri memang tampak menarik bagi sebagian masyarakat. Mereka bisa menentukan sendiri jadwal keberangkatan, memilih hotel, hingga mencari tiket pesawat dengan harga lebih hemat. Namun, ibadah umrah bukan sekadar perjalanan wisata religi. Dibutuhkan persiapan matang, mulai dari pengetahuan ibadah hingga kemampuan berbahasa asing.
Ketua Umum Afiliasi Mandiri Penyelenggara Umroh dan Haji (AMPUH), Abdul Azis, menilai kebijakan baru ini berpotensi menggerus peran penyelenggara resmi.
“Pasti berpengaruh. Masyarakat akan banyak berupaya untuk umrahnya dengan caranya sendiri,” ujar Azis.
Menurutnya, legalisasi umrah mandiri tidak adil bagi penyelenggara resmi yang sudah lama mengantongi izin dengan prosedur ketat. Padahal, Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) harus menjaga akreditasi, melapor ke sistem resmi Siskopatuh, dan memastikan jamaah terlindungi secara hukum maupun spiritual.
Azis mendesak agar pemerintah meninjau kembali aturan tersebut atau membuat aturan turunan yang jelas untuk membatasi pelaksanaan umrah mandiri.“Kalau tidak diatur, nanti pengawasan jemaah sulit dilakukan. Jangan sampai muncul penipuan atau jemaah terlantar di luar negeri,” tambahnya.
Bagi masyarakat yang tetap ingin mencoba umrah mandiri, banyak hal yang mesti diperhatikan. Azis menegaskan bahwa visa harus berasal dari syarikah resmi yang diakui oleh pemerintah Arab Saudi. Selain itu, calon jamaah perlu memastikan tiket pulang-pergi, akomodasi, transportasi, dan konsumsi selama berada di tanah suci.
“Oke kalau kondisi normal, tapi kalau pesawat delay, atau ada penipuan tiket, siapa yang tanggung jawab? Itu semua risiko yang harus siap dihadapi,” paparnya.
Hal senada disampaikan Konsultan Senior Haji dan Umrah Naffar Tour, Agus Supriyanto. Ia mengingatkan bahwa mengurus semua kebutuhan sendiri, mulai dari visa, bagasi, transportasi, hingga penginapan, tidak semudah yang dibayangkan.
“Yang sudah pernah mungkin bisa. Tapi bagi yang baru pertama kali umrah, risikonya besar. Bahkan biaya bisa membengkak meskipun awalnya terlihat murah,” katanya.
Menurut Agus, banyak masyarakat tergiur karena mendengar biaya umrah mandiri hanya sekitar Rp22 juta. Padahal, setelah dihitung biaya tambahan seperti transportasi, konsumsi, dan layanan darurat, totalnya bisa lebih mahal dari paket travel resmi.“Selain itu, waktu di Tanah Suci bisa banyak terbuang karena tidak ada jadwal yang efektif,” tambahnya.
Agus menegaskan, aspek terpenting dari umrah bukan hanya teknis perjalanan, melainkan ilmu ibadah itu sendiri. Tanpa bimbingan, jamaah bisa keliru dalam melaksanakan rukun dan tata cara ibadah.
Meski demikian, ia yakin dampaknya bagi penyelenggara resmi tidak akan terlalu besar. “Pasar akan tetap ada bagi jamaah yang menginginkan pendampingan penuh dan kenyamanan,” ujarnya.Di Naffar Tour, biaya umrah dimulai dari Rp25 juta. Setiap bulan, mereka memberangkatkan 80 hingga 120 jamaah dari berbagai kota.
Kebijakan pemerintah ini memang memicu pro dan kontra. Kalangan pelaku usaha travel mengaku terkejut dan khawatir akan kehilangan pangsa pasar besar. Ketua Umum DPP Indonesia Congress and Convention Association (INCCA), Iqbal Alan Abdullah, menyebut Pasal 86 ayat (1) huruf b dalam UU PIHU sebagai pasal yang “mengejutkan dunia usaha”.
