Oleh: Dahlan Iskan
Sepanjang perjalanan 10 jam dari Poso ke Luwuk, ingatan saya terus ke Sumatera: ke daerah bencana.
“Mungkinkah alam Banggai ini bisa bertahan seperti ini untuk 20 tahun ke depan? Tidak kah hutan sepanjang perjalanan ini akan habis juga kelak? Lalu akan timbul bencana seperti di Sumatera?”
Sudah begitu banyak sungai saya lewati. Semuanya berair jernih. Dengan bebatuan kecil dan pasir kasar di dasarnya. Setiap melalui sungai itu rasanya ingin turun dari mobil. Lalu berkecipung di situ. Saking bening airnya.
Memang, di beberapa tempat jalannya rusak. Itu akibat bukit yang longsor. Tapi hanya menimbulkan luka kecil di lereng butiknya. Tidak seberapa dalam goresan lukanya. Kanan-kiri-atasnya tetap terlihat hutan yang utuh. Yang mampu menahan longsoran itu tidak meluas.
Kalau pun ada industri baru di sepanjang jalan itu adalah industri pengolahan kelapa. Bukan smelter nikel. Bukan batu bara. Bukan sawit.
Dengan harga kelapa sekarang ini rasanya hutan kelapa itu tidak akan berubah jadi sawit. Memang pernah harga kelapa jatuh sampai tinggal Rp2.000. Saat itu, 20 tahun lalu, sampai banyak pohon kelapa dibiarkan tidak terawat. Tidak pula ada penanaman baru. Tidak ada peremajaan. Tapi tetap tidak ada yang diubah jadi sawit.
Kini harga kelapa terus melonjak. Terutama sejak orang Tiongkok suka minum santan dingin. Santan yang sudah dikalengkan. Di mana pun saya makan di Tiongkok selalu melihat sajian santan dalam kaleng.
Bahkan kini apa pun dari kelapa laris manis: tepungnya, bahkan airnya. Maka pabrik kelapa modern sekarang ini efisiennya bukan main: airnya pun laku. Yang dulu dibuang itu.
Air kelapa itu dibekukan. Lalu diekspor. Daging kelapanya, dulu, hanya bisa dibuat kopra. Kini daging itu diambil dulu santannya. Diambil 50 persennya. Sisanya dikeringkan. Dijadikan tepung. Tepung itu masih gurih karena masih mengandung sedikit santan. Tepung itu diekspor.
Pabrik yang tidak kombinasi seperti itu akan tutup. Kalah efisien. Persaingan pabrik kelapa pun sangat ketat. Apalagi investor dari Tiongkok juga mulai bikin pabrik di Sulteng-Sulut. Setidaknya sudah ada lima pabrik kelapa dari sana.
Mungkin pabrik-pabrik itu akan berjasa mempertahankan lingkungan alam Sulut dan Banggai. Tapi siapa yang akan mempertahankan hutan-hutan di gunung-gunung itu? Sepanjang Poso, sampai Banggai, hutannya begitu perawan. Saking perawannya teroris pun pilih hutan itu sebagai pertahanan terakhirnya: baru bisa ditumpas habis lima tahun lalu.
Zaman dulu, wilayah ini masuk kerajaan Banggai. Mulai dari Poso sampai pulau-pulau di seberang Luwuk. Di utara pulau-pulau itu berdiri kerajaan Ternate yang kuat.
Banggai bisa bikin bangga: lingkungannya terjaga. Bahkan sungai di dalam kota Luwuk pun mengalir ke laut dalam keadaan jernih. Bening. Padahal ini musim hujan. Air hujan biasanya membawa lumpur dari gunung. Warna cokelat. Keruh.
Boleh dipastikan di antara sungai yang melintas di dalam kota, sungai di kota Luwuk-lah terjernih di Indonesia.
Menjelang senja itu, 19 Desember lalu, saya jalan-jalan di pantainya: pantai Lalong. Pantai yang berbentuk teluk. Teluknya hampir melingkar menyerupai huruf O yang belum selesai ditulis. Salah satu sungai itu bermuara di Lalong. Saya jenguk muaranya: jernih sekali. Sampah pun tidak terlihat.
Ada masjid besar di pantai itu. Saya magriban di situ. Halamannya luas. Menghadap pantai. Sayangnya halaman itu dipasangi keramik. Putih. Mengilap. Silau di siang hari. Licin di kala hujan. Keramik ini sangat tidak cocok dengan lingkungan pantai yang indah. Bahkan tidak cocok dengan keindahan masjidnya.
Dari pantai Luwuk saya memandang senja ke gunung di sekelilingnya. Hijau. Utuh. Tidak terganggu nikel. Tidak terganggu sawit. Tetap perawan. Entah sampai kapan.(Dahlan Iskan)

4 hours ago
6

















































