Beranda Politik MK Pisahkan Pemilu Nasional dan Daerah, Syahrir Dukung Pilkada lewat DPRD

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Pemilihan Umum (Pemilu) serentak yang selama ini dikenal sebagai “Pemilu lima kotak” dipastikan tidak berlaku lagi pada Pemilu 2029.
Hal ini menyusul keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan penyelenggaraan Pemilu anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden (Pemilu nasional) dengan Pemilu anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta kepala daerah (Pemilu daerah).
Pemisahan tahapan Pemilu tersebut kembali memunculkan wacana pemilihan kepala daerah (kada) melalui DPRD. Hal ini turut disampaikan Anggota Komisi I DPRD Provinsi Jawa Barat dari Fraksi Gerindra, Syahrir.
Ia menilai, sudah saatnya pemerintah pusat dan daerah mengevaluasi pelaksanaan pilkada langsung. Menurut Syahrir, wacana pengembalian pilkada melalui DPRD kembali mencuat setelah Presiden Prabowo Subianto menyatakan setuju kepala daerah dipilih oleh DPRD, mengingat pilkada langsung dinilai terlalu banyak menyerap anggaran.
“Saya sangat mendukung pendapat pak Presiden Prabowo Subianto, sehubungan pelaksanaan pemilihan kepala daerah oleh DPRD membawa sisi positif bagi kehidupan bangsa serta stabilitas nasional,” ujarnya.
Syahrir mengklaim bahwa sistem pilkada oleh DPRD memiliki sejumlah kelebihan, di antaranya lebih efisien, mengurangi polarisasi dan politisasi, lebih fokus pada kompetensi, memperkuat DPRD, mengurangi politik uang dan konflik, serta memperkuat hubungan antara eksekutif dan legislatif. Ia juga menilai sistem ini lebih rasional.
“Pilkada oleh DPRD tak dapat dianggap sebuah langkah mundur bagi demokrasi. Pilkada kita bukan pilkada yang kita harapkan prosedural semata, tetapi substansinya agar tidak menimbulkan efek dan gejolak di masyarakat. Mengantisipasi terjadinya inefisiensi, uang negara habis atau hasil dari pilkadanya tidak maksimal,” katanya.
Di sisi lain, Syahrir menilai keputusan MK juga mempertimbangkan potensi kejenuhan pemilih apabila pemilu nasional dan pilkada digelar berdekatan, yang bisa berdampak pada kualitas pilihan masyarakat.
Sebagai informasi, keputusan MK ini merupakan bagian dari amar putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Dalam petitumnya, Perludem meminta Mahkamah menyatakan Pasal 167 ayat (3) UU Pemilu, khususnya frasa “pemungutan suara dilaksanakan secara serentak”, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
MK mengabulkan permohonan tersebut setelah menelaah dan mempertimbangkan berbagai aspek dalam penyelenggaraan pemilu. (pra)