RADARBEKASI.ID, BEKASI – Setiap pagi di Kelurahan Pejuang, Kecamatan Medansatria, Kota Bekasi, suasana sudah tak lagi seperti dulu. Aroma embun yang biasanya menguar dari pepohonan kini tergantikan oleh lapisan debu hitam pekat yang menempel di teras, dinding, hingga daun-daun tanaman warga.
Tiga minggu terakhir, kehidupan warga seperti digerogoti perlahan oleh butiran halus sisa pembakaran yang terus datang tanpa henti.
Pagi hari yang dahulu identik dengan aktivitas ringan membersihkan halaman kini berubah menjadi rutinitas melelahkan.
Ya, warga harus mengusap, mengepel, dan menyikat permukaan rumah yang seolah selalu diselimuti jelaga. Dalam sebuah video yang beredar, seorang warga memperlihatkan telapak tangannya yang menghitam hanya dalam satu kali usapan di lantai rumah.
“Padahal sebelum tidur saya sudah pel. Tuh, lihat hasilnya,” ucap warga tersebut, suaranya terdengar campuran antara kesal dan cemas. Debu itu melekat padat, menyerupai fly ash residu pembakaran batu bara yang dikenal mudah terbang dan berbahaya bila terhirup terus-menerus.
Di beberapa sudut wilayah RW 1, RW 2, hingga RW 4, pemandangan serupa menjadi hal yang tidak lagi mengejutkan. Ratusan rumah terdampak. Bahkan sebuah Pondok Pesantren (Ponpes) ikut berjuang menghadapi debu yang setiap hari kembali menumpuk meskipun berkali-kali dibersihkan.
Asep, warga RT 05/2, hingga kini masih rutin menyapu dan mengepel lantai rumahnya lebih dari sekali sehari.
“Ada, debunya mah masih. Memang nggak separah waktu itu, tapi tetap kelihatan tiap pagi,” ujarnya, Minggu (16/11) pagi.
Ia menggambarkan tekstur debu tersebut: butirannya sangat halus, seperti bekas pembakaran arang, dan langsung meninggalkan noda hitam pekat bila disentuh.
“Pagi-pagi buka pintu, sudah kelihatan bintik hitam di lantai. Kalau hujan sih lumayan berkurang, tapi kalau angin kencang malah tambah parah,” ujarnya.
Di wilayah RT 04/1, kondisi serupa juga terjadi meskipun intensitasnya lebih ringan. Ketua RW 1, Edi Hidayat, mengaku masih menunggu hasil uji dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH). Namun ia tidak menutup mata bahwa di sekitar permukiman memang terdapat sejumlah industri dengan cerobong asap yang rutin mengeluarkan emisi.
“Memang ada beberapa perusahaan yang punya cerobong asap. Kita menunggu hasil dari DLH, apakah ada kegagalan sistem atau apa,” ujarnya. Sejatinya, warga sudah lama mengeluhkan penggunaan batu bara di beberapa industri tersebut.
“Kami sudah sampaikan saran, kalau bisa bahan bakarnya diganti dari batu bara ke gas. Prioritaskan itu dulu,” tambahnya.
Lurah Pejuang, Suhendra, membenarkan bahwa laporan dari warga RW 4 sudah diterima dan langsung ditindaklanjuti. Tim DLH telah turun ke lapangan untuk melakukan pengecekan. Namun, hingga kini belum bisa dipastikan dari mana asal debu hitam itu.
“Tim DLH sudah cek lokasi sesuai laporan warga. Sekarang kami menunggu hasilnya,” kata Suhendra. Ia mengimbau warga untuk menggunakan masker sementara proses investigasi berjalan.
“Untuk sekarang, aktivitas di luar dikurangi dulu. Masker wajib.”sambungnya.
Kepala DLH Kota Bekasi, Kiswatiningsih, menjelaskan bahwa pengujian emisi sudah dilakukan pada 13–14 November 2025 di tiga titik yang dilaporkan warga. Pengujian berlangsung terus selama 24 jam, mengikuti PP Nomor 22 Tahun 2021.
“Hasilnya baru bisa diketahui 14 hari sesuai SOP laboratorium,” katanya.
Selain uji emisi, DLH juga melakukan inspeksi langsung ke industri-industri yang berada di sekitar permukiman warga.
“Kami cek fisik cerobong dan aktivitas industrinya,” tambahnya.
Namun bagi warga, menunggu bukan hal yang mudah. Debu yang terus menumpuk membuat banyak dari mereka mulai mengeluh batuk dan iritasi. Di salah satu Ponpes yang terdampak, beberapa santri dikabarkan mengalami gangguan pernapasan ringan.
Anggota DPRD Kota Bekasi, Arif Rahman Hakim, mengaku menerima laporan serupa. Ia menekankan bahwa pemerintah harus bertindak tegas apabila terbukti ada industri yang melanggar aturan lingkungan.
“Ini berdampak langsung pada masyarakat. Bukan hanya rumah, tapi Ponpes juga terdampak. Ada santri yang batuk. Jadi pemerintah harus turun, bukan hanya DLH, tapi Dinas Kesehatan juga harus melakukan tracking kesehatan warga,” tegasnya.
Arif menyampaikan bahwa lingkungan tempat tinggalnya di RW 2 pun merasakan efek serupa beberapa hari sebelumnya. Ia menilai pemerintah harus memiliki mekanisme pengawasan yang lebih ketat agar kejadian semacam ini tak terulang, apalagi permukiman warga berada sangat dekat dengan sejumlah industri berasap pekat.
“Ketegasan pemerintah sangat dibutuhkan untuk mengontrol aktivitas industri. Jangan sampai ada celah yang membuat emisi berbahaya lolos ke udara bebas,” tambahnya.
Ia berencana membawa persoalan ini ke pimpinan DPRD Kota Bekasi dan Komisi II yang membawahi DLH agar persoalan ini tidak berhenti di laporan warga semata.
“Kami harus kawal ini. Jangan hanya reaktif, tapi harus ada pencegahan jangka panjang,” tegasnya.
Fenomena debu hitam yang menyelimuti permukiman warga Pejuang sebenarnya bukan hal baru dalam konteks Jabodetabek. Evaluasi kualitas udara yang dirilis pemerintah pusat pada Juni lalu menyebutkan bahwa 14 persen pencemaran udara Jabodetabek bersumber dari emisi industri berbasis batu bara, disusul debu konstruksi 13 persen, dan pembakaran terbuka 9–11 persen.
Di Kelurahan Pejuang, bukti nyata pencemaran itu kini menempel di dinding rumah, teras, dan paru-paru warganya. Meski cuaca kadang membantu mengurangi intensitasnya, warga tahu bahwa selama cerobong-cerobong itu masih mengepulkan asap hitam, ancaman itu tetap ada.
Hingga kini, warga hanya bisa berharap pada hasil uji DLH, ketegasan pemerintah, dan komitmen industri untuk memperbaiki sistem pengelolaan emisinya. Sebab bagi mereka, rumah seharusnya menjadi tempat berlindung dari polusi—bukan menjadi lokasi pertama yang memperlihatkan bukti bahwa udara yang mereka hirup sudah tercemar.
“Yang kami mau cuma udara bersih,” kata Asep lirih. “Pagi hari itu harusnya segar, bukan hitam begini,” sambungnya.(sur)

1 week ago
28

















































