Sampah Jadi Sedekah di Masjid Baitul Makmur Cikarang: Bukan Hanya Aksi Sosial, tapi Tanggung Jawab Moral

1 week ago 28

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Tak semua cerita kebaikan lahir dari mimbar. Di Masjid Baitul Makmur, kebaikan justru bermula dari sesuatu yang selama ini dianggap najis sosial, yaitu sampah.

Di sebuah sudut Perumahan Telaga Sakinah, Desa Telagamurni, Kecamatan Cikarang Barat, masjid ini menjelma menjadi ruang ibadah sekaligus pusat perubahan cara pandang warga terhadap lingkungan.

Dari kejauhan, bangunannya tampak seperti masjid pada umumnya, yakni menenangkan, rindang, dan bersahaja. Namun di balik keteduhannya, masjid ini menghidupkan gerakan yang meruntuhkan stigma bahwa sampah hanya membawa masalah. Di sini, sampah justru menjadi jalan pahala, sedekah baru yang mengalir tanpa henti.

Pertanyaan klasik “Sampah selalu menjadi masalah?” seketika gugur ketika melihat kehidupan di masjid ini. Di tangan para jemaah, sampah yang biasanya berakhir di tempat pembuangan kini berubah menjadi sedekah bernilai.

“Sedekah tidak harus dengan uang atau harta,” ujar Ketua DKM Baitul Makmur,  Muhammad Suhapli, sambil tersenyum.

“Berbuat baik, bermuka manis, tersenyum, itu sedekah. Bahkan dengan sampah sekalipun kita bisa bersedekah,” sambungnya.

Tak jauh dari pelataran masjid, berdiri kotak amal tak biasa. Kotak amal sampah bersih, rapi, dan didesain menarik menampung botol plastik, kardus, kertas, hingga barang bekas bernilai ekonomi. Setiap hari jemaah datang membawa kantong kecil berisi sampah terpilah. Ada yang membawa plastik dapur, kardus belanja, bahkan sesekali barang elektronik tua.

Semua diletakkan dengan kesadaran bahwa dari sampah itu, ada manfaat yang mengalir. Menurut Suhapli, ide sedekah sampah muncul dari keprihatinan terhadap TPA yang kian overload.

“Kita ini penggiat lingkungan, penggiat bank sampah. Kami prihatin melihat TPA yang sudah penuh. Mindset masyarakat harus berubah, dan perubahan itu bisa dimulai dari masjid,” ujarnya.

Ia bercerita bahwa pada awalnya para pengurus hanya menempatkan beberapa kotak sampah sedekah di halaman masjid dan mengumumkannya kepada jamaah. Tak disangka, antusiasme warga meledak.

“Tahap awal, sampai sampah-sampah ekonomis dari kantor pun dibawa ke masjid. Saking semangatnya,” tambah pria yang juga sebagai Ketua Yayasan Baitul Makmur ini.

Gerakan ini selaras dengan visi eco-masjid yang diusung Masjid Baitul Makmur, masjid ramah lingkungan yang bijak mengelola sampah, air, dan energi. Suhapli menegaskan bahwa konsep itu bukan sekadar slogan.

“Dari air wudhu sampai sampah rumah tangga, semua kami kelola agar bermanfaat,” tuturnya.

Upaya itu pula yang membuat masjid ini pernah menerima penghargaan dari Kementerian Lingkungan Hidup atas kontribusinya dalam pelestarian lingkungan. Namun, ramah lingkungan bukan satu-satunya nilai yang diusung. Masjid ini juga ramah manusia. Sebuah lif kecil dipasang untuk memudahkan jamaah difabel menuju ruang ibadah.

“Kalau jemaah makmur, insyaAllah masjidnya juga akan makmur,” kata Suhapli.

Gerakan sedekah sampah di masjid ini juga menjadi implementasi Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut. Suhapli menyebut bahwa program GRADASI (Gerakan Sedekah Sampah Indonesia) bertujuan menjadikan pengelolaan sampah sebagai bagian dari perilaku beragama.

“Sedekah sampah ini bukan hanya aksi sosial, tetapi tanggung jawab moral terhadap lingkungan,” katanya.

Gerakan yang berawal pada 2019 ini berkembang pesat. Tak hanya plastik, kini masjid membuka sedekah minyak jelantah dan pakaian layak pakai. Minyak jelantah dijual ke perusahaan yang mengekspornya ke Jerman untuk diolah menjadi biodiesel, dengan harga mencapai Rp6.500 per liter. Sementara pakaian layak pakai dijual kepada warga dengan harga Rp1.000 hingga Rp10.000.

Pendapatan dari seluruh program cukup besar. Pada masa awal, masjid bisa mengumpulkan hingga Rp25–30 juta per bulan dari sedekah sampah. Uang tersebut digunakan untuk membiayai pengajian sebanyak 350 anak.

“Tahun-tahun awal kami kewalahan,” kenangnya.

Masjid penuh dengan tumpukan sampah bernilai ekonomi. Banyak warga bahkan membawa televisi, komputer, hingga kendaraan tua.

“Hasil penjualan elektronik itu lumayan besar,” lanjutnya.

Namun seiring program ini dikenal luas, banyak masjid dan RT/RW lain mulai meniru gerakan tersebut. Kini setidaknya 90 masjid dan musala menjadi binaan Baitul Makmur.

Suhapli menyebut bahwa pendapatan sedekah sampah kini turun menjadi Rp5 juta sampai Rp6 juta per bulan, karena masyarakat kini sudah menyetorkan sampah ke masjid-masjid di lingkungannya masing-masing. baginya hal itu bukan penurunan, tetapi keberhasilan.

“Artinya gerakan ini menyebar dan itu tujuannya,” tambah pria yang menjabat sebagai Ketua Forum Bank Sampah Kabupaten Bekasi ini.

Selain sedekah sampah, masjid juga menciptakan inovasi ramah air. Keran wudhu disetel kecil agar tidak boros. Pada awalnya banyak jamaah protes. Namun setelah dijelaskan makna ibadah di balik penghematan, mereka memahami.

Air bekas wudhu pun dialirkan ke toren, lalu dimanfaatkan untuk menyiram tanaman dan kompos. Masjid membangun sumur biopori, menanam pepohonan rimbun, dan membuat danau kecil untuk menjaga debit air tanah.

“Waktu kemarau kemarin, kami tidak mengalami kekeringan,” ujar Suhapli.

Dari upaya pelestarian itulah lahir Taman Ecoedupark, ruang belajar terbuka seluas 2.250 meter persegi. Anak-anak belajar hidroponik, remaja memanen ikan, orang tua berbincang soal kompos. Pengunjung dari sekolah-sekolah datang untuk belajar tanpa dipungut biaya.

“Kalau ada yang memberi infak, kami terima. Tapi pada dasarnya ini tempat belajar bersama,” kata Suhapli.

Di halaman Taman Ecoedupark itu, sebuah pesan terasa nyata, masjid bukan hanya tempat sujud, tetapi pusat peradaban. Dari sampah yang dulu dianggap sepele, tumbuh kebaikan yang berlipat. (pra)

Read Entire Article
Tenaga Kerja | | | |