Tumpukan Sampah di Bekasi Picu Mikroplastik dan Polusi Gas Beracun, Ini Solusinya

2 hours ago 6

RADARBEKASI.ID, BEKASI — Di tengah derasnya hujan yang mengguyur Kota Bekasi akhir-akhir ini, ada sesuatu yang tak kasatmata ikut turun bersama airnya yaitu partikel mikroplastik. Temuan ini menjadi alarm keras bagi pengelolaan sampah yang masih jauh dari kata ramah lingkungan. Dari total timbulan sampah di Kota Bekasi, 15 persen di antaranya adalah plastik, penyumbang kedua terbesar setelah sisa makanan.

Penelitian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sejak 2022 menemukan adanya mikroplastik dalam air hujan di wilayah Jakarta dan sekitarnya — termasuk Bekasi. Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, menyebut temuan tersebut sebagai sinyal bahwa tata kelola sampah nasional, terutama plastik, memerlukan langkah penanganan serius dan sistematis.

Di Bekasi, timbulan sampah tahun 2024 tercatat mencapai 645.426,98 ton, atau sekitar 1.768 ton per hari. Dari jumlah itu, 65,2 persen berupa sisa makanan, sementara 15,6 persen berasal dari plastik. Sisanya campuran kertas, logam, dan limbah rumah tangga lainnya.

Namun, di balik angka itu tersembunyi persoalan besar. Sebagian besar sampah di kota ini berakhir di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang dan TPA Sumur Batu, dua lokasi yang selama ini hanya menumpuk sampah tanpa proses pengelolaan sesuai standar lingkungan.

“Temuan mikroplastik itu bukan hal baru, melainkan akumulasi dari pengelolaan sampah plastik selama bertahun-tahun yang tidak ramah lingkungan,” ujar Sony Teguh Trilaksono, pegiat dan pemerhati lingkungan di Bekasi, Senin (20/10).

Menurutnya, generasi hari ini sedang menanggung beban dari kesalahan masa lalu. Plastik yang tidak terurai selama puluhan tahun kini berubah menjadi partikel mikro yang menyebar di udara, air, bahkan tanah.

“Itu akumulasi, tidak hanya akibat sampah plastik yang sekarang. Sampah lama pun belum terurai sempurna,” tambahnya.

Selain mikroplastik, pengelolaan sampah terbuka (open dumping) juga memicu gas beracun seperti dioksin dan metana. Gas-gas ini tidak hanya mencemari udara, tetapi juga berpotensi menimbulkan masalah kesehatan bagi warga sekitar. Ironisnya, fasilitas dasar seperti buffer zone area penyangga hijau di sekitar TPA nyaris tidak ditemukan di Bekasi.

“Seharusnya ada area penghijauan, tidak boleh ditempati penduduk. Tapi faktanya, rumah-rumah berdiri rapat di sekitar TPA. Itu berisiko tinggi bagi kesehatan warga,” ungkap Sony.
Kondisi ini mencerminkan lemahnya sistem pengelolaan sampah perkotaan. Tak heran jika setiap tahun pemerintah daerah harus mengeluarkan biaya besar hanya untuk mengatasi dampak pencemaran.

“Butuh keputusan radikal, bukan lagi kebijakan gradual,” tegasnya.

Meski begitu, sejumlah langkah mulai dilakukan Pemerintah Kota Bekasi. Salah satunya adalah kewajiban bagi setiap RW memiliki bank sampah, serta pemilahan sampah dari rumah tangga. Selain itu, Pemkot juga menerapkan kebijakan ASN wajib menggunakan tumbler, menggantikan botol air minum sekali pakai.

“Yang dilakukan Wali Kota sudah benar, tapi tantangannya di konsistensi. Jangan sampai masyarakat sudah memilah, lalu petugas pengangkut justru mencampur kembali di truk,” ujar Sony mengingatkan.

Langkah kecil seperti penggunaan tumbler pun kini dijadikan kebiasaan wajib di kalangan aparatur sipil negara. Dalam setiap apel Senin pagi, Wali Kota Bekasi Tri Adhianto menegaskan agar ASN membawa wadah minum pribadi.

“Kalau belum terbiasa, memang suka lupa. Karena itu, empat kali ke depan setiap Senin kita wajib bawa tumbler,” katanya.

Kebijakan tersebut merupakan bagian dari gerakan perubahan perilaku, sekaligus respons terhadap kondisi TPA Sumur Batu yang semakin kritis. Gunungan sampah di lokasi itu kini kerap longsor, menimbulkan antrean panjang truk, dan mengganggu pelayanan pengangkutan sampah di permukiman.

Belakangan, pemerintah setempat mempertimbangkan menetapkan status darurat sampah di TPA Sumur Batu. Longsoran di zona 3 dan 6 menyebabkan akses truk sampah terhambat.

“Kami sedang antisipasi agar tidak terjadi penumpukan di wilayah,” ujar Tri.

Ia mengaku penetapan status darurat diperlukan agar Pemkot memiliki dasar hukum memperkuat penanganan, termasuk penambahan alat berat untuk membuka akses dan menata kembali tumpukan sampah. “Langkah ini untuk memulihkan kondisi agar bisa lebih tertata dan aman,” tambahnya.

Selain itu, Bekasi kini bersiap membangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) sebagai solusi jangka panjang. Teknologi ini diharapkan bisa mengubah sebagian besar sampah menjadi energi listrik.

“PLTSa itu bagus dan modern, tapi harus sesuai standar. Kalau tidak hati-hati, justru bisa menimbulkan pencemaran baru,” ujar Sony.

Kota Bekasi memiliki potensi besar karena volume sampah hariannya telah memenuhi syarat untuk operasional PLTSa. Namun, pegiat lingkungan itu mengingatkan bahwa teknologi tidak bisa berdiri sendiri tanpa dukungan sistem manajemen yang transparan dan disiplin.

Sampah plastik memang tampak ringan dan remeh, tapi dampaknya begitu panjang. Dari selokan yang tersumbat, udara tercemar gas metana, hingga mikroplastik yang kini jatuh bersama hujan semuanya hasil dari kelalaian manusia mengelola sisa konsumsi.

Menurut catatan Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), plastik adalah jenis sampah yang paling sulit dikendalikan karena berasal dari berbagai sumber yaitu kemasan makanan, botol minum, kantong belanja, hingga limbah industri.

Kebijakan pelarangan kantong plastik sekali pakai di ritel modern yang sudah diterapkan sejak 2023 memang membawa perubahan. Namun, distribusi plastik dari pasar tradisional dan aktivitas rumah tangga tetap tinggi.

Tantangan Bekasi hari ini bukan hanya menumpuknya sampah, tetapi juga kesadaran masyarakat yang masih rendah. Tanpa perubahan pola pikir, berbagai teknologi dan kebijakan hanya menjadi upaya tambal sulam.

Mikroplastik di udara dan air hujan kini menjadi saksi betapa rapuhnya sistem pengelolaan lingkungan kita. Ia adalah serpihan kecil dari masalah besar yang lahir dari perilaku manusia sendiri.

Bekasi, seperti banyak kota lain di Indonesia, kini berdiri di persimpangan: terus menimbun dan menyesal, atau berbenah dan memulai perubahan nyata. Sebab, di balik setiap kantong plastik yang dibuang sembarangan, ada masa depan bumi yang perlahan ikut terkubur.(sur)

Read Entire Article
Tenaga Kerja | | | |