Oleh: Raga Prabuana*
Jika kita masih melindungi satwa liar secara sektoral, maka kita sedang menyodorkan ruang untuk kejahatan yang sistematis. Perlindungan satwa butuh sistem, bukan sekadar semangat.
Indonesia adalah surga keanekaragaman hayati dunia. Ironisnya, Indonesia juga menjadi salah satu negara dengan tingkat ancaman tertinggi terhadap satwa liar.
Ribuan kasus perburuan dan perdagangan satwa liar masih terjadi setiap tahun. Dari lorong pasar gelap hingga jaringan digital global, satwa liar Indonesia menjadi komoditas yang
diperdagangkan secara brutal.
Yang menyedihkan, banyak kasus ini justru lolos dari pantauan, atau hanya ditindak setengah hati. Mengapa? Karena kita masih bekerja dalam silo, terkotak-kotak dalam tugas sektoral.
Pada awal 2024, Ditjen Gakkum KLHK bersama Polda Metro Jaya mengungkap kasus penjualan Kukang Jawa (Nycticebus javanicus) di marketplace daring. Satwa dilindungi itu diperdagangkan secara bebas melalui akun Instagram dan WhatsApp, dan dijual seharga Rp500.000–Rp1 juta per ekor.
Mirisnya, transaksi dilakukan di tengah Kota Bekasi, dan pembeli berasal dari kalangan muda yang menganggap kukang sebagai “hewan lucu untuk konten”.
Tak lama berselang, 40 ekor burung paruh bengkok, termasuk Kakatua Maluku dan Nuri Bayan, disita Balai Karantina dan Bea Cukai Tanjung Perak, Surabaya. Satwa
tersebut rencananya akan diselundupkan ke luar negeri melalui jalur laut dalam kondisi
mengenaskan, dikurung dalam pipa paralon.
Lalu, viral juga video di media sosial yang memperlihatkan seekor Trenggiling dijadikan mainan anak-anak di sebuah desa, bahkan ditertawakan saat menggulung tubuhnya karena ketakutan.
Tiga kasus itu saja cukup untuk menggambarkan satu hal: satwa liar di Indonesia sedang berada di ujung tanduk. Dan cara kita melindunginya masih terlalu lemah dan terkotak.
Satwa Terancam dari Berbagai Arah
Perburuan liar bukan hanya terjadi di dalam hutan, tapi dimulai dari data lapangan yang bocor, pemetaan habitat yang tidak dilindungi, hingga pembiaran oleh oknum.
Perdagangan satwa juga bukan sekadar pasar tradisional, tetapi kini lebih canggih: dikirim lewat ekspedisi, dipromosikan lewat TikTok, dijual lewat grup Telegram, atau disamarkan sebagai “konten lucu”.
Banyak satwa liar seperti Kukang, Elang Jawa, Trenggiling, Macan Dahan, hingga burung- burung endemik diburu secara sistematis. Mereka dipelihara, dijual, atau dibunuh hanya demi keuntungan sesaat. Dan dalam banyak kasus, penanganannya baru dilakukan
setelah viral.
Apakah ini berarti negara tidak hadir? Tidak. Tapi negara hadir terlambat dan tersekat. KITA PERLU PENDEKATAN LINTAS SEKTOR.
Pemerintah pusat memang memiliki instrumen hukum. KLHK, BKSDA, hingga Gakkum
telah bekerja keras. Tapi mari kita jujur: kekuatan mereka terbatas.
Indonesia terlalu luas, jaringan pelaku terlalu banyak, dan teknologi pelaku kejahatan satwa semakin canggih. Inilah saatnya mengubah pendekatan menjadi lintas sektor.
Komunitas Pemerhati Polisi Satwa (PPS) memandang, perlindungan satwa liar harus melibatkan banyak institusi, di berbagai level: – KLHK dan BKSDA sebagai pemegang mandat konservasi. Polri dan Ditjen Gakkum untuk penindakan hukum. Karantina dan Bea Cukai untuk pengawasan lintas wilayah dan ekspor-impor. Kominfo untuk memberantas konten eksploitasi satwa di media sosial. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan untuk menjamin kondisi satwa dalam proses hukum. Pemerintah daerah (Pemda, Satpol PP) untuk deteksi dini dan tindakan langsung di wilayah. Perguruan tinggi dan komunitas ilmiah untuk riset, edukasi, dan kaderisasi. Komunitas pecinta satwa dan LSM untuk pelaporan akar rumput dan rehabilitasi.
PPS, Simpul Gerakan Bersama
Sebagai organisasi yang berada di tengah masyarakat dan relawan konservasi, Pemerhati Polisi Satwa (PPS) hadir untuk mendorong kolaborasi ini.
Kami tidak sedang mencari panggung. Kami ingin membangun sistem. Sistem pelaporan masyarakat yang terhubung. Sistem advokasi hukum satwa yang menjangkau kampus dan media.
Sistem rehabilitasi dan konservasi berbasis komunitas. Dan untuk semua itu, kita butuh teman seperjuangan lintas sektor.
PPS mengelola lahan konservasi, mengembangkan program edukasi, dan merancang kurikulum advokasi hukum satwa bersama kampus.
Kami ingin mengundang universitas, aparat, dan lembaga negara untuk ikut serta dalam gerakan bersama ini.
Sedikitnya ada lima alasan mendesak, mengapa kerja sama lintas sektor bukan lagi pilihan, tapi keharusan:
1. Modus kejahatan terhadap satwa sudah lintas sektor, maka penanganannya pun
harus lintas sektor.
2. Masyarakat masih bingung ke mana harus melapor karena belum ada kanal terpadu antar-instansi.
3. Banyak pelanggaran tidak masuk ke jalur hukum karena lemahnya koordinasi antarpenyidik.
4. Edukasi dan literasi hukum satwa sangat rendah bahkan di kalangan aparat lokal sekalipun.
5. Satwa tidak bisa menunggu koordinasi kita yang lambat. Mereka diburu setiap hari.
Hari ini, kami mengajak semua pihak untuk tidak lagi hanya bicara tentang konservasi, tapi membangunnya.
Kami siap bekerja bersama POLRI, KLHK, Kementan, Kominfo, universitas, dan pemerintah kota/kabupaten.
Mari kita buat forum lintas sektor
perlindungan satwa. Mari kita bentuk jejaring penegakan hukum berbasis komunitas.
Tanpa kolaborasi, kejahatan terhadap satwa akan tetap menang. Dan kita akan
terus menjadi penonton yang menyesal di kemudian hari.
Jangan Tunggu Sampai Satwa Terakhir Pergi
Momen untuk bertindak itu rudak dapat diulur ulur lagi waktunya. Sekarang lah saatnya. PPS percaya Indonesia masih punya
harapan untuk menjaga keberagaman hayati, asal semua pihak berhenti bekerja
sendiri-sendiri.
Satu kan kekuatan, satu kan gerak, dan jadikan perlindungan satwa
sebagai misi bersama bangsa.
(*Penulis adalah Sekretaris Jenderal Pemerhati Polisi Satwa)