Lasik Smile

18 hours ago 11

Oleh: Dahlan Iskan

SAYA sudah expired. Tidak bisa lagi ikut gaya hidup baru: hidup tanpa kaca mata.

Umur tertua untuk bisa bebas kacamata adalah 70 tahun. Sebelum itu mata minus bisa menjalani lasik –mata dilaser untuk menghilangkan minusnya. Atau plusnya.

Beruntunglah Anda: jauh lebih muda dari saya yang 74 tahun.

“Lebih 70 persen orang yang datang ke sini minta dilasik,” ujar dr Dini Dharmawidiarini. “Lasik sudah seperti gaya hidup,” tambahnya.

Setelah senam dansa di Disway, saya ke klinik NEC –National Eye Center Surabaya kemarin. Saya tertarik pada lasik tapi urung melakukannya –soal umur.

Dokter Dini adalah satu dari lima dokter anggota senam dansa SDI. Dia konsultan di NEC –di samping dokter mata di RS Mata Undaan. Dini alumnus Universitas Airlangga –memperoleh sub spesialisasi bedah refraksi, lensa, dan kornea di Hyderabad India.

Dini bersama 42 dokter mata bersatu menjadi pemilik NEC. Sejak empat tahun lalu. Ambisi para dokter di situ adalah: memiliki alat paling modern –untuk mendukung keahlian mereka.

Alat untuk klinik mata memang mahal: sekitar Rp 17 miliar. Namanya zeiss visumax. Bisa untuk membuat lenticule pada smile. Bisa untuk membuat flap pada lasik.

Ketika Dini jadi spesialis dokter mata dulu, mesinnya masih generasi pertama. Kini sudah generasi ketiga. Bahkan yang dibeli NEC adalah Smile-Pro, generasi ketiga seri yang terbaru.

Semangat tidak mau kalah itulah yang mendorong Dini terus maju. Termasuk dalam mengejar keahlian –sampai kawinnyi pun sangat telat. Dengan mesin baru itu Dini ingin mengejar yang dia merasa ketinggalan: jumlah operasi mata yang mampu dia lakukan.

Dini pun menunjukkan foto bersama dokter mata di sebuah forum di Singapura. “Dokter wanita dari India yang di sebelah kiri saya itu bisa melakukan operasi 204 orang sehari,” ujar Dini.

Yang lebih ”gila” lagi yang di sebelah kanan Dini. Ia dari Tiongkok. Dalam setahun melakukan operasi mata lebih 5000 kali.

Dini sendiri?

“Saya baru tujuh kali sehari,” ujar Dini.

Lasik dan SMILE adalah mirip. Yakni operasi untuk mengobati minus (rabun jauh), plus (rabun dekat) dan silinder. Beda teknik saja. SMILE adalah singkatan dari Small Incision Lenticule Extraction.

Baik SMILE maupun lasik sama-sama tidak terasa sakit. Obat biusnya hanya berupa tetes mata. Anda sepenuhnya sadar –dan memang harus sadar. Orang tidur tidak bisa menjalani lasik pun SMILE.

Penyebab minus antara lain terbentuknya lenticule di lapisan ketiga kornea mata. Lenticule itulah yang dilaser. Bentuk kornea pun sedikit berubah sehingga cahaya bisa lebih fokus ke retina. Kaca mata pun tidak perlu dipakai lagi.

Melakukan lasik maupun SMILE ternyata hanya hitungan menit. Antara 10 sampai 15 menit. Itu pun waktu terbanyak untuk persiapan. Pekerjaan lasernya sendiri hanya 30 detik. Dua mata: 60 detik. Tergantung keahlian dan ketrampilan dokternya.

“Hampir tidak terjadi kegagalan. Sekarang sudah sangat maju,” ujar Dini.

Tentu pemeriksaan sebelumnya harus baik. Itu untuk menentukan pasien mana yang cukup dilaser saja beres. Sepuluh menit selesai.

Mana pula yang perlu perhatian khusus. Tambah waktu lima menit selesai. Lalu mana yang tidak boleh dilakukan lasik maupun SMILE.

Yang sekali laser beres jumlahnya yang terbanyak. Bisa mencapai 70 persen. Yang perlu perhatian khusus sekitar 15 persen. Sedikit sekali yang tidak memenuhi syarat dilakukan keduanya.

Itulah sebabnya di India dan Tiongkok seorang dokter ahli mata bisa melakukan ratusan kali operasi sehari.

Di sana pula dokter mata lebih punya peluang untuk ahli dalam melakukan cangkok kornea bagi orang yang terancam buta: banyak pendonor mata di sana. Sedang di Indonesia begitu sulit mendapatkan donor mata –karena keyakinan agama.

Di klinik itu saya tertarik dengan satu sudut ruangannya: museum kacamata. Banyak sekali kacamata dipajang di situ.

Saya perhatikan baik-baik: tidak ada kacamata dari zaman purba. Pengertian ”museum” di situ ternyata hanya sama dengan ”masa lalu”.

Rupanya itulah masa lalu bagi para lasikis dan SMILES. Mereka pulang dari operasi dengan meninggalkan masa lalu mereka di situ.

Maka banyak kacamata di museum itu yang diberi nama pemiliknya. Ada juga yang kacanya ditulisi kenangan romantis: “30 Tahun bersamanya”. (Dahlan Iskan)

Read Entire Article
Tenaga Kerja | | | |