Ribuan Kasus TBC di Kota Bekasi: Ancaman Serius bagi Pekerja dan Anak-anak

1 day ago 10

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Ribuan kasus Tuberkulosis (TBC) yang setiap tahun ditemukan di Kota Bekasi bukan sekadar angka di tabel statistik. Di balik setiap data penderita, ada cerita tentang pekerja yang kehilangan penghasilan, anak sekolah yang terpaksa berhenti belajar, hingga keluarga yang terbebani biaya pengobatan.

Penyakit yang seharusnya bisa disembuhkan ini masih menjadi ancaman serius bagi masyarakat kota industri tersebut.

Berdasarkan data Sistem Informasi Tuberkulosis (SITB) hingga pekan pertama Oktober 2025, terdapat 9.164 kasus baru TBC di Kota Bekasi. Dari jumlah itu, 1.516 kasus terjadi pada anak di bawah 14 tahun, sementara 7.648 kasus menyerang warga usia di atas 14 tahun—kelompok usia yang dikenal sebagai tulang punggung ekonomi keluarga.

Angka itu menegaskan betapa besar dampak sosial dan ekonomi yang dibawa oleh TBC. Ketika penyakit ini menjangkiti usia produktif, maka produktivitas kerja masyarakat ikut menurun. Sektor informal, yang sebagian besar bergantung pada tenaga harian, menjadi yang paling terdampak.

Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bekasi, Satia Sriwijayanti Anggaraini, menjelaskan bahwa angka tersebut masih dianggap terkendali jika dilihat dari rasio terhadap jumlah penduduk. Namun, di sisi lain, tingginya jumlah absolut menunjukkan masih banyak pekerjaan rumah.

“Kalau melihat persentase, kita kecil. Tapi kalau melihat jumlah penduduk Kota Bekasi besar, jadi angkanya tinggi,” ujarnya.

Satia menegaskan, Bekasi masih berada di luar 10 besar daerah dengan kasus TBC tertinggi di Jawa Barat. Meski begitu, ia mengingatkan bahwa penyakit menular ini tidak bisa dianggap sepele. Tantangan terbesar dalam penanganannya justru muncul dari perilaku pasien yang sering putus obat.

“Karena sebenarnya sederhana, enam bulan saja minum obat itu sudah selesai. Tetapi begitu sebulan sudah merasa enak, tidak batuk lagi, dia berhenti. Itu yang membuat pengobatan gagal,” jelasnya.

Untuk mengatasi hal itu, Dinkes Kota Bekasi terus memperkuat pendampingan bagi pasien. Pendampingan ini melibatkan petugas kesehatan, pemerintah kecamatan dan kelurahan, serta kader lingkungan yang bertugas mengingatkan pasien agar tak berhenti mengonsumsi obat.

Di balik upaya medis, kisah pendampingan pasien menjadi titik krusial. Di banyak kelurahan, kader kesehatan bekerja nyaris tanpa pamrih, mengetuk pintu rumah pasien untuk memastikan obat diminum sesuai jadwal. Sebagian pasien memang merasa malu atau takut dijauhi karena stigma TBC masih kuat di masyarakat.

Satia menegaskan, dukungan keluarga juga memegang peranan penting. “Keluarga yang tinggal serumah harus ikut mengingatkan dan mendukung pasien. Data pasien TB itu terekam di setiap Puskesmas, jadi kami bisa memantau dan melakukan pendekatan langsung,” ujarnya.

Dinkes Bekasi pun menggulirkan berbagai program, seperti Kecamatan Bebas TBC (Kebas TB), pembentukan Tim Percepatan Penanggulangan TBC, hingga Terapi Pencegahan Tuberkulosis (TPT) yang digerakkan bersama kader. Skrining kini dilakukan di sekolah, pondok pesantren, tempat kerja, bahkan komunitas masyarakat.

Langkah-langkah ini sejalan dengan target eliminasi TBC nasional pada 2030. Namun, seperti di banyak daerah lain, upaya di lapangan sering terkendala oleh keterbatasan sumber daya manusia dan logistik.

Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kota Bekasi, Wildan Fathurrahman, menilai persoalan TBC tak bisa dilihat hanya dari sisi medis. Ia mengingatkan bahwa dampaknya merambah ke ranah sosial dan ekonomi.

“Mayoritas pasien usia produktif menandakan bahwa TBC ini bukan hanya persoalan kesehatan, tetapi juga persoalan sosial ekonomi,” ujarnya.

Data tahun-tahun sebelumnya menunjukkan kecenderungan serupa. Dari 11 ribu kasus baru di 2023, sekitar 70 persen penderitanya adalah usia produktif. Ketika mereka terinfeksi, keluarga kehilangan sumber penghasilan, dan biaya pengobatan menjadi beban tambahan.

Karena itu, Wildan menegaskan pentingnya skrining masif dan pengobatan tuntas.

“Di layanan primer seperti Puskesmas, pengobatan harus benar-benar tuntas. Pelibatan lintas sektor menjadi kunci,” tambahnya.

Ia juga menilai bahwa pola jemput kasus—yang biasa dilakukan lembaga swadaya masyarakat—perlu diadopsi Pemkot Bekasi. Pendekatan ini dinilai lebih efektif ketimbang menunggu pasien datang ke fasilitas kesehatan.

Kota Bekasi dinilai memiliki modal sosial yang cukup kuat untuk mempercepat eliminasi TBC. Ribuan kader Posyandu, Pekerja Sosial Masyarakat (PSM), dan tenaga relawan telah terbukti mampu bergerak aktif di tingkat RW dan kelurahan.

Wildan menilai, tingginya jumlah kasus bukan berarti kegagalan pemerintah daerah, melainkan tanda bahwa pelacakan kasus berjalan efektif. “Justru angka yang tinggi menunjukkan bahwa penemuan kasus masif, artinya sistem pelacakan bekerja,” jelasnya.

Untuk memperkuat langkah tersebut, Komisi IV DPRD Kota Bekasi mendorong agar ada alokasi anggaran khusus bagi penanganan TBC. Anggaran itu bisa diarahkan untuk insentif petugas lapangan yang melakukan pelacakan, tracer, serta penguatan edukasi masyarakat.

“Kasus dengan tingkat penularan tinggi seperti TBC ini membutuhkan tenaga tracer yang terlatih dan insentif memadai. Kita ingin alokasi anggaran kesehatan diarahkan lebih spesifik untuk intervensi TBC,” tegasnya.

Wildan juga mengusulkan agar Pemkot Bekasi membangun gerakan tematik masyarakat, misalnya program “Jumat Sehat Bebas TB”, yang bisa dilakukan di tiap RW. Kegiatannya bisa berupa penyuluhan, skrining, atau gotong royong membersihkan lingkungan.

“Tidak harus di hari Jumat, bisa juga di akhir pekan. Yang penting, semangatnya kolektif: melawan TBC bersama,” katanya.

Harapan itu senada dengan visi pemerintah pusat: eliminasi TBC tahun 2030. Namun, jalan menuju ke sana jelas tidak mudah. Diperlukan sinergi antara pemerintah, legislatif, tenaga kesehatan, dan masyarakat untuk memastikan setiap pasien mendapatkan haknya: pengobatan tuntas, pendampingan manusiawi, dan lingkungan yang bebas stigma.

Bagi Kota Bekasi, perjuangan melawan TBC bukan hanya soal menurunkan angka kasus, melainkan menjaga agar setiap warga tetap produktif dan bermartabat. Karena di balik setiap pasien TBC, ada masa depan keluarga yang menunggu sembuh.(sur)

Read Entire Article
Tenaga Kerja | | | |