RADARBEKASI.ID, BEKASI – Hujan baru saja reda ketika aroma menyengat sampah kembali tercium kuat di udara. Dari kejauhan, gunungan sampah di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang tampak seperti bukit raksasa yang menatap sunyi ke arah perkampungan.
Bagi warga yang tinggal di sekitarnya, pemandangan itu bukan hal baru, tetapi ketakutan mereka semakin nyata. Longsor kecil yang terjadi menjelang akhir pekan kemarin menimbun satu truk pengangkut sampah dan seorang petugas luka.
Peristiwa itu menjadi pengingat betapa rapuhnya benteng pengelolaan sampah di Bantargebang. Tanpa aba-aba, tumpukan sampah bisa bergerak kapan saja, menyeret apapun yang ada di bawahnya. Rekaman video yang tersebar di media sosial memperlihatkan detik-detik longsor terjadi. Suara teriakan dan kepanikan petugas terdengar bersahutan. Bagi warga sekitar, video itu bukan sekadar viral, tapi bukti bahwa ancaman bencana ada di depan mata mereka setiap hari.
Wandi, warga Kelurahan Cikiwul yang rumahnya berjarak hanya 300 meter dari area TPST, mengaku peristiwa longsor itu bukan yang pertama.
“Kalau pengelolaan tidak benar, potensi bahayanya ada dua. Musim hujan seperti sekarang bisa longsor, musim kemarau bisa kebakaran karena gas metan tidak dikelola dengan baik,” ujarnya, Minggu (9/11).
Kekhawatiran Wandi bukan tanpa alasan. Akhir Oktober tahun lalu, kebakaran besar sempat melanda area TPST. Asap hitam tebal membubung tinggi, menyesakkan napas warga. Kini, menjelang musim penghujan, rasa takut itu kembali, hanya berganti bentuk, dari api menjadi tanah dan sampah yang bisa longsor kapan saja.
“Setiap kali turun hujan, kami hanya bisa berdoa semoga tidak ada yang longsor lagi,” tutur Wandi.
Di sejumlah titik, jarak antara pemukiman warga dan area pembuangan hanya dipisahkan oleh saluran air kecil. Situasi yang serupa juga tampak di TPA Sumur Batu, milik Pemerintah Kota Bekasi. Artinya, potensi bahaya bukan hanya mengintai Bantargebang, tapi juga warga di wilayah lain yang hidup berdampingan dengan gunungan sampah.
“Bisa jadi longsor kemarin itu hanya pemicu. Kita sudah masuk musim hujan, dan kalau tidak ditangani dengan benar, bukan tidak mungkin ada longsor berikutnya,” tambah Wandi.
Selain bahaya longsor dan kebakaran, warga juga menghadapi dampak ekologis yang kian parah. Menurut Wandi, air tanah di sekitar wilayah TPST sudah tidak bisa lagi dikonsumsi. Warna air sumur berubah keruh dan berbau menyengat. “Airnya sudah tercemar leachate, air lindi dari sampah yang tidak dikelola dengan baik. Sungai pun rusak, tanah tak lagi sehat,” ujarnya.
Aliansi Masyarakat Pegiat Lingkungan, tempat Wandi bernaung, menilai kerusakan ini sebagai bentuk ketidakadilan ekologis. Mereka menuntut agar pemerintah memperbaiki sistem pengelolaan sampah dan memastikan perpanjangan kerja sama antara Pemprov Jakarta dan Pemkot Bekasi tidak dilakukan tanpa evaluasi mendalam.
“Kalau pengelolaannya masih seperti ini, yang menimbulkan efek domino luar biasa bagi warga dan lingkungan, kami menolak perpanjangan kerjasama,” tegasnya.
Menurutnya, fasilitas Refuse Derived Fuel (RDF) di area TPST tidak cukup efektif untuk mengurai sampah yang datang setiap hari. Sampah yang datang dari Jakarta masih bercampur antara organik dan anorganik, sehingga proses pemusnahan menjadi tidak maksimal.
“Pertanyaannya, satu hari bisa olah berapa ton? Butuh berapa tahun untuk mengurai jutaan ton sampah yang sudah menggunung?” katanya dengan nada getir.
Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas), Bagong Suyoto, menyebut bahwa kondisi TPST Bantargebang sudah lama berada di titik rawan.
“TPST Bantargebang itu sudah over kapasitas. Zona pembuangan sudah menyatu, padahal seharusnya terpisah,” ungkapnya.
Menurut Bagong, ada dua faktor utama penyebab longsor: penguraian sampah organik di dalam tumpukan dan curah hujan yang tinggi. Ketika sampah organik terurai, strukturnya mengendur dan kehilangan kepadatan. Dua hari sebelum longsor, hujan deras mengguyur kawasan Bantargebang, mempercepat proses pelemahan struktur tumpukan.
“Kalau dulu sampahnya padat, lama-lama bagian organiknya menyusut karena penguraian. Begitu hujan turun, jadilah longsor,” jelasnya.
Meski longsor kemarin terjadi di zona dua yang relatif jauh dari permukiman, bahaya tetap mengancam.
“Risikonya besar. Bukan hanya bagi pemulung dan sopir truk, tapi juga bagi lingkungan. Pencemaran udara, air, dan tanah terjadi bersamaan,” ujarnya.
Bagong menegaskan bahwa persoalan utama ada di sistem pengelolaan yang belum tertata dari hulu. Pemilahan sampah di sumber masih lemah.
“Kalau dari rumah tangga saja tidak dipilah, teknologi seperti RDF atau Waste to Energy tidak akan berjalan maksimal,” katanya.
Ia juga menyoroti lemahnya pengelolaan air lindi (leachate) yang memperburuk pencemaran air di sekitar TPST. “Bantargebang masih menghadapi masalah klasik yang sama: tumpukan sampah, air lindi, gas metan, dan sistem open dumping yang tidak layak lagi,” ucapnya.
Menurut Bagong, proyek Waste to Energy yang digagas pemerintah harus dijalankan secara transparan dan melibatkan masyarakat. “Teknologi yang dipakai, keberlanjutan proyek, hingga partisipasi warga harus jelas. Jangan sampai seperti proyek sebelumnya yang mandek,” katanya.
Ia pun berharap Presiden Prabowo benar-benar turun tangan, sesuai komitmennya untuk menuntaskan persoalan gunungan sampah di Bantargebang. “Katanya presiden ingin memusnahkan gunung sampah di Bantargebang. Kami berharap itu benar-benar jadi prioritas,” tambahnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bekasi, Kiswatiningsih, memastikan pihaknya melakukan pengawasan meski TPST Bantargebang berada di bawah kewenangan Pemprov Jakarta.
“Kami memastikan aktivitas pengelolaan sampah di wilayah Kota Bekasi berjalan sesuai ketentuan lingkungan,” ujarnya.
Ia juga menegaskan bahwa kendaraan yang tertimbun longsor merupakan truk pengangkut sampah asal Jakarta.
“Kejadian di TPST Bantargebang itu wilayah pengelolaan Jakarta. Namun kami tetap memantau untuk memastikan tidak ada dampak terhadap warga Bekasi,” jelasnya.
Untuk TPA Sumur Batu, Kiswatiningsih memastikan kondisinya aman.
“Kita masih dalam tahap konstruksi sanitary landfill dan tetap siaga menghadapi potensi longsor. Penataan dan pemadatan terus dilakukan,” katanya. (sur/rez)

2 weeks ago
29

















