“Pasal ini untuk pertama kalinya membuka peluang jamaah melakukan umrah tanpa melalui PPIU berizin. Padahal, sejak dulu, negara menegaskan bahwa penyelenggaraan umrah hanya boleh dilakukan oleh badan usaha resmi yang diawasi pemerintah,” tegasnya.
Iqbal menjelaskan, ribuan pengusaha travel sudah berinvestasi besar, membayar pajak, menjalani sertifikasi, dan menciptakan jutaan lapangan kerja. Jika umrah mandiri dibiarkan tanpa regulasi ketat, maka bukan hanya penyelenggara yang rugi, tetapi juga ekonomi domestik dan ekosistem keumatan.
“Ada sekitar 4,2 juta pekerja yang bergantung pada sektor haji dan umrah,” ujarnya.
Ia menambahkan, munculnya pemain besar seperti Traveloka, Agoda, Tiket.com, Nusuk, hingga Maysan, berpotensi menguasai pasar karena memiliki modal besar dan strategi promosi agresif. “Kalau itu dibiarkan, travel berbasis umat bisa gulung tikar,” kata Iqbal.
Selain persoalan ekonomi, ia menilai potensi penyimpangan ibadah juga meningkat. “Umrah bukan wisata, tapi ibadah mahdhah. Jamaah butuh bimbingan fikih dan pendampingan rohani,” ujarnya.
Ia juga menyoroti kejelasan dua frasa penting dalam undang-undang baru: penyedia layanan dan sistem informasi kementerian.
“Apakah marketplace global juga bisa disebut penyedia layanan? Kalau iya, artinya semua pihak bisa jualan paket umrah ke jamaah Indonesia. Kalau begitu, selesai sudah ekosistem keumatan kita,” paparnya.
Di sisi lain, Sekretaris Jenderal ASPHIRASI sekaligus Direktur Utama PT Hajar Aswad Mubaroq, Retno Anugerah Andriyani, memandang kebijakan umrah mandiri dari sisi berbeda.
Menurutnya, era baru ini justru menjadi peluang bagi industri travel untuk berinovasi dan memperkuat kualitas layanan.
“Umrah bukan perjalanan wisata biasa. Ia membutuhkan pendampingan, edukasi, dan perlindungan penuh. PPIU hadir untuk memastikan jamaah fokus pada ibadah tanpa memikirkan kerepotan teknis,” ujarnya.
Retno menilai, tidak semua jamaah memiliki pemahaman menyeluruh tentang rukun, syarat, dan tata cara ibadah umrah. Karena itu, pendampingan dari pihak profesional tetap sangat diperlukan.“Umrah mandiri tidak berarti travel hilang. Justru ini saatnya kita bertransformasi menjadi konsultan ibadah dan pelindung jamaah,” katanya.
Ia mendorong pelaku usaha untuk mengembangkan layanan berbasis pengalaman jamaah (customer experience), menawarkan fleksibilitas jadwal, serta transparansi biaya yang selama ini menjadi keluhan utama masyarakat.
“Kalau travel bisa lebih profesional, fleksibel, dan adaptif, jamaah akan tetap memilih yang memberi rasa aman dan nyaman,” tutupnya.
Legalitas umrah mandiri memang membuka ruang baru bagi masyarakat untuk lebih bebas merencanakan perjalanan spiritualnya. Namun, kebebasan itu datang dengan tanggung jawab besar memastikan keamanan, memahami rukun ibadah, hingga menghadapi segala risiko secara mandiri.
Bagi sebagian orang, ini adalah peluang kemandirian dan efisiensi. Bagi yang lain, justru sumber kekhawatiran atas hilangnya perlindungan dan bimbingan spiritual yang selama ini disediakan travel resmi.
Di antara dua arus besar itu, satu hal pasti, ibadah umrah tetaplah perjalanan suci yang menuntut kesiapan, ilmu, dan ketulusan hati, bukan sekadar urusan tiket dan visa.(sur/ idr/oni)

1 week ago
21
















































