Beranda Cikarang Perusahaan Limbah di Kabupaten Bekasi Klaim Sudah Penuhi Sanksi Administratif KLH, Bingung Dipanggil DPR
PERUSAHAAN LIMBAH: Pekerja berada PT Harrosa Darma Nusantara di Cikarang Pusat, Rabu (19/11). FOTO: ARIESANT/RADAR BEKASI
RADARBEKASI.ID, BEKASI – Perusahaan bidang limbah di Kabupaten Bekasi mengklaim telah penuhi sanksi administratif berupa paksaaan pemerintah dan denda administrasi yang dijatuhkan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) atas pelanggaran yang mereka lakukan.
Namun, manajemen mengaku bingung setelah tiba-tiba menerima undangan untuk mengikuti Rapat Dengar Pendapat (RDP) dan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di DPR RI pada Selasa (18/11).
Corporate Legal PT Harrosa Darma Nusantara, Dadi Mulyadi, mengklaim bahwa perusahaan telah menyelesaikan seluruh sanksi yang diberikan KLH, yang ditandai dengan dibukanya segel pada bangunan yang menjadi objek perkara.
“Kami mewakili perusahaan merasa kebingungan kepastian hukum dan legitimasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Gakkum ini. Di satu sisi mereka memberikan penegakkan, kemudian memberikan sanksi. Tapi di satu sisi disoal kembali dan di RDPkan di komisi XII,” kata Dadi kepada wartawan di Cikarang Pusat, Rabu (19/11).
Dadi menjelaskan, ketika sidak dilakukan oleh Gakkum KLH, perusahaan telah memenuhi seluruh rekomendasi yang diberikan, termasuk membayar denda administratif sebesar Rp596 juta yang masuk ke Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Setelah denda dibayar, segel pun dibuka. Namun pada Senin (17/11) sekitar pukul 15.00 WIB, perusahaan tiba-tiba mendapat surat pemanggilan RDP oleh Komisi XII.
“Kami juga diminta memenuhi seluruh persyaratan, akan tetapi persyaratan kami pastikan sudah lengkap. Denda juga sudah dibayarkan sehingga segel kembali dibuka oleh pihak kementerian. Beberapa sanksi yang sudah kami terima dari Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) KLH itu berkaitan dengan persoalan administrasi saja, tidak ada pelanggaran lingkungan,” tambahnya.
Polemik ini bermula pada Mei 2025, ketika pihak perusahaan menunda penerimaan limbah. Hal itu menyebabkan limbah harus ditampung di gudang milik Harrosa sebagai perusahaan jasa pengangkutan limbah. Karena penerimaan tak kunjung dibuka, gudang penyimpanan menjadi penuh. Perusahaan kemudian melakukan mitigasi dengan memindahkan limbah B3 ke gudang lain. Dadi memastikan tidak ada pencemaran karena seluruh limbah tetap berada di area perusahaan.
“Itu di gudang khusus limbah B3 milik kami tapi karena penuh, enggak bisa disalur, kami pindahkan ke gudang satunya lagi, itu sebenarnya sama-sama di dalam area perusahaan. Di saat itu datang sidak dari Kementerian LH,” terangnya.
Meski sanksi administratif diklaim telah dipenuhi, persoalan tersebut kembali dibahas dalam RDP dan RDPU di DPR. Dadi merasa heran karena dalam forum tersebut perusahaan seolah-olah digambarkan sebagai pelanggar lingkungan, padahal mereka hanya bergerak di bidang jasa pengangkutan limbah dan tidak melakukan pencemaran.
“Ini yang kami pertanyakan. Bahkan dalam rekomendasinya Komisi XII mendesak agar kementerian memberikan sanksi tegas dan menyegel. Kami bingung kenapa disegel, kan kemarin sudah dibuka sendiri, kami juga telah memenuhi ketentuan dendanya. Maka dari sini kami meminta kepastian hukumnya seperti apa,” ucapnya.
Sementara itu, keluhan serupa juga disampaikan oleh perusahaan jasa angkut lainnya. Corporate Legal PT Harosindo Teknologi Indonesia (HTI), Saripudin, mengakui kesalahan perusahaannya. Ia menyatakan bahwa seluruh sanksi dari BPLH KLH telah diselesaikan.
“Kami juga sudah penuhi sanksi administrasi dengan membayarkan denda Rp220 juta. Dan HTI, kami rencanakan untuk tidak melanjutkan,” tutur Saripudin.
Pihaknya berharap pemerintah dapat memberikan kepastian hukum bagi para pengusaha, terutama pengusaha lokal yang ikut berperan dalam memajukan Sumber Daya Manusia (SDM) di daerah.
“Kepastian hukumnya harus jelas. Landasan hukumnya juga harus jelas,” tandasnya. (ris)

3 hours ago
5

















































