Beranda Politik Soal Partai Buruh Kecewa ke Bupati Bekasi, Peneliti: Partai Koalisi Tak Berhak Intervensi

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Peneliti Kebijakan Publik IDP-LP, Riko Noviantoro, menegaskan bahwa partai koalisi kepala daerah terpilih tidak berhak intervensi pengambilan keputusan, termasuk soal rotasi-mutasi pejabat. Pernyataan ini menanggapi kekecewaan Partai Buruh yang merasa tidak dilibatkan dalam diskusi terkait mutasi pejabat di Kabupaten Bekasi.
Menurut Riko, eksekutif dibangun berdasarkan konteks birokrasi dan profesionalisme. Ia menyinggung praktik kabinet pada era Soekarno, yang dikenal sebagai zaken kabinet, di mana pengangkatan pejabat dilakukan secara profesional dan meritokratis, tanpa intervensi koalisi politik.
“Jadi itu ide dasarnya, zaken kabinet, kabinet meritokrasi dan profesional. Itu rumus dasar agar pemerintahan berjalan sesuai harapan publik,” ujarnya kepada Radar Bekasi.
Meski demikian, Riko menjelaskan bahwa dalam praktik demokrasi modern, partai koalisi bersifat partisipatoris. Artinya diajak berdialog tetapi tidak memiliki hak dominan untuk menentukan kepala dinas.
Ia menambahkan, jika pengangkatan pejabat dilakukan berdasarkan pendekatan atau komitmen politik, secara otomatis Kepala Dinas yang dipilih cenderung berpihak pada individu atau pihak yang mengusulkan. Padahal, jabatan kepala dinas eharusnya dijalankan untuk kepentingan bersama, bukan kelompok tertentu.
BACA JUGA: Partai Buruh Kecewa Bupati Bekasi Soal Rotasi-Mutasi, PDIP: Kami Saja Tidak Mau Intervensi
“Jadi di tengah jalan iklim demokrasi itu berkembang, dengan harapan pejabat yang dipilih bisa duduk bareng bersama partai pengusung. Namun jangan dimaknai keterlibatan dialog itu sebagai meminta jatah, porsi, besaran. Saya berharap, bupati menunjuk Kepala Dinas itu atas dasar profesional. Bukan atas dasar kepentingan politik bupati saja,” katanya.
Sikap Partai Buruh yang memprotes Bupati Bekasi karena merasa haknya diabaikan merupakan bagian dari komitmen politik. Penyelesaiannya sebaiknya dilakukan melalui dialog di parlemen, bukan dengan tekanan atau ancaman terhadap bupati.
“Silakan kalau merasa partai pengusung itu tidak puas atas keputusan bupati, bisa melakukan dialog-dialog di parlemen. Tapi tidak boleh mengancam bupati, memaksa bupati, menagih janji, itu kurang pantas. Jadi cukup bersuara di parlemen, tidak masuk ke ruang eksekutif,” tuturnya. (pra)