Aktivis Soroti Pengangkatan Ketua Dewan Penasihat dan Staf Khusus Bupati Bekasi

13 hours ago 8

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Aktivis kebijakan publik, Abdul Muhaimin, menyoroti pengangkatan Ketua Dewan Penasihat dan Staf Khusus Bupati Bekasi. Ia menilai langkah tersebut sebagai bentuk pemerintahan bayangan yang tidak memiliki dasar hukum.

“Pengangkatan ini tidak sesuai regulasi. Ini orang-orang politik yang mengatur dari balik layar, tanpa kontrol publik, tanpa transparansi anggaran, dan tanpa akuntabilitas,” ujar Awe, sapaan akrabnya kepada Radar Bekasi, Minggu (29/6).

Sebelumnya, Kepala BKN, Prof. Zudan Arif Fakrulloh, menegaskan bahwa kepala daerah yang telah dilantik tidak diperbolehkan lagi mengangkat staf khusus, tenaga ahli, maupun tim pakar. Larangan ini bertujuan mencegah praktik balas jasa politik serta pemborosan anggaran daerah.

Awe menduga pengangkatan tersebut bertentangan dengan aturan BKN, terutama karena beberapa nama penasihat berasal dari kalangan relawan atau tim pemenangan saat Pilkada, yang sarat kepentingan politik.

Ironisnya, di balik pembentukan dewan penasihat dan staf khusus, masih terdapat delapan jabatan kepala dinas di lingkungan Pemkab Bekasi yang belum terisi secara definitif.
Antara lain Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Sekretariat DPRD (Sekwan), Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA), Inspektorat, Dinas Kearsipan dan Perpustakaan, Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu, Dinas Ketahanan Pangan, serta Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker).

“Kepala dinas dibiarkan kosong, tapi penasihat justru dilantik. Ini jelas bukan soal birokrasi, ini soal kekuasaan,” ujarnya.

Ia juga mengingatkan, jika pembiayaan penasihat dan staf khusus itu bersumber dari APBD tanpa mekanisme yang sah, maka berpotensi melanggar aturan pengelolaan keuangan daerah dan dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan anggaran.

Awe mendesak agar Kemendagri dan BKN segera turun tangan menyelidiki dugaan pelanggaran tersebut, serta meminta Pemkab Bekasi untuk segera mengisi jabatan kepala dinas melalui mekanisme ASN yang sah. Terkait polemik tersebut, DPRD Kabupaten Bekasi pun diminta bersikap. Langkah Bupati Bekasi dinilai memicu kecurigaan publik.

“Bekasi tidak butuh penasihat diam-diam. Bekasi butuh pemimpin yang tunduk pada hukum, patuh pada rakyat, dan berpihak pada pelayanan publik,” tegasnya.

Terpisah, Ketua Komisi I DPRD Kabupaten Bekasi, Ridwan Arifin, mengaku belum mengetahui secara pasti apakah pengangkatan dewan penasihat dan staf khusus itu melanggar aturan. Menurutnya, selama tidak menggunakan APBD, maka tidak menjadi masalah.

“Kan nggak melanggar juga, karena prinsipnya itu nggak menggunakan APBD, jadi kita nggak bisa bilang itu nggak boleh. Misalkan saya sebagai Ketua Komisi I punya stafsus dan digaji pakai duit sendiri, siapa yang mau melarang. Jadi nggak melanggar atau menabrak regulasi,” ucap Iwang.

Terkait masuknya nama Anggota DPR RI, Rieke Diah Pitaloka, sebagai Ketua Dewan Penasihat Bupati Bekasi, ia belum bisa berkomentar banyak.

“Kalau menyangkut kode etik, kan saya belum membaca Tatib DPR RI. Misalkan melarang, kita akan kasih tahu bupati, tapi melarang dan tidak melarang itu, saya belum baca,” sambungnya.

Meski begitu, politisi Partai Gerindra ini menyayangkan tidak dilibatkannya tokoh lokal yang memahami persoalan daerah.

“Memang isi dari Stafsus itu sebagai pemberi masukan (seharusnya) banyak diisi oleh orang-orang Bekasi. Karena yang tinggal di Bekasi paham tentang persoalan-persoalan di Bekasi, dari sisi kearifan lokal dan lain-lain. Yang saya lihat nggak ada satupun yang (dipilih) dari Kabupaten Bekasi,” katanya.

Soal kekosongan jabatan kepala dinas, Iwang menjelaskan bahwa rotasi dan mutasi belum diperbolehkan hingga enam bulan setelah pelantikan, sesuai arahan Kemendagri.

“Saya dengar masih ada arahan dari Kemendagri, bahwa enam bulan sejak dilantik baru ada rotasi mutasi dan pengangkatan. Jadi kemungkinan bulan Agustus baru ada rotasi mutasi dan lain-lain,” katanya. (pra)

Read Entire Article
Tenaga Kerja | | | |