Baru 23 dari 79 SPPG di Kota Bekasi Kantongi Sertifikat Laik Higiene

5 days ago 20

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Hampir sebulan sejak Surat Edaran (SE) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tentang percepatan penerbitan Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) diterbitkan. Namun, kemajuan di lapangan nyaris tak bergeser.

Di Kota Bekasi, baru 29 persen Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang memiliki sertifikat laik. Angka itu nyaris mencerminkan kondisi nasional, di mana dari 13 ribu lebih SPPG, baru 690 unit yang dinyatakan layak secara higiene.

Padahal, aturan itu muncul menyusul insiden keracunan makanan bergizi (MBG) yang mencuat di awal Oktober lalu, kasus yang seharusnya cukup mengguncang kesadaran banyak pihak. Namun, seperti kebanyakan kebijakan reaktif, semangat di atas kertas seringkali tidak sejalan dengan langkah nyata di lapangan.

Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bekasi, Satia Sriwijayanti Anggaraini, mengakui hingga Rabu (29/10), baru 23 SPPG yang mengantongi SLHS dari 79 unit yang telah beroperasi.

“Sebanyak 23 yang sudah keluar sertifikasi laik higiene sanitasinya, dari 79 yang sudah beroperasi,” ujarnya.

Sisanya, kata Satia, masih bergelut di proses administrasi. Untuk mendapat sertifikasi, setidaknya ada tiga syarat: pelatihan penjamah makanan, uji laboratorium, dan inspeksi kesehatan lingkungan (IKL).

“Sekarang memang sudah aman, tidak ada lagi laporan keracunan MBG. Tapi kami dorong agar semua segera tuntas, karena waktu yang diberikan pemerintah terbatas,” tambahnya.

Kota Bekasi kini memiliki 110 SPPG, namun 30 di antaranya masih dalam proses pembangunan. Bagi yang baru beroperasi, diberi waktu satu bulan untuk mengurus sertifikasi laik. Artinya, November menjadi tenggat akhir bagi SPPG yang masih beroperasi tanpa izin laik higiene.

Pemerintah pusat sebenarnya telah menegaskan: SPPG yang tidak memiliki SLHS tidak boleh beroperasi. Namun, aturan itu tampak belum menjadi sinyal bahaya di daerah. SPPG masih beroperasi dengan alasan “proses administrasi”, sementara di sisi lain, masyarakat menjadi pihak yang berisiko jika standar kebersihan diabaikan.

Surat Edaran Kemenkes pada awal Oktober seharusnya menjadi alarm nasional. Di dalamnya jelas disebutkan bahwa SPPG yang telah beroperasi sebelum edaran keluar harus menyelesaikan sertifikasi dalam sebulan. Sementara yang baru berdiri, harus memiliki SLHS paling lama satu bulan sejak penetapan.
Namun fakta menunjukkan, setelah hampir satu bulan berjalan, progresnya baru setengah langkah. Pemerintah tampak sigap di meja rapat, tapi lamban dalam pengawasan.

Kepala Biro Hukum dan Humas Badan Gizi Nasional (BGN), Khairul Hidayati, menekankan pentingnya kepatuhan terhadap pedoman tata kelola program MBG.

“Program ini menyentuh banyak aspek, mulai dari pengadaan bahan pangan, pengolahan, hingga distribusi. Karena itu, setiap SPPG wajib mematuhi pedoman umum tata kelola agar semua proses berjalan sesuai standar dan dapat dipertanggungjawabkan,” ujarnya.

Tata kelola yang dimaksud meliputi rantai pasok bahan makanan, standar kebersihan dan keamanan pangan, pencatatan logistik, hingga pelaporan harian. Jika ini diabaikan, program MBG bisa kehilangan arah dan tujuan awalnya: memastikan asupan gizi masyarakat yang sehat dan aman.

BGN berjanji melakukan pendampingan dan supervisi rutin lewat koordinator wilayah dan evaluasi bulanan. Namun pengawasan administratif tidak akan cukup tanpa disiplin pelaksana di lapangan.

Kepala BGN Dadan Hindayana menyebut, saat ini telah berdiri 13.347 SPPG di seluruh Indonesia. Dari jumlah itu, baru 690 unit yang memiliki SLHS, artinya kurang dari 6 persen. Padahal, program MBG telah menjangkau 39,2 juta penerima manfaat dengan serapan anggaran mencapai Rp35 triliun.

Ironisnya, semakin besar anggaran dan target, semakin rawan ketidaktertiban. Dadan optimistis target 82,9 juta penerima manfaat di akhir tahun bisa tercapai, bahkan dengan rencana penambahan 5.000–6.000 SPPG di wilayah terpencil.

Namun, pertumbuhan yang cepat tanpa fondasi higienis justru bisa menjadi bumerang.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian bahkan sudah meminta kepala daerah mengawasi ketat penerbitan SLHS. Pemerintah pusat juga telah menerbitkan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 28 Tahun 2025 tentang Tim Koordinasi Penyelenggaraan Program MBG untuk menyinkronkan kebijakan lintas sektor.

Namun, tanpa keberanian daerah menegakkan aturan, surat keputusan tinggal simbol. Waktu terus berjalan, dan publik menunggu: apakah target satu bulan benar-benar ditepati, atau hanya menjadi satu lagi dari sekian banyak tenggat yang lewat begitu saja.

Kota Bekasi kini punya pekerjaan rumah yang serius. Bukan sekadar menuntaskan sertifikasi, tapi memastikan setiap dapur yang memasok gizi masyarakat benar-benar laik dan aman. Karena dalam urusan makanan bergizi, kelalaian bukan sekadar angka, tapi bisa berarti nyawa.(sur)

Read Entire Article
Tenaga Kerja | | | |